Kamis, 07 Juli 2011

Menjadi Sales Dakwah

Saya pernah melihat sebuah film tentang strategi pemasaran barang melalui sales. Tidak seperti yang jamak kita lihat; di drop dengan mobil di sebuah gang, lalu para sales akan berjalan kaki mendatangi rumah-rumah. Sebuah metode yang menurut saya kurang ekfektif sekaligus sering bikin orang jengkel. Dalam film itu, sales hanya ditugaskan untuk menjual gaya hidup. Satu tim sales terdiri dari lelaki perlente seusia eksekutif muda yang berperan sebagai bapak, wanita usia 33 tahunan yang modis sebagai ibu dan dua remaja, lelaki dan perempuan yang gaul sebagai anak. Mereka ditempatkan disebuah rumah di kawasan elit. Tugas mereka hanya berpura-pura menjadi satu keluarga, lalu memamerkan gaya hidup dan berbagai barang-barang keluaran terbaru kepada tetangga dan semua kenalan baru mereka. Mereka sangat antusias mencari kenalan dan nomor telepon. ‘Ayah’ akan memamerkan mobil dan perlengkapan olahraga, ‘ibu’ mempengaruhi teman-temannya untuk memakai kosmetik dan busana dengan merk yang dipakainya, dan ‘anak-anak’ akan memamerkan handphone, sepatu, dan berdandan serta bergaya sangat trendi. Dan, semua merek yang mereka kenalkan hanya didistribusikan oleh perusahaan tempat sales-sales itu bekerja. Hasilnya? Luar biasa. Dalam tempo sedikit bulan, tetangga dan semua kenalan mereka, diceritakan sudah meniru gaya mereka dan membeli produk-produk yang sama. Angka penjualan distributor tersebut di kota itu melesat naik, dan akhirnya keluarga sales itu pun mendapat bonus.
Melihat tayangan itu, saya jadi membayangkan, barangkali Islam juga akan lebih dapat diserap masyarakat jika dipasarkan dengan cara persuasif yang mengandalkan keteladanan seperti itu. Di tayangan itu, keluarga ‘jadi-jadian’ itu menjadi trend setter alias suri tauladan dalam gaya hidup. Untuk Islam, tentunya bukan dengan membuat hal serupa tapi benar-benar membuat  dan membina keluarga yang mampu mencerminkan Islam dan gaya hidup Islami. Lalu keluarga itu akan mempengaruhi lingkungan dimana dia tinggal. Ini adalah salah satu gaya dakwah bil hal, dakwah dengan keteladanan.
Ah, tapi kan nyatanya tidak semudah itu.
Sebuah keluarga yang membawa gaya hidup Islami, tak jarang justru mendapat tentangan saat membaur dengan masyarakat yang masih awam. Kadang dibilang aneh, tidak “ngumumi”, sok alim sampai yang lebih parah dari itu.
‘Memasarkan’ Islam atau berdakwah memang tidak bisa persis seperti memasarkan barang. Selain ada seni tersendiri, diperlukan pula kesabaran dan komitmen. Dengan dua bekal itu, insyaallah penolakan masyarakat hanyalah “hello effect” saja alias dampak di permulaan yang akan segera sirna setelah melihat cahaya yang terus dinyalakan oleh sang ‘sales dakwah’. Hanya manusia yang telah dikunci mati hatinya yang terus menyalakan permusuhan dan kebencian, sementara dakwah telah disampaikan dengan segala cara yang dibenarkan. Anda hanya akan membayangkan, akan lebih menghayati sekiranya turut mencoba.... Mari menjadi bagian kafilah dakwah. (zhafran)

ANUGERAH SAKIT GINJAL

Pengalaman Rohani Theofilus Sarjiono (Muhajir)

Menjadi seorang bread cooker alias tukang roti telah saya tekuni sejak remaja hingga akhirnya saya bisa menjadi tukang roti yang cukup berpengalaman. Setelah menikah saya mengontrak rumah milik seorang pastur di tepi sungai yang cukup fenomenal yakni kali code di  Yogyakarta, yang sebenarnya tidak layak huni. Tapi bagaimanapun juga saya merasa bahagia bisa menghidupi seorang isteri dan 2 orang anak.

Sebagai seorang penganut Kristen Pantekosta ,saya tergolong taat dan  rajin ke gereja. Hal inilah yang akhirnya menaikkan derajat saya, dengan diangkat sebagai pembantu pendeta. Berawal dari sini semuanya serba kecukupan. Uang bukan masalah bagi saya, sebab sudah dicukupi oleh gereja. Makan daging babi merupakan keharusan bagi keluarga dan harus tersedia tiap hari di meja makan. Selain itu seminggu sekali saya mengkonsumsi daging anjing, hal yang selama ini jarang kami alami.

Sebab itu pulalah penderitaan saya bermula. Mungkin karena saya terlalu rakus memakan daging, badan saya membengkak dan perut membuncit. Akibatnya saya mulai terserang bermacam-macam penyakit. Kolesterol tinggi, denyut jantung tak teratur, kadar gula meningkat, ginjal yang sudah tidak berfungsi normal ,dan sebagainya. Dikarenakan penyakit semakin parah maka dokter menganjurkan saya untuk cuci darah. Dengan cuci darah ini, harta yang selama ini saya kumpulkan ikut tercuci juga. Habis sudah semua yang saya miliki. Bahkan untuk makan sehari-hari saja susah apalagi untuk berobat ke dokter. Kali ini sakit yang saya alami benar-benar luar biasa, kaki mulai membengkak. Untuk sekedar tidur saja tidak bisa karena rasa sakit yang saya alami.

Pada suatu  pagi  sekitar jam 04.30 WIB saya mendengar suara dari masjid seruan adzan. Tiba-tiba secara spontan saya menirukan adzan tersebut. Bila saya menirukan kalimat Laa ilaaha Illallah, sakit yang saya alami terasa berkurang. Maka kata-kata itu saya ucapkan berulang-ulang meskipun saat itu saya tidak tahu maksudnya, hingga berpuluh mungkin ratusan kali kata saya ucapkan, lupa saya menghitungnya. Isteri saya mengingatkan, ”Mas, bacaan itu kan bacaan orang Islam, sampeyan kan orang Kristen tidak baik mengucapkan kata-kata itu”. Maka jawaban spontan saya waktu itu, ”Biarpun kata-kata itu berasal dari agama manapun akan saya ucapkan terus, wong kalau diucapkan sakit saya berkurang kok”.

Hingga suatu malam saya bermimpi. Dalam mimpi itu saya disuruh  menemui seseorang yang bisa membantu menyembuhkan sakit saya yang bernama pak Abu. Pagi harinya saya menemui seorang tukang becak yang kebetulan adalah tetangga rumah juga. Ternyata memang benar  ada seseorang yang biasa membantumengobati pasiennya dengan memberi ramuan tradisioanal, Beliau bernama Abu Sujak. Akhirnya  saya minta tolong tetangga sebelah untuk mengantarkan ke rumah pak Abu Sujak. Dalam benak saya pasti pak Abu ini orang Islam, terlihat dari namanya. Tapi apa boleh buat, yang penting penyakit saya bisa sembuh. Ternyata benar dugaan saya pak Abu adalah muslim yang taat, berulang kali saya diminta untuk membaca basmalah, dan saya lakukan pula. Dalam  pikiran saya waktu itu adalah saya akan lakukan apapun yang diminta oleh pak Abu agar penyakit saya bisa sembuh.

Di akhir pertemuan saya diberi resep,  untk membeli obat di rumah salah seorang putra pak Abu. Ketika saya sodorkan resep tersebut, saya juga tanyakan harga obatnya. Si penjual bilang harganya Rp 32.500,00 padahal waktu itu saya tidak membawa uang sebanyak itu. Uang yang di saku hanya sekedar cukup untuk membayar ongkos becak. Ketika menyerahkan obat, penjual bilang bahwa saya tidak perlu membayar sebab pak Abu bilang khusus untuk pak Theo gratis saja. Sesampai di rumah saya langsung mengkonsumsi obat tradisioanl tersebut. Beberapa hari kemudian badan terasa enak, sakit yang selama ini saya rasakan mulai berkurang. Hingga akhirnya penyakit saya sembuh total. Sejak saat itu pula kebiasaan makan daging babi dan anjing benar-benar saya tinggalkan.

Suatu ketika saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pak Abu dengan mendatangi rumah beliau. Ketika sampai ternyata banyak orang berkerumun di rumah beliau. Saya diberitahu bahwa pak Abu meninggal dunia, bak disambar petir di siang bolong. Tidak dapat menahan air mata kala itu, saya menangis.
Dalam hati kecil, timbul keinginan untuk mengikuti jejak beliau beragama islam. Mulailah saya dengan sembunyi-sembunyi menghadiri pengajian di kampung meskipun saat itu status saya masih penganut Kristen.
Setelah cukup saya mendapatkan pelajaran agama, saya minta disyahadatkan. Alhamdulillah akhirnya saya membaca dua kalimat syahadat di Kantor UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta beserta dengan Istri dan anak saya.

Tak jarang saya diminta untuk sekedar berbagi pengalaman di beberapa tempat tentang kisah hidup dan perjalanan saya selama menjadi penganut Kristen hingga akhirnya mendapat hidayah dari Allah SWT. Meskipun dari pemahaman agama Islam saya tergolong masih sangat minim, tapi selagi bisa berbagi maka akan sampaikan walaupun itu pahit rasanya.

Ketika saya mulai berinterksi dengan banyak muslim, saya mulai berpikir bahwa Muslim yang menyeberang menjadi Kristen itu kebanyakan motivasinya mendapat kedudukan, serta iming-iming kekayaan, dan kehidupan yang baik. Berbeda dengan orang Kristen yang masuk Islam pasti mengalami ujian yang sangat berat. Terutama dalam bidang ekonomi, kehilangan pekerjaan, dikucilkan dari pergaulan, dicaci maki dan lain sebagainya. Diri saya pun tak luput dari ujian tersebut. Saya dikeluarkan dari pekerjaan tanpa pesangon. Saya dipecat, karena masuk Islam. Dengan rasa percaya diri dan iman kepada Allah, saya pasrahkan semua kepada-Nya. Derita apapun akan saya hadapi dengan hati yang tabah.

Untuk menyambung hidup dan mencukupi kebutuhan keluarga, saya mulai kembali membuat roti. Setelah saya diuji oleh Allah dengan berbagai kesulitan, benar rasanya Allah memberi anugerah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hingga akhirnya ada seorang dermawan yang memberikan modal untuk usaha saya beserta dengan rumah tempat tinggal. Dengan iringan doa semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada dermawan tersebut serta memberi rizki dan pahala yang berlipat ganda. Amin. [Kisah ini dirangkum oleh M. Hadjir Digdodharmojo]
 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha