Kamis, 12 Agustus 2010

Sikap Ambigu SBY Soal ''Terorisme''

AKHIRNYA Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara juga soal terorisme. Sebelumnya, lewat  Jubir Presiden, Julian A Pasha, menyatakan bahwa Presiden SBY sudah mengetahui perihal penangkapan Abubakar Ba’asyir melalui Kapolri hari Senin (9/8). Sebelumnya, juga dijelaskan bahwa penangkapan tersebut bukan intruksi dari SBY. Dalam rapat  Kabinet di Sekretariat Negara, SBY bahkan kembali mengatakan bahwa  kasus terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama maupun politik.

"Saya tidak pernah membawa terorisme ke politik, karena bukan politik."

"Dan kita tidak boleh mengaitkan teroris dengan agama, karena itu bukan agama," ujar SBY.

SBY juga mempercayakan kepada penegak hukum untuk menangani dengan cara tepat, profesional, akuntabel, dan dapat dijelaskan kepada publik. Bahkan menambahkan bahwa masalah ini sensitif dan sering melahirkan salah paham di antara masyarakat terhadap apa yang dilakukan penegak hukum.

Jejak Sikap SBY

Rasanya kelewat wajar kalau sebagian orang mengkritik sikap SBY yang ambigu. Bahkan ada yang mengatakan lebay. Dalam kasus terorisme, masih terekam beberapa jejak sikap SBY yang ditampilkan di hadapan publik yang menunjukkan ambiguitasnya.

Menjelang Pemilu Presiden di tahun 2009 silam, SBY mengomentari peristiwa bom di JW Marriott dan The Ritz Carlton, 17 Juli 2009.   SBY mengatakan secara eksplisit, dirinya termasuk salah satu target incaran penembakan oleh kelompok yang ingin menggagalkan pemerintahan yang demokratis.

“Berdasarkan laporan intelijen, ada upaya yang sistematis menggagalkan kelangsungan pemerintahan yang demokratis ini,” ungkap SBY merespon tragedi  pengeboman di kawasan Mega Kuningan 17 Juli 2009.

Hal yang sama sebelum penangkapan orang-orang yang diduga teroris dan kemudian disusul penangkapan ustad ABB, SBY juga mengeluh menyatakan dirinya menjadi sasaran kelompok teroris.  “Saya dapat laporan tadi malam dari jajaran pengamanan, ada di antara anak bangsa yang punya niat tidak baik yang sekarang ada di sekitar Ciwidey,” ujarnya. (Detiknews, 7/10/2010).

Di tahun 2010, tepatnya di bulan Mei Presiden SBY juga mengeluarkan pernyataan terkait kasus terorisme juga. Dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5/2010) sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, Presiden SBY menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan negara Islam. Padahal, menurut SBY, perdebatan tentang pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal, demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu menurut Presiden keinginan mendirikan negara Islam dan sikap antidemokrasi, tidak bisa diterima rakyat Indonesia.

Di satu sisi kita memang bisa menyaksikan keberanian luar biasa pihak Polri menangkap kesekian kalinya ustad ABB. Sebagian pihak menganggap tentu langkah ini dengan pertimbangan matang dan tidak gegabah. Terutama ketika Polri merasa memiliki bukti (data) yang meyakinkan untuk kembali menjerat Ustad ABB. Dan akan menjadi beban moral yang sangat besar sekiranya kalau aksinya kali ini  tidak bisa membuktikan di depan pengadilan. Sebaliknya, jika mampu menunjukkan itu, tidak menutup kemungkinan Ustad ABB akan dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Dengan tuduhan pasal berlapis UU Terorisme, yakni, pasal 14 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 11 dan atau pasal 15 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 13 huruf a, huruf b, huruf c UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, ancaman maksimalnya hukuman mati.

Jika ini sukses, maka bisa dipastikan, pemerintah AS, Australia, Singapura dan sekutu AS lainnya, akan mengulum senyum dan memberi warning bahwa tugas ‘kontra-terorisme’ tidak boleh berhenti sampai di situ.

Di sisi lain yang tidak bisa diabaikan bahwa selama ini narasi tentang terorisme datangnya dari sepihak (Polri). Lebih khusus datang dari Densus 88,  wabil khusus lagi di sana ada Satgas Antiteror di luar “struktur” yang dikendalikan oleh  Gories Mere, sekalipun saat ini dia ada di BNN (Badan Narkotika Nasional).

Dan disinyalir karena kedekatan Gories Mere dengan  Karni Ilyas (TV One), menyebabkan isu terorisme masuk barisan terdepan untuk news update berita di TV One.

Oleh karena itu, pada konteks ini  penanganan kasus terorisme ini patut diduga  sarat rekayasa, seperti pada kasus-kasus besar yang menghantam institusi Polri. Misalkan pada kasus rekening gendut, Century gate, markus, dan semisalnya. Maka jika benar ada dugaan itu, akan susah membedakan lagi  mana yang salah dan mana yang benar.

Lebih-lebih aksi kontra-terorisme selama ini sering dituduhkan olah banyak pihak sebagai  ‘proyek yang berkelindan di dalamnya kepentingan asing’ dan dijadikan ajang menunjukkan ‘prestasi’ mencari dana atau langkah pengalihan isu oleh para “komprador” asing dan kelompok opurtunis lokal.

Pertanyaan untuk SBY


Perlu kiranya SBY menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, sekiranya betul bahwa isu terorisme adalah murni kejahatan dan masuk ranah hukum. Atau terorisme bukan persoalan politik, juga bukan masalah agama, sebagaimana yang baru saja ia sebutkan.

Pertama, kalau ada pernyataan penangkapan ustad ABB bukan intruksi SBY sebagai Presiden, maka artinya ada distorsi dalam penegakan hukum. Aneh jika Presiden menyatakan terkejut dengan penangkapan ABB, padahal Densus 88 berada di bawah kendali Polri, di mana institusi ini bertanggung jawab langsung kepada presiden. Jadi Densus bekerja untuk siapa?

Sementara dari tahun 2003-2009 Polri sudah menangkap lebih dari 500 orang dalam kasus terorisme. Dan di masa pemerintahan SBY banyak orang mati. Sekitar 40 orang dieksekusi dengan cara “ekstra judicial killing”. Dan minim sekali suara yang berteriak untuk mengatakan ini adalah “kezaliman” atau pelanggaran HAM. Para penggiat HAM juga setengah hati, menyikapi soal korban proyek kontra-terorisme ini.

Kedua, bukankah kontra-terorisme telah diadopsi SBY menjadi salah satu prioritas 100 hari kerja pemerintahannya? Diupayakan lahirnya blueprint penanganan secara komprehensif, yang terbaru dengan dibentuknya  Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Peraturan Presiden no 46 tahun 2010 yang ditandatangani SBY pada 16 Juli lalu, sekaligus ini bukti implementasi komitmen SBY yang pernah dibicarakan bersama Presiden AS Obama tentang  terorisme.

Kalau sudah seperti ini, apakah sebagai Presiden tidak tahu menahu bagaimana langkah demi langkah, tahapan demi tahapan yang akan dioperasikan institusi terngait yang notabene-nya semua di bawah kendali Presiden? Bahkan kita yakin, target-target antara dan puncak target dari proyek kontra-terorisme SBY juga mengetahui. Jika  SBY tidak mengetahuinya, memangnya beliau anak buahnya siapa?

Ketiga, jika Presiden SBY menyatakan kasus terorisme tidak ada relevansinya dengan persoalan politik atau tidak akan menggeret ke ranah politik. Lantas, kenapa juga membicarakan tentang motif  “negara Islam” dan terancamnya “demokrasi” dalam konteks ini?

Kelompok yang dicap “teroris” hendak mendirikan negara Islam, dan SBY sendiri memberikan prespektifnya bahwa wacana negara Islam bagi Indonesia sudah menjadi sejarah masa lalu. Begitu juga, tentang ancaman kelompok tersebut terhadap kelangsungan demokrasi.

Di sisi lain, SBY  menempatkan dirinya sebagai obyek yang terancam dan pernah mengkaitkan kelompok terorisme terhadap kelangsungan Pemilu di tahun 2009. Ambigu bukan? Atau mungkin ada tafsiran lain tentang politik versi Presiden SBY?

Keempat, kalau SBY menjelaskan kasus ini adalah kejahatan dan tidak terkait dengan agama, maka ada pertanyaan penting lain. Mengapa SBY tidak pernah menegur insan media yang sedemikian rupa membangun opini dan persepsi masyarakat secara kontinyu dan simultan yang  menstigmatisasi Islam dengan teroris?

Contoh terbaru upaya membangun stigma negatif terhadap Islam, salah satunya tampak dari pemberitaan detik.com dengan judul: “Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul Soal Hijrah dan Jihad.” (Detik.com , 8/8/2010). Di mana dilaporkan dalam mobil milik Fahri, yang ditangkap Densus 88 karena diduga “teroris”, ditemukan ceceran kertas berisi tulisan Arab gundul, antara lain soal kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah, dan dakwah. Lebih lanjut dilaporkan, ceceran kertas itu ada yang berupa tulisan tangan dan berupa print out, dengan beragam ukuran. Semua berisi tulisan Arab gundul.

Wartawan memang tidak salah, tapi pencantuman istilah Arab, fatwa Ibnu Taimiyyah, jihad, hijrah, tentu bukan tanpa motif. Sebab pasti ada niat tersembunyi di dalamnya.  Jika setiap orang membawa kitab Arab gundul dan buku-buku  Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah dan dakwah itu “teroris”, mengapa tak sekalian saja datang ke ribuan pondok pesantren di Indonesia yang jelas-jelas berceceran kitab-kitab Arab gundul untuk menemukan “teroris”?

Contoh lain, mantan PM Inggris Tony Blair, di hadapan Konggres Partai Buruh pernah menyatakan Islam sebagai ideologi iblis (BBC News, 16 Juli 2005) dengan ciri-ciri : (1) ingin mengeliminasi Israel ; (2) menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum; (3) menegakkan khilafah; (4) bertentang dengan nilai-nilai liberal.

Dan apakah presiden SBY tidak pernah merasa adanya fakta pengkambinghitaman Islam dan kaum muslimin dalam persoalan ini? Seharusnya SBY sadar, betapa umat Islam di Indonesia nyaris tidak bisa memberikan pembelaan, bahkan menerima kekalahan (apologis) dengan istilah “teroris” itu yang identik dengan; orang berjenggot, celana cingkrang, gamis, cadar, jidat hitam, orang yang sering aktif ke masjid, pengajian-pengajian kecil,  pesantren, atau aktifis yang mengusung penegakkan syariat dalam koridor negara, atau ketika menempatkan AS adalah musuh Islam.

Peran media dan wartawan, sudah sangat jelas-jelas mengkaitkan agama dengan isu “teroris”, tapi oleh SBY umat Islam dilarang mengkaitkan hal itu. Adilkah hal seperti ini?

Lebih jauh, kalau mau jujur, bukankah ketika pihak penegak hukum dan lebih khusus Densus 88 atau Satgas Anti Teror ketika melakukan pemetaan (maping) tentang ancaman, baik dalam kontek global atau lokal (Indonesia), maka kesimpulanya adalah Islam sebagai ancaman? Lebih spesifik lagi Islam ideologis, atau gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi, bukan Islam moderat atau Islam Liberal. Lantas bagaimana bisa SBY mengatakan bahwa perkara terorisme tidak terkait agama? Aneh bukan?

Kelima, di institusi yang terkait dengan proyek kontra-terorisme di bawah Kementerian Polhukman, terlihat paradigma yang dibangun ketika berbicara tentang terorisme selalu dikaitkan dengan pemahaman agama yang dianggap radikal dan fundamentalis. Karenanya perlu langkah-lengkah deradikalisasi dengan beberapa strategi yang soft, misalkan dengan mengarusutamakan tokoh-tokoh Islam moderat, menggalakkan interfaith dialog (dialog antar iman), diterbitkannya buku-buku yang moderat, dan mengubah kurikulum pesantren atau sekolah, serta strategi lainya yang semuanya dianggap bisa mempertahankan format Indonesia yang pluralis, liberal, demokratis yang berdiri di atas ideologi kapitalis-sekuler. Amat mudah mencari statemen tokoh, pakar, buku atau makalah tentang hal itu.

Maka bagaimana  SBY menjelaskan ini semua? Rakyat semua ingat, sikap yang ditampilkan SBY di hadapan publik selama ini adalah mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan, lantas bagaimana dengan persoalan “teroris”.  Beranikah SBY dialog dan debat terbuka dengan kelompok-kelompok yang dicap “radikal” dan “fundamentalis” untuk bicara problem kenegaraan dan politik secara fair dalam rangka mencari solusi terbaik untuk Indonesia, sehingga SBY dan jajaran di bawahnya tidak selalu su’udzan dengan apa yang diperjuangkan oleh kelompok tersebut.

Sekali lagi, wajar kalau akhirnya Presiden SBY dianggap sangat ambigu dalam kasus “terorisme” ini atau bahkan terkesan mau “cuci tangan”. Semoga semua pemimpin institusi yang terlibat proyek kontra-terorisme it, kalau mereka orang muslim, masih tersisa iman dan Islamnya, hingga sadar tidak ada satu pun perkataan yang keluar dari mulut mereka, kecuali ada dua malaikat yang mencatatnya dan hisab Allah SWT adalah seadil-adil hisab.

Umat Islam Indonesia butuh pemimpin yang bisa melindungi agama dan harga dirinya, bukan sebaliknya.  Yakni pemimpin yang jadi “hamba” dari penguasa imperialis dan mendzalimi umatnya sendiri. Wallahu a’lam bisshowab.

Bolehkah Wanita Haid dan Nifas Membaca Al-Qur'an di Bulan Ramadlan?

Oleh : Badrul Tamam
Di bulan Ramadlan Mubarak ini, semangat membaca Al-Qur'an umat Islam harus meningkat. Karena bulan Ramadlan ini disebut sebagai Syahrul Qur'an, bulan Al-Qur'an. Karena Al-Qur'an pertama kali diturunkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melalui Malaikat Jibril pada bulan Ramadlan. Juga pada bulan ini, Malaikat Jibril mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an beliau dan mengecek hafalannya.
Perhatian besar dari ulama salaf terhadap Al-Qur'an bisa menjadi bukti bahwa qira'atul Qur'an pada bulan ini memiliki keistimewaan tersendiri. Mereka telah memperbanyak tilawah Qur'an baik di dalam shalat maupun di luar shalat.
Pada bulan Ramadlan, Utsman bin Affan radliyallah 'anhu menghatamkan Al-Qur'an sehari sekali. Sebagian ulama salaf yang lain menghatamkannya pada shalat  malamnya setiap tiga hari sekali. Sebagian lain menghatamkannya semingu sekali.
Imam Syafi'i rahimahullah, pada bulan Ramadlan menghatamkan Al-Qur'an sampai 60 kali. Beliau membacanya di luar shalat. Imam Qatadah senantiasa menghatamkan setiap tujuh hari sekali dan pada bulan Ramadlan setiap tiga hari sekali. Puncaknya pada sepuluh hari terakhir, beliau menghatamkannya setiap malam.
Imam Syafi'i rahimahullah, pada bulan Ramadlan menghatamkan Al-Qur'an sampai 60 kali. Beliau membacanya di luar shalat.
Imam Az-Zuhri rahimahullah jika sudah memasuki Ramadlan tidak membaca hadits dan tidak hadir di majlis ilmu, beliau hanya membaca Al-Qur'an dari mushaf. Sufyan Al-Tsauri jika sudah masuk Ramadlan meninggalkan segala bentuk ibadah dan hanya membaca Al-Qur'an.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "(Maksud) adanya larangan membaca Al-Qur'an (menghatamkannya) kurang dari tiga hari yaitu jika dirutinkan tiap hari. Namun, jika di kesempatan yang utama seperti bulan Ramadlan dan tempat yang mulia seperti di Makkah bagi penduduk luar makkah, dianjurkan memperbanyak tilawah Al-Qur'an di sana, untuk menghargai kemuliaan tempat dan waktu tersebut. Ini adalah pendapat imam Ahmad, Ishaq, dan imam-imam lainya. Hal ini didukung dengan amalan selain mereka."
(Maksud) adanya larangan membaca Al-Qur'an (menghatamkannya) kurang dari tiga hari yaitu jika dirutinkan tiap hari. Namun, jika di kesempatan yang utama seperti bulan Ramadlan . . . dianjurkan memperbanyak tilawah Al-Qur'an untuk menghargai kemuliaan tempat dan waktu tersebut.
Bagaimana dengan wanita haid dan nifas?
Tentunya semangat ini juga layak dimiliki seorang wanita muslimah. Dia berhak mendapat keutamaan dan kemuliaan melalui Al-Qur'an. Dia harus berlomba memperbanyak membaca Al-Qur'an dan sesering mungkin menghatamkannya pada bulan barakah ini. Namun, ada satu kendala bagi kaum hawa ini dengan ketetapan yang Allah tulis atas mereka, yaitu mendapat tamu bulanan. Bolehkah mereka tetap membaca Al-Qur'an untuk mendapat keberkahan yang lebih, khususnya pada bulan Ramadlan?
Memang mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan hadits,
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
"Orang yang junub dan wanita haid tidak boleh membaca Al-Qur'an sedikitpun."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Adapun orang junub dan haid untuk membaca Al-Qur'an, maka di kalangan ulama terdapat tiga pendapat:
Sebagiannya membolehkan bagi orang ini dan itu. Ini adalah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madhab Imam Syafi'i dan Ahmad. Sebagian yang lain tidak membolehkan bagi orang junub dan boleh bagi wanita haid, baik secara bebas atau karena takut lupa hafalannya. Ini adalah madhab Malik dan sebagian pendapat madhab Ahmad dan lainnya.
Hadits berkaitan dengan wanita haid membaca Al-Qur'an hanya satu riwayat saja. Yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ismail bin 'Ayyasy, dari Musa bin Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar;
لَا تَقْرَأْ الْحَائِضُ وَلَا الْجُنُبُ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْئًا
"Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca Al-Qur'an sama sekali." (HR. Abu Dawud dan lainnya) ini merupakan hadits dhaif berdasarkan kesepakatan ulama ahli hadits. Haidts Yang diriwayatkan dari Ismail bin 'Ayyasy oleh Hijaziyyin (orang-orang Hijaz) adalah hadits lemah berbeda kalau yang meriwayatkan adalah Syamiyyin (orang-orang Syam). Dan tak seorangpun perawi yang tsiqah (terpercaya) telah meriwayatkan hadits ini dari Nafi'.
Bahwa sesuatu yang maklum, para wanita sudah mengalami haid pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, namun beliau tidak pernah melarang mereka membaca Al-Qur'an, sebagaimana beliau tidak pernah melarang mereka dari berdzikir dan berdoa. Bahkan beliau memerintahkan para wanita haid agar keluar pada shalat Ied, lalu mereka bertakbir seperti takbirnya kaum muslimin yang lain.
Beliau juga memerintahkan wanita haid agar tetap melaksanakan ritual haji kecuali Thawaf di Ka'bah, dia membaca kalimat talbiyah di Muzdalifah, Mina, dan tempat-tempat masya'ir lainnya dalam kondisi haid.
Para wanita sudah mengalami haid pada masa Rasulullah, namun beliau tidak pernah melarang mereka membaca Al-Qur'an, sebagaimana beliau tidak pernah melarang mereka dari berdzikir dan berdoa.
Adapun orang Junub, beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak memerintahkannya agar menyaksikan shalat Ied, tidak pula shalat dan melaksanakan manasik haji. Karena orang junub memungkinkan untuk bersuci, karenanya tidak ada udzur baginya dalam meninggalkan thaharah (bersuci). Hal ini berbeda dengan wanita haid, karena hadats tetap ada pada dirinya yang tidak mungkin melakukan thaharah dengan kondisinya itu. Karena itulah, para ulama menyebutkan bahwa orang junub tidak boleh berdiam di Arafah (untuk wukuf), Muzdalifah dan Mina sehingga mereka bersuci, walaupun suci tidak menjadi syarat dari semua itu. Tetapi maksudnya, pembuat syariat memerintahkan wanita haid untuk berdzikir kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, baik dalam bentuk wajib atau sunnah. Namun, bagi orang junub dimakruhkan malakukan semua itu.
Dari sini diketahui, bahwa wanita haid diberi keringanan yang tidak diberikan kepada orang junub, karena sebab udzur. Begitu juga berkaitan dengan membaca Al-Qur'an Syari' (Allah) tidak melarang wanita haid dari membacanya. Wallahu a'lam. (PurWD/voa-islam.com/halakat.taimiah.org)

Polisi Banyak Susupkan Intel Ke Jaringan Teroris

Jakarta - Mabes polri telah membantah bila Sufyan Tsauri adalah anggota intel yang sengaja disusupkan ke jaringan teroris. Namun diyakini praktik menyusupkan intel tersebut banyak dilakukan oleh kepolisian.

"Menurut saya penyusupan atau infiltrasi itu masih banyak dilakukan oleh kepolisian sampai saat ini," ujar pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasetyo saat dihubungi detikcom, Jumat (13/8/2010).

Infiltrasi yang dilakukan oleh intel kepada jaringan teroris tersebut, menurut Mardigu memang sebuah strategi yang dilakukan untuk melumpuhkan jaringan teroris sebelum mereka melakukan aksinya.

"Tanpa ada infiltrasi, susah bagi kepolisian untuk memutus jaringan teroris yang ada. Adanya intel bisa mencegah atau bersifat preventif, kalau tidak berhasil baru densus yang bergerak dengan cara represif," terangnya.

Meski demikian Mardigu enggan menjelaskan berapa anggota intel yang saat ini menyusup ke jaringan teroris yang ada di Indonesia.

"Saya tahu cara kerja mereka, dimana saja mereka berada, tapi saya tidak bisa memberitahu. Aman tidaknya negara ini tergantung pada intel yang disusupkan tersebut," tutupnya (sumber: detik.com)

Mardigu: JAT Disusupi Intel

Jakarta - Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba'asyir saat ini sedang menjadi sorotan media akibat dugaan terlibat aksi teroris di Aceh. JAT pun diduga sudah lama di susupi intel.

"JAT itu sudah lama disusupi intel, dan sampai sekarang hal itu masih dilakukan oleh kepolisian," ujar pengamat teroris Mardigu Wowiek Prasetyo saat dihubungi detikcom, Jumat (13/8/2010).

Menurut Mardigu, intel memiliki dua cara kerja, yakni mengawasi dari dalam dan masuk ke jaringan, atau hanya mengawasi dari luar tanpa harus masuk kedalam jaringan yang sedang diawasinya.

"Kalau JAT itu diawasi dari luar, sekarang sudah jarang intel yang menyusup sampai ke dalam jaringan teroris, saya juga tidak tahu kenapa?," terangnya.

Intel akan berusaha meredam setiap aksi yang akan dilakukan jaringan tertentu yang dinilai mengganggu stabilitas negara. Namun bila hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh intel, densus 88 menjadi garda terakhir.

"Biasanya ada jaringan yang tidak kompromis, dalam artian usaha intel untuk membujuk gagal. Kalau sudah seperti ini maka densus yang turun tangan," terangnya.

Menurut Mardigu, organisasi keras kerap sekali mendapatkan tawaran atau bujukan tertentu agar mengurungkan niatnya. tawaran tersebut biasasnya dilakukan oleh intel.

"Itu salah satu cara untuk meredam aksi organisasi tertentu. Biasanya ditawari sesuatu atau uang," tutupnya.(sumber: detik.com)

DPR Pertimbangkan Batalkan Pembangunan Rumah Aspirasi

Jakarta - Rencana anggota membangun rumah aspirasi di daerah pemilihannya terus menuai protes keras masyarakat. Oleh karena itu, DPR berencana membatalkan pembangunan rumah aspirasi bagi masing-masing anggota DPR.

"Pembangunan rumah aspirasi per anggota DPR sudah hampir pasti tidak jadi karena penolakan rakyat luar biasa. Pembatalan bisa dilakukan kalau opsi membuang pasal rumah aspirasi dalam tatib DPR disetujui," ujar Wakil Ketua BURT DPR Pius Lustrilanang kepada detikcom, Kamis (12/8/2010).

Pius menuturkan opsi lainnya, DPR akan merubah haluan. Rencana semula membangun rumah aspirasi untuk masing-masing anggota DPR, akan dirubah menjadi rumah aspirasi kolektif anggota DPR per dapil. Jadi nantinya rumah aspirasi dibangun per dapil, untuk sejumlah anggota yang berada dalam dapil tersebut.

"Dari usulan satu rumah satu anggota itu akan kita rubah menjadi satu dapil satu rumah. Sehinnga anggota DPR satu dapil akan memiliki satu rumah aspirasi bersama," terang Pius.

Kedua opsi tersebut nantinya akan dibahas dalam rapat Panja Rumah Aspirasi usai reses nanti.

Sebelumnya DPR merencanakan pembangunan rumah aspirasi dengan total anggaran Rp 209 miliar per tahun akan dimulai tahun 2011. Seiring protes keras publik, DPR perlahan mundur, sejumlah fraksi DPR pun meminta anggota DPR menggunakan kantor parpolnya di daerah sebagai rumah aspirasi.(sumber: detik.com)
 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha