Jika Turki disuruh memilih antara sabar dan kehilangan persahabatan dengan Israel, maka Turki akan memilih kehilangan persahabatan dengan Israel
addakwah.com--Dalam pidatonya di depan parlemen, Perdana Menteri Turki Recep Thayyib Erdogan mengutuk habis-habisan tindakan Israel yang menyerang kapal kafilah kemanusiaan yang sedang berlayak ke Jalur Gaza. Ia menegaskan bahwa kelakuan Israel ini adalah peristiwa hitam dan kelam yang dalam sejarah umat manusia. Demikian diberitakan Al-Arabiya.net (01/06).
Erdogan mengatakan bahwa Israel telah melanggar hukum internasional dan hukum kemanusiaan. Dan secara tegas ia menyatakan bahwa Turki tidak akan membiarkan masalah ini kecuali sampai selesai, karena Turki tidak bisa menerima perlakuan Israel tersebut begitu saja.
Perdana Menteri Turki ini telah memperingatkan Israel, "Jika Anda ingin Turki sebagai musuh, maka Turki akan menjadi musuh yang keras dan kejam." Dan ia menegaskan bahwa jika Turki disuruh memilih antara sabar dan kehilangan persahabatan dengan Israel, maka Turki akan memilih kehilangan persahabatan dengan Israel.
Turki sebenarnya memiliki hubungan persahabatan yang erat dengan orang-orang Yahudi. Akan tetapi ternyata Israel sekarang sudah memilih jalan kekerasan dan telah merusak hubungan bilateral Turki-Israel. Padahal Turki adalah satu-satunya negara yang mau menengahi dan menstabilkan hubungan Israel dengan negara-negara Arab lainnya, demikian tegas Erdogan.
Erdogan menekankan bahwa tindakan Israel ini tidak bisa dibenarkan sama sekali, dan resolusi PBB kepada Israel tidaklah cukup. Dunia internasional harus campur tangan untuk menghentikan Israel. Ia juga meminta kepada Israel agar membebaskan tahanan. [sadz/aby/hidayatullah.com]
Selasa, 01 Juni 2010
Fauzil Adhim: Tanpa TV Anak Berfikir Lebih Luas
addakwah.com--Pengaruh televisi dalam keluarga Indonesia tampaknya sudah demikian kuat menyatu dengan keseharian masyarakat. Data Bank Dunia tahun 2004 menunjukkan, ada 65 persen lebih rumah tangga pemilik televisi di Indonesia. Bentuk media audio visual yang menarik dan lengkap dari si ”tabung ajaib” menjadikan ia lebih digandrungi dibandingkan dengan produk budaya lain, seperti buku. Hiburan yang disajikan mampu menarik mayoritas penduduk menekuni tayangan televisi dalam kegiatannya sehari-hari. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, lebih tiga perempat (86 persen) dari seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas di Indonesia memiliki aktivitas rutin mengikuti acara televisi dalam seminggu. Tapi jumlah itu tak termasuk Mohammad Fauzil Adhim (38), pria yang namanya melejit lewat bukunya “Kupinang Engkau dengan Hamdalah” (1997) justru tak memiliki TV. Mungkin akan terasa janggal bagi semua orang. Bagaimana cara dia menjelaskan pada anak tanpa hiburan TV di rumah? Berikut petikan wawancara dengan laki-laki kelahiran Mojokerto, Jawa Timur pada 29 Desember l972 ini.
Apa alasan Anda menolak TV di rumah?
Saya tidak menolak, tapi karena saya melihat tidak ada alasan yang membuat TV layak untuk dipelihara di rumah, sehingga saya tidak memelihara TV.
Sejak kapan itu Anda lakukan?
Memang sejak awal saya sudah tidak memelihara TV. Tapi suatu saat, karena penasaran ingin tahu seperti apa sih TV sekarang, saya dan istri pernah juga mencoba menyewa TV. Nah, pada saat TV itu distel, justru anak pertama saya, Fathimah yang memprotes, dan minta TV itu dimatikan. Sampai dia bilang,”Ibu dimatiin, kok Ibu suka sih nonton film yang jelek-jelek. Itu kan nggak bagus.” Makanya TV akhirnya dimatikan dan kita tidak pernah nyewa lagi.
Mudharatnya apa?
Tidak ada stasiun TV yang mengudarakan acara yang benar-benar mengaktifkan otak anak, dan menggugah anak terlibat dalam proses berfikir. TV justru menyedot perhatian anak yang dalam jangka panjang bisa mempasifkan otaknya. Belum lagi soal content (isi). Film-film yang ditayangkan maupun iklan pariwaranya sebagian besar tidak layak untuk dikonsumsi anak. Katakanlah misalnya ada acara yang cukup bagus, itu saja mengenaskan.
Berarti Anda tidak butuh TV?
Saya merasakan tidak ada kebutuhan dari TV. Karena itu mengapa saya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Menurut saya hiburan yang paling mahal ya TV. Untuk mendapatkan sampah kita harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah, padahal dengan dana segitu, kita bisa membelikan anak-anak kita ensiklopedi, atau bisa kita belikan komputer atau buku, atau hal-hal lain yang jelas manfaatnya.
Di TV kan juga ada tayangan pendidikan yang bermanfaat untuk anak?
Pertama, Ayat Al-Quran bisa ditempelkan di tissue, di kaleng bir. Tapi kalau ada tulisan bismillah di kaleng bir bukan berarti birnya halal. Khamr pun dikatakan ada manfaatnya, tapi kenapa diharamkan? Berarti ada manfaatnya tidak cukup untuk menjadikan sesuatu itu halal. Kedua, tayangan-tayangan yang diperuntukkan anak-anak sebagian besar tidak dikemas sesuai dengan perkembangan anak, dan tidak dikemas untuk merangsang kemampuan berpikir aktif maupun konstruktif, sehingga anak hanya menjadi pihak yang mengalami terpaan exposure dari berbagai tayangan TV.
Bagaimana dengan kebutuhan informasi yang bisa didapatkan di TV?
Sumber informasi, sumber untuk mendapatkan kebutuhan psikis berupa perhatian, kebutuhan untuk mendengarkan itu ada pada orang tua, dan orang-orang penting lainnya dalam keluarga. Kalau dalam ilmu psikologi dikenal dengan significant person atau significant others. Sejauh ini, sepanjang yang saya tahu, kualitas attachment yang baik meningkatkan kreatifitas anak, meningkatkan kecerdasan anak dan meningkatkan percaya diri anak. Anak cenderung akan memiliki konsep diri yang bagus dan cenderung lebih bisa mengelola dirinya.
Apa dampak lebih jauh dari menonton TV?
Sejauh yang saya pahami sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli psikiatri Amerika Serikat, tayangan TV yang sering disaksikan anak adalah tayangan-tayangan yang tidak dikemas untuk anak, sehingga banyak menonton TV menyebabkan anak otaknya pasif dan cenderung tidak suka berpikir. Dan jika anak tidak suka berpikir, maka anak cenderung tidak mampu mengkomunikasikan perasaannya dengan baik. Dan itu berarti menambah kesulitan kita dalam mendidik anak.
Bagaimana respon anak dengan tidak adanya TV di rumah?
Anak-anak memang saya didik untuk suka membaca. Karena itu mereka cenderung bisa mengungkapkan gagasannya dengan lebih baik. Dan anak-anak yang suka membaca itu cenderung memiliki informasi yang lebih kaya. Bahkan terkadang kalau sudah seperti itu, anak-anak malah suka usul pada saya. Misalnya Fathim, ketika melihat gambar mobil yang ada TV-nya, justru mengatakan pada saya, ”Bapak kalau mau beli mobil tak usah pakai TV, karena di TV banyak yang jelek.”
Bagaimana Anda menjelaskan kepada Anak?
Jadi yang penting prosesnya. Kalau anak langsung dilarang, anak akan penasaran. Tapi cukup dengan dialog. Sebagaimana sekarang Fathimah ndak mau makan di Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, ndak mau minum air mineral yang mereknya Aqua dan Ades. Semua itu bisa ditanamkan karena ada dialog, kalau semua itu produk boikot. Begitu juga dengan menyikapi TV, harus ada dialog.
Pernah ditanyai anak tentang TV?
Saya pernah ditanya anak, ”Bapak kok nggak punya TV. Kata temanku kalau ndak punya TV berarti miskin.” Ini kan berarti social pressure, tekanan-tekanan masyarakat. Nah di sinilah saya perlu menjelaskan setepat-tepatnya. Ya karena kebetulan Allah memberikan rezeki pada saya maka saya gantikan dengan benda-benda yang ada manfaatnya, dan harganya melebihi TV, seperti ensiklopedi. Sekarang anak saya punya 3 ensiklopedi. Itu memberikan pemahaman pada anak bahwa ini lebih berharga dari TV, dan saya memperkuat dengan dialog bahwa ini lebih baik dari TV.
Dampak anak yang suka menonton TV?
Saya kira anak yang biasa menonton TV, maka di sekolah pun TV memiliki daya tarik yg lebih besar baginya. Karena itu sekolah tidak menjadi surga baginya. Karena di TV anak tidak akan banyak dapat informasi. Ada kasus yang pernah saya dapatkan, ketika ada orang tua yang membawa anaknya, saya kira dia ini idiot sehingga dia tidak naik kelas dan nilainya nol semua, tapi ternyata anak ini tidak idiot. Ia lebih senang nonton TV dan main game, sehingga ketika di kelas, pikirannya tidak di kelas, tapi di rumah, yaitu di TV. [jidi/sahid/www.hidayatullah.com]
Apa alasan Anda menolak TV di rumah?
Saya tidak menolak, tapi karena saya melihat tidak ada alasan yang membuat TV layak untuk dipelihara di rumah, sehingga saya tidak memelihara TV.
Sejak kapan itu Anda lakukan?
Memang sejak awal saya sudah tidak memelihara TV. Tapi suatu saat, karena penasaran ingin tahu seperti apa sih TV sekarang, saya dan istri pernah juga mencoba menyewa TV. Nah, pada saat TV itu distel, justru anak pertama saya, Fathimah yang memprotes, dan minta TV itu dimatikan. Sampai dia bilang,”Ibu dimatiin, kok Ibu suka sih nonton film yang jelek-jelek. Itu kan nggak bagus.” Makanya TV akhirnya dimatikan dan kita tidak pernah nyewa lagi.
Mudharatnya apa?
Tidak ada stasiun TV yang mengudarakan acara yang benar-benar mengaktifkan otak anak, dan menggugah anak terlibat dalam proses berfikir. TV justru menyedot perhatian anak yang dalam jangka panjang bisa mempasifkan otaknya. Belum lagi soal content (isi). Film-film yang ditayangkan maupun iklan pariwaranya sebagian besar tidak layak untuk dikonsumsi anak. Katakanlah misalnya ada acara yang cukup bagus, itu saja mengenaskan.
Berarti Anda tidak butuh TV?
Saya merasakan tidak ada kebutuhan dari TV. Karena itu mengapa saya harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Menurut saya hiburan yang paling mahal ya TV. Untuk mendapatkan sampah kita harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah, padahal dengan dana segitu, kita bisa membelikan anak-anak kita ensiklopedi, atau bisa kita belikan komputer atau buku, atau hal-hal lain yang jelas manfaatnya.
Di TV kan juga ada tayangan pendidikan yang bermanfaat untuk anak?
Pertama, Ayat Al-Quran bisa ditempelkan di tissue, di kaleng bir. Tapi kalau ada tulisan bismillah di kaleng bir bukan berarti birnya halal. Khamr pun dikatakan ada manfaatnya, tapi kenapa diharamkan? Berarti ada manfaatnya tidak cukup untuk menjadikan sesuatu itu halal. Kedua, tayangan-tayangan yang diperuntukkan anak-anak sebagian besar tidak dikemas sesuai dengan perkembangan anak, dan tidak dikemas untuk merangsang kemampuan berpikir aktif maupun konstruktif, sehingga anak hanya menjadi pihak yang mengalami terpaan exposure dari berbagai tayangan TV.
Bagaimana dengan kebutuhan informasi yang bisa didapatkan di TV?
Sumber informasi, sumber untuk mendapatkan kebutuhan psikis berupa perhatian, kebutuhan untuk mendengarkan itu ada pada orang tua, dan orang-orang penting lainnya dalam keluarga. Kalau dalam ilmu psikologi dikenal dengan significant person atau significant others. Sejauh ini, sepanjang yang saya tahu, kualitas attachment yang baik meningkatkan kreatifitas anak, meningkatkan kecerdasan anak dan meningkatkan percaya diri anak. Anak cenderung akan memiliki konsep diri yang bagus dan cenderung lebih bisa mengelola dirinya.
Apa dampak lebih jauh dari menonton TV?
Sejauh yang saya pahami sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli psikiatri Amerika Serikat, tayangan TV yang sering disaksikan anak adalah tayangan-tayangan yang tidak dikemas untuk anak, sehingga banyak menonton TV menyebabkan anak otaknya pasif dan cenderung tidak suka berpikir. Dan jika anak tidak suka berpikir, maka anak cenderung tidak mampu mengkomunikasikan perasaannya dengan baik. Dan itu berarti menambah kesulitan kita dalam mendidik anak.
Bagaimana respon anak dengan tidak adanya TV di rumah?
Anak-anak memang saya didik untuk suka membaca. Karena itu mereka cenderung bisa mengungkapkan gagasannya dengan lebih baik. Dan anak-anak yang suka membaca itu cenderung memiliki informasi yang lebih kaya. Bahkan terkadang kalau sudah seperti itu, anak-anak malah suka usul pada saya. Misalnya Fathim, ketika melihat gambar mobil yang ada TV-nya, justru mengatakan pada saya, ”Bapak kalau mau beli mobil tak usah pakai TV, karena di TV banyak yang jelek.”
Bagaimana Anda menjelaskan kepada Anak?
Jadi yang penting prosesnya. Kalau anak langsung dilarang, anak akan penasaran. Tapi cukup dengan dialog. Sebagaimana sekarang Fathimah ndak mau makan di Kentucky Fried Chicken, Mc Donald, ndak mau minum air mineral yang mereknya Aqua dan Ades. Semua itu bisa ditanamkan karena ada dialog, kalau semua itu produk boikot. Begitu juga dengan menyikapi TV, harus ada dialog.
Pernah ditanyai anak tentang TV?
Saya pernah ditanya anak, ”Bapak kok nggak punya TV. Kata temanku kalau ndak punya TV berarti miskin.” Ini kan berarti social pressure, tekanan-tekanan masyarakat. Nah di sinilah saya perlu menjelaskan setepat-tepatnya. Ya karena kebetulan Allah memberikan rezeki pada saya maka saya gantikan dengan benda-benda yang ada manfaatnya, dan harganya melebihi TV, seperti ensiklopedi. Sekarang anak saya punya 3 ensiklopedi. Itu memberikan pemahaman pada anak bahwa ini lebih berharga dari TV, dan saya memperkuat dengan dialog bahwa ini lebih baik dari TV.
Apa pengganti TV, selain ensiklopedi?
Kalau anak sudah senang buku apakah kemudian dia masih ingin mencari ganti yang lain. Jadi tidak sekedar ensiklopedi, tapi komputer, buku atau bacaan-bacaan lainnya. Atau juga ketika anak-anak butuh hiburan, saya belikan tenda yang mereka bisa bermain di sana.
Kalau anak sudah senang buku apakah kemudian dia masih ingin mencari ganti yang lain. Jadi tidak sekedar ensiklopedi, tapi komputer, buku atau bacaan-bacaan lainnya. Atau juga ketika anak-anak butuh hiburan, saya belikan tenda yang mereka bisa bermain di sana.
Anak-anak tidak bosan baca ensiklopedi dan buku terus-terusan?
Kalau otak anak itu aktif, maka dia akan cenderung aktif mencari. Kalau dia sudah bosan membaca, maka dia akan mencari kegiatan yang inovatif lainnya. ketika anak-anak suka membaca, maka mereka cenderung komunikatif, lebih mampu mengungkapkan perasaannya. Misalnya, suatu saat anak saya minta dibelikan buku. Untuk apa? Dia mau menulis buku harian. Selain itu, ketika dia tidak terlalu fokus pada TV, saya lihat mereka cenderung menyukai benda-benda intelektual, seperti memotret sendiri. Ia mengembangkan berbagai macam keterampilan karena pikirannya berkembang. Pikirannya tidak tersedot oleh bayangan yang sebenarnya tidak diperlukan itu.
Kalau otak anak itu aktif, maka dia akan cenderung aktif mencari. Kalau dia sudah bosan membaca, maka dia akan mencari kegiatan yang inovatif lainnya. ketika anak-anak suka membaca, maka mereka cenderung komunikatif, lebih mampu mengungkapkan perasaannya. Misalnya, suatu saat anak saya minta dibelikan buku. Untuk apa? Dia mau menulis buku harian. Selain itu, ketika dia tidak terlalu fokus pada TV, saya lihat mereka cenderung menyukai benda-benda intelektual, seperti memotret sendiri. Ia mengembangkan berbagai macam keterampilan karena pikirannya berkembang. Pikirannya tidak tersedot oleh bayangan yang sebenarnya tidak diperlukan itu.
Nilai positif rumah tanpa TV?
Tanpa TV anak akan memiliki kesempatan berfikir yang lebih luas, anak akan mengembangkan inisiatif-inisiatif yang lebih aktif dan progresif. Sementara dengan adanya TV anak siap untuk dicekoki. Anak belum sempat berpikir sudah dijejali dalam tempo yang sangat tinggi. Ketika anda melihat TV, maka dalam 1 menit akan terjadi perubahan-perubahan gambar yang luar biasa cepatnya. Padahal masa kanak-kanak adalah masa yang paling pesat perkembangan otaknya. Semestinya pada masa itulah rangsang-rangsang otak itu dimaksimalkan. Anak betul-betul diberi pengayaan rangsang otak yang luar biasa.
Tanpa TV anak akan memiliki kesempatan berfikir yang lebih luas, anak akan mengembangkan inisiatif-inisiatif yang lebih aktif dan progresif. Sementara dengan adanya TV anak siap untuk dicekoki. Anak belum sempat berpikir sudah dijejali dalam tempo yang sangat tinggi. Ketika anda melihat TV, maka dalam 1 menit akan terjadi perubahan-perubahan gambar yang luar biasa cepatnya. Padahal masa kanak-kanak adalah masa yang paling pesat perkembangan otaknya. Semestinya pada masa itulah rangsang-rangsang otak itu dimaksimalkan. Anak betul-betul diberi pengayaan rangsang otak yang luar biasa.
Mengapa demikian?
Otak itu berkembang dari usia 0 – 6 tahun, dan porsinya mencapai 80 %. Sementara sisanya yang 20 % terjadi pada usia-usia berikutnya. Dari usia itu, yang lebih penting lagi adalah 18 bulan pertama usia anak. 20% perkembangan otak terjadi pada usia itu. Maka alangkah sayangnya jika pada usia-usia yang sangat strategis ini justru anak-anak tidak memperoleh rangsangan yang maksimal. Dan sebaliknya justru hanya memperoleh exposure dari TV. Padahal banyak kegiatan lain yang bisa merangsang daya nalar anak, contohnya membaca.
Otak itu berkembang dari usia 0 – 6 tahun, dan porsinya mencapai 80 %. Sementara sisanya yang 20 % terjadi pada usia-usia berikutnya. Dari usia itu, yang lebih penting lagi adalah 18 bulan pertama usia anak. 20% perkembangan otak terjadi pada usia itu. Maka alangkah sayangnya jika pada usia-usia yang sangat strategis ini justru anak-anak tidak memperoleh rangsangan yang maksimal. Dan sebaliknya justru hanya memperoleh exposure dari TV. Padahal banyak kegiatan lain yang bisa merangsang daya nalar anak, contohnya membaca.
Saya kira anak yang biasa menonton TV, maka di sekolah pun TV memiliki daya tarik yg lebih besar baginya. Karena itu sekolah tidak menjadi surga baginya. Karena di TV anak tidak akan banyak dapat informasi. Ada kasus yang pernah saya dapatkan, ketika ada orang tua yang membawa anaknya, saya kira dia ini idiot sehingga dia tidak naik kelas dan nilainya nol semua, tapi ternyata anak ini tidak idiot. Ia lebih senang nonton TV dan main game, sehingga ketika di kelas, pikirannya tidak di kelas, tapi di rumah, yaitu di TV. [jidi/sahid/www.hidayatullah.com]
Aksi Kecam Serangan Israel Digelar di Jakarta
Mereka meminta dunia internasional segera bertindak secara nyata agar agresi pemerintah Israel segera ditindak
addakwah.com--Aksi mengecam serangan Israel terhadap kapal rombongan relawan kemanusiaan yang membawa berton-ton bantuan bagi warga Gaza, Palestina, digelar di sejumlah tempat di Jakarta, Selasa (1/6).
Pada pagi tadi ratusan orang berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sejak sekitar pukul 07.00 WIB.
Para peserta aksi damai itu membawa berbagai poster dan spanduk yang antara lain berisi tulisan "Jangan Cegah Bantuan Kemanusiaan Menuju Palestina".
Mereka juga meminta agar dunia internasional segera bertindak secara nyata agar agresi pemerintah Israel yang telah melampaui batas itu segera ditindak dengan tegas.
Terlihat pula berbagai bendera Merah Putih dan bendera Palestina yang berwarna hitam-putih-hijau-merah dikibarkan oleh para peserta aksi.
Aksi itu tidak mengakibatkan kemacetan lalu lintas karena para peserta aksi tidak menggunakan lajur jalan MH Thamrin dan hanya berada di dalam bundaran.
Selain aksi di Bundaran HI, aksi yang terkait dengan kecaman terhadap serangan Israel juga dilakukan di depan Kedutaan Amerika Serikat (AS) di Jalan Medan Merdeka Selatan, pada pukul 13.00 WIB. [ant/www.hidayatullah.com]
addakwah.com--Aksi mengecam serangan Israel terhadap kapal rombongan relawan kemanusiaan yang membawa berton-ton bantuan bagi warga Gaza, Palestina, digelar di sejumlah tempat di Jakarta, Selasa (1/6).
Pada pagi tadi ratusan orang berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sejak sekitar pukul 07.00 WIB.
Para peserta aksi damai itu membawa berbagai poster dan spanduk yang antara lain berisi tulisan "Jangan Cegah Bantuan Kemanusiaan Menuju Palestina".
Mereka juga meminta agar dunia internasional segera bertindak secara nyata agar agresi pemerintah Israel yang telah melampaui batas itu segera ditindak dengan tegas.
Terlihat pula berbagai bendera Merah Putih dan bendera Palestina yang berwarna hitam-putih-hijau-merah dikibarkan oleh para peserta aksi.
Aksi itu tidak mengakibatkan kemacetan lalu lintas karena para peserta aksi tidak menggunakan lajur jalan MH Thamrin dan hanya berada di dalam bundaran.
Selain aksi di Bundaran HI, aksi yang terkait dengan kecaman terhadap serangan Israel juga dilakukan di depan Kedutaan Amerika Serikat (AS) di Jalan Medan Merdeka Selatan, pada pukul 13.00 WIB. [ant/www.hidayatullah.com]
Bersegeralah Jangan Menunda
Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar
Hidayatullah.com—Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.
Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan 'tradisi' ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat yang 'doyan' menunda-nunda pekerjaan/waktu.
Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda. Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).
Mengapa menunda?
Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.
Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.
Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini-- seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang --biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.
Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, "besokkan masih bisa dilanjutin." Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.
Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.
Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.
Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"
Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.
Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut
Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya, tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.
Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong, agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.
Segera, segera, segera!
Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.
Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).
Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya, “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.
Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”
Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”
Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas. Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab [Tatang/Robin/hidayatullah.com]
Hidayatullah.com—Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.
Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan 'tradisi' ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat yang 'doyan' menunda-nunda pekerjaan/waktu.
Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda. Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).
Mengapa menunda?
Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.
Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.
Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini-- seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang --biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.
Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, "besokkan masih bisa dilanjutin." Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.
Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.
Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.
Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"
Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.
Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut
Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya, tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.
Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong, agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.
Segera, segera, segera!
Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.
Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).
Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya, “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.
Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”
Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”
Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas. Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab [Tatang/Robin/hidayatullah.com]
MUI: Mengadili Israel Wajib Hukumnya
MUI berharap PBB secepat mungkin menghukum dan mengakhiri kekejaman Israel
Addakwah.com--Aksi biadab tentara Israel yang telah menembaki relawan kemanusiaan Freedom Flotilla mendapat kecaman keras dari ketua MUI pusat, KH. Ma’ruf Amin.
“Biadab. Kafilah yang akan membantu sosial malah ditembaki,” tegas Ma’ruf kepada hidayatullah.com, tadi Selasa (1/6) malam. Atas tindakan Israel tersebut, Ma’ruf berharap PBB secepat mungkin menghukum dan mengakhiri kekejaman Israel.
Kendati begitu, Ma’ruf mengakui jika hal itu bukanlah mudah. Pasalnya, menurut Ma’ruf, selama ini Israel seakan tak tersentuh hukum internasional. Karena itu, ia menyarankan perlunya penggalangan opini yang dilakukan negara-negara Islam.
“Minimal, seluruh negera Islam kompak mengangkat isu tersebut,” ujarnya. Selain itu, ia juga meminta agar OKI, Liga Arab dan pihak lainnya tidak berhenti pada tindakan pengecaman saja, tapi harus dibuktikan secara nyata.
Sanksi tersebut dirasa Ma’ruf sangat penting. Mengingat, Israel tidak bisa diatasi dengan bahasa persuasif. Lebih jauh ia menjelaskan, dalam Islam, sudah sangat jelas apa itu Israel, bagaimana watak dan kelicikannya.
Menurut ia, Israel memiliki banyak ciri buruk; biadab, sombong, suka membunuh, dan suka memusuhi siapapun. Sejumlah ciri-ciri itulah, menurutnya yang bisa dijadikan opini publik dunia internasional untuk membawa Israel ke mahkamah internasional.
Setali tiga uang Indonesia, sebagai negara mayoritas muslim, harus ikut aktif melakukan penggalangan opini tersebut. Lebih jauh lagi, membawa prahara kapal Mavi Marmara itu hingga ke mahkamah internasional dan memutuskan Israel mendapat hukuman dan diisolasi dari dunia internasional.
Terkait hal itu, Ma’ruf mengingatkan bahwa penggalangan opini itu dan juga bantuan lainnya terhadap warga Gaza, Palestina wajib dilakukan. Menurut Ma’ruf, sesama muslim ibarat satu tubuh. Jika satu tubuh lainnya mengalami sakit, maka bagian yang lainnya juga demikian.
“Karena itu, menolong warga Gaza adalah sesuatu kewajiban,” tegasnya. Hal itu menurutnya bisa dilakukan dengan tidak membeli atau memboikot produk-produk yahudi. Tapi, yang harus dilakukan secepat mungkin adalah mengisolasi Israel serta tidak berhubungan dengan Israel dalam bentuk dan kegiatan apapun. [ans/www.hidayatullah.com]
Addakwah.com--Aksi biadab tentara Israel yang telah menembaki relawan kemanusiaan Freedom Flotilla mendapat kecaman keras dari ketua MUI pusat, KH. Ma’ruf Amin.
“Biadab. Kafilah yang akan membantu sosial malah ditembaki,” tegas Ma’ruf kepada hidayatullah.com, tadi Selasa (1/6) malam. Atas tindakan Israel tersebut, Ma’ruf berharap PBB secepat mungkin menghukum dan mengakhiri kekejaman Israel.
Kendati begitu, Ma’ruf mengakui jika hal itu bukanlah mudah. Pasalnya, menurut Ma’ruf, selama ini Israel seakan tak tersentuh hukum internasional. Karena itu, ia menyarankan perlunya penggalangan opini yang dilakukan negara-negara Islam.
“Minimal, seluruh negera Islam kompak mengangkat isu tersebut,” ujarnya. Selain itu, ia juga meminta agar OKI, Liga Arab dan pihak lainnya tidak berhenti pada tindakan pengecaman saja, tapi harus dibuktikan secara nyata.
Sanksi tersebut dirasa Ma’ruf sangat penting. Mengingat, Israel tidak bisa diatasi dengan bahasa persuasif. Lebih jauh ia menjelaskan, dalam Islam, sudah sangat jelas apa itu Israel, bagaimana watak dan kelicikannya.
Menurut ia, Israel memiliki banyak ciri buruk; biadab, sombong, suka membunuh, dan suka memusuhi siapapun. Sejumlah ciri-ciri itulah, menurutnya yang bisa dijadikan opini publik dunia internasional untuk membawa Israel ke mahkamah internasional.
Setali tiga uang Indonesia, sebagai negara mayoritas muslim, harus ikut aktif melakukan penggalangan opini tersebut. Lebih jauh lagi, membawa prahara kapal Mavi Marmara itu hingga ke mahkamah internasional dan memutuskan Israel mendapat hukuman dan diisolasi dari dunia internasional.
Terkait hal itu, Ma’ruf mengingatkan bahwa penggalangan opini itu dan juga bantuan lainnya terhadap warga Gaza, Palestina wajib dilakukan. Menurut Ma’ruf, sesama muslim ibarat satu tubuh. Jika satu tubuh lainnya mengalami sakit, maka bagian yang lainnya juga demikian.
“Karena itu, menolong warga Gaza adalah sesuatu kewajiban,” tegasnya. Hal itu menurutnya bisa dilakukan dengan tidak membeli atau memboikot produk-produk yahudi. Tapi, yang harus dilakukan secepat mungkin adalah mengisolasi Israel serta tidak berhubungan dengan Israel dalam bentuk dan kegiatan apapun. [ans/www.hidayatullah.com]
Tiga Puluh Perempuan Membeli Kapal Untuk Gaza
Cerita tentang Senan Mohammed dari Kuwait. Bersama kawan-kawannya, memutuskan membeli sebuah kapal untuk membantu Gaza
Addakwah.com & Sahabat Al-Aqsa--Di Atas Mavi Marmara—Salah satu dari sedikit Muslimah bercadar di kafilah ini adalah Senan Mohammed dari Kuwait. Senan – sebuah nama yang “separuh Turki, separuh Arab” dan bermakna “ujung paling tajam sebilah pedang” ini – adalah pimpinan delegasi Kuwait yang terdiri dari lima perempuan dan sebelas orang laki-laki. Saat diwawancarai, dia mengenakan setelan kaftan berwarna off-white yang berhiaskan bordiran yang indah, dan tengah melepas cadarnya.
Empat tahun yang lalu Senan bersama enam orang kawannya di Kuwait memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi kemanusiaan yang diberi nama Qawfel. Jumlah aktivis inti mereka sekarang sekitar 30 orang, dan kerja mereka menyantuni anak-anak yatim, para janda dan kaum dhuafa serta para pelajar yang berjihad menuntut ilmu sudah mencakup 24 negara.
Termasuk dalam wilayah kerja mereka adalah Kuwait – “karena di Kuwait juga ada yatim dan orang miskin” -, Saudi Arabia, Bahrain, Yaman, Al-Quds dan Gaza serta Al-Khalil di tanah Palestina, Yordania, Libanon, Turki, Mesir, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, India, Pakistan, Indonesia, China, Iraq, Albania dan Ukrainia.
Ketika ditanya alasan mendirikan perkumpulan untuk tujuan kemanusiaan, Senan tertawa. “Ini bukan hal baru ‘kan? Kakek-kakek kami dari zaman dahulu sudah selalu bekerja membantu orang lain. Kami hanya meneruskan karena kami sadar bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan yang diisi untuk menolong sesama.”
Sekarang ini, kata Senan, sejumlah relawan yang bekerja dengan mereka di berbagai negara pun datang dari berbagai latarbelakang. “Ada di antara mereka yang tidak berhijab, tapi mereka juga menyadari bahwa kehidupan yang nyata adalah yang diisi dengan menolong orang lain, bukan untuk kesenangan diri sendiri.”
Yang menarik adalah Qawfel tidak menerima anggota pria! “This is a ladies-only group. Kelompok perempuan saja,” ujar Senan. “Sudah ada sejumlah pria yang berusaha masuk dan meminta bergabung, tapi kami tolak.”
Kenapa? “Karena bekerja dengan pria malahan mungkin membawa hambatan bagi kami,” jawab Senan. “Mereka melihat hambatan ini-itu dalam bekerja, sedangkan kami bisa lebih bersabar (untuk bekerja terus).”
Kapal Satu Juta Dolar
Tetapi Senan bukan “feminis” anti-lelaki. Ibu dari 3 anak ini (‘Omar yang berusia 21 tahun, Abdullah yang 18 tahun dan satu anak perempuan, Fajr, 15 tahun) menikah di usia 19 tahun dengan Salah Ahmed Al-Jarallah. Di usia 23 tahun dia mengenakan cadar karena “suami saya yang meminta dan saya memuliakan permintaannya.”
Senan, yang pernah berkerja di sebuah kantor pemerintah lalu berhenti sesudah empat tahun karena merasa hanya menyia-nyiakan waktu, bekerja dengan dukungan penuh suaminya. Ketika mendengar rencana pelayaran ke Gaza, Senan memutuskan untuk ikut. Suaminya kemudian memutuskan bukan saja untuk ikut serta tapi bahkan meluaskan kampanye pengumpulan dana Senan kepada teman-temannya sesama pengusaha dan ke kantor-kantor pemerintah.
Untuk misi ke Gaza kali ini, Senan dan kawan-kawannya memutuskan mendukung dengan cara membeli sebuah kapal! Satu dari dua kapal kargo yang berangkat dari Turki membawa bahan-bahan bantuan itu adalah kapal yang dibeli Senan dan kawan-kawannya di Kuwait dan Bahrain.
Berapa harga sebuah kapal wahai Senan?
“Satu juta dolar,” jawab Senan singkat.
Mahasiswi 80 Ribu Euro
Termasuk dalam kerja Senan dan kawan-kawannya adalah “segala sesuatu untuk meninggikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam”. Beberapa waktu lalu, sejumlah Muslim di Berlin, Jerman, memutuskan untuk membeli sebuah gereja. Dana yang tersisa di tangan mereka tak cukup untuk mengubah bangunan itu sehingga layak menjadi masjid. Mereka butuh 80 ribu Euro.
Salah seorang dari kawan Senan yang ada di Berlin mengontak Senan. “Beri saya waktu dua pekan. Ini urusan Allah, saya akan minta kepada Allah,” jawab Senan yang lalu pergi berhaji dan berdoa di Multazam meminta jalan keluar. Di Saudi Arabia dia juga diam-diam melakukan “kampanye penggalangan dana” di kalangan sejumlah perempuan.
“Siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah?” tanya Senan. Seorang mahasiswi berusia 18 tahun dari Bahrain yang juga sedang berhaji termasuk di antara mereka yang mendengar kampanye Senan. Di ujung pembicaraan itu, si gadis yang tak mau disebut namanya itu lalu membuntuti Senan. Bisiknya, “Bibik, beri saya waktu sepekan. Saya sendiri yang akan menutup pinjaman itu.”
“Demi Allah,” cerita Senan. “Dalam waktu persis tiga hari, gadis itu datang kepada saya dan memberikan persis 80 ribu Euro. Saya tidak tahu bagaimana dan dari dia memperoleh dana sebesar itu.”
Ujian Seribu Dolar
Senan dan kawan-kawannya di Qawfel memiliki metode sendiri dalam memilih relawan dan orang-orang yang menjadi pendukung berbagai proyek mereka. Salah satu caranya adalah dengan memberi mereka tes. “Kami beri mereka dana sebanyak, misalnya, 1000 dolar dan kami beri tugas untuk dikerjakan dalam waktu yang tertentu,” tutur Senan. “Kalau mereka berhasil memenuhi deadline, dan kerja mereka bagus, maka kami pertahankan kehadiran mereka dalam organisasi mereka. Kalau tidak, kami putuskan hubungan dengan mereka.”
Bukan itu saja, Senan juga mengikuti metode “pengawasan berkelanjutan” sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Umar bin Al-Khattab. Dahulu, Khalifah ‘Umar selalu mengirim ‘uyun alias pengawas atau bahkan “mata-mata” untuk mengawasi para hakim dan gubernur yang ditunjuknya. Bahkan komandan perang dan Sahabat senior seperti Khalid bin Walid pun pernah merasakan kerasnya pengawasan ‘Umar bin Al-Khattab – Walid dipaksa menjelaskan dari mana dia peroleh uang dalam jumlah besar yang dipakainya untuk membayar seorang penyair untuk membuat syair tentang dirinya.
Nah, Senan menempatkan ‘uyun alias “mata-mata” di tempat-tempat proyek mereka berlangsung. Kata Senan, dia dan teman-temannya melakukan cara ini untuk memastikan bahwa orang-orang yang mereka pilih bersikap amanah. “Yang kami perhatikan bukan apakah seseorang yang kami pilih sebagai pekerja proyek kami adalah yang berjenggot panjang, tapi apakah dia melaksanakan Al-Quran dan Sunnah,” tukas Senan.
Bukan itu saja, Senan dan kawan-kawannya juga mengunjungi setiap negara tempat proyek mereka, dan duduk bersama orang-orang yang bekerja untuk dan menjadi target proyek mereka. “Kami perhatikan apa yang jadi kebutuhan mereka dan kami pilih apa-apa yang mereka pilih (sebagai fokus proyek mereka).”
Membangun Kampung
Termasuk dari upaya memilih apa yang dipilih oleh target proyek Qawfel adalah dengan membangun sebuah kampung di sebuah kawasan bernama Al-Hudaydah.
“Sembilan puluh persen orang di Yaman bisa diklasifikasikan miskin,” kata Senan. “Di banyak tempat kami bekerja seperti sekedar menambal baju yang robek atau bolong. Di Yaman, robek dan bolongnya terlalu banyak sehingga tidak mudah bagi kami untuk memilih.”
Qawfel lalu memutuskan untuk membuat sebuah kampung – yang diberi nama Uways al-Qarni, seorang lelaki di masa Khulafaur Rasyidin yang dikenal sangat memuliakan orangtuanya.
“Kami sedang membangun sekolah, dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas. Kami buat 50 buah rumah. Kami buat pasar dan pusat olahraga,” cerita Senan. “Tapi kami buat persyaratan untuk mereka yang akan tinggal di kampung ini – yang pertama adalah mereka tidak boleh pakai ‘narkoba.’
Senan menyebut sejenis tanaman yang memiliki efek adiktif, seperti ganja, yang biasa dikonsumsi oleh sejumlah orang di Yaman. “Mereka beralasan itu hanya tanaman, tapi tidak, bagi kami itu narkoba. Kami kirim ‘uyun ke proyek kami di Yaman itu. Kalau ada yang menggunakan benda itu, mereka harus keluar dari kampung yang tengah kami bangun itu.”
Rumah-rumah yang dibangun itu diutamakan untuk para janda miskin dan statusnya adalah pinjaman. “Kalau suatu saat mereka mampu berdiri sendiri dan bisa membeli rumah lain, mereka boleh meninggalkan kampung.”
Puluhan Tahun Tanpa Gula
Salah satu kerja Qawfel di Yordan adalah menyantuni para pengungsi Palestina yang terusir dari tanah kelahiran dan tanah milik mereka pada tahun 1948 ketika negara Zionis Israel dideklarasikan. Sekarang ini, menurut Senan, ada sekitar 15 ribu pengungsi Palestina yang masih saja hidup terlunta-lunta di salah satu sudut padang-padang pasir Yordan, di berbagai kemah dan pondok-pondok sementara.
“Kalau musim dingin, mereka menderita kedinginan di bawah hujan salju. Kalau musim panas, mereka harus menghadapi bahaya banyaknya ular yang menyelinap masuk ke kemah-kemah mereka,” cerita Senan.
Tak ada sumber air bersih. Tanah yang mereka tempati adalah milik orang-orang Kristen dan mereka harus membayar sewa. Makanan tak tentu. Penyakit kulit menyebar dengan mudahnya di antara mereka. “Belakangan saya tahu bahwa penyakit kulit yang mereka alami adalah penyakit yang menjangkiti monyet,” cerita Senan.
“Pemerintah Yordan mengaku tidak tahu-menahu kehadiran mereka,” tambah Senan.
Yang dilakukan Senan dan kawan-kawannya adalah membangun 15 rumah pertama untuk para janda. “Kami bawakan selimut. Kami sediakan makanan untuk berbuka puasa dan pada Hari Raya.”
Ada kenangan yang tak akan dilupakan Senan. Pada Ramadhan kemarin, Senan dan kawan-kawannya datang membawa berjenis-jenis makanan termasuk nasi dan daging. “Sudah begitu lama mereka tidak makan dengan baik. Saya menumpahkan (minuman) Pepsi dan saya menyaksikan betapa seorang bapak tua lalu berusaha menjilat tumpahan Pepsi itu dari tanah!”
Senan dan kawan-kawannya juga membawa halawiyat alias manisan khas negeri-negeri Arab. Seorang nenek dari Palestina mencicipinya, lalu dengan mata berkaca-kaca berujar, “Terakhir kali saya merasakan manisan seperti ini adalah ketika saya berumur 6 tahun (sebelum terusir dari Palestina).”
Di tempat yang sama itu Senan dan kawan-kawannya juga mendirikan sebuah klinik pengobatan mata dan mengatur program qardan hasanah – yakni menyediakan sejumlah uang untuk modal usaha yang bergulir dari orang per orang. “Kalau seorang penerima sudah mampu mandiri, maka dia harus mengembalikan modal itu agar bisa dipakai oleh orang lain,” cerita Senan.
Terpaksa Mendaftar
Dana yang dikumpulkan oleh Senan dan kawan-kawannya terutama berasal dari Kuwait, Jerman, Bahrain, dan Saudi Arabia. Pada awalnya Senan dan kawan-kawannya memilih untuk sama sekali tidak mendaftarkan diri sebagai LSM kepada pemerintah Kuwait karena ingin mempertahankan kemandirian mereka. Tetapi semakin lama, dengan semakin besarnya organisasi mereka, Senan tidak lagi bisa menolak keharusan mendaftarkan diri dan mendapat dukungan pemerintah Kuwait.
Karena wilayah kerja mereka yang semakin meluas, maka mereka mulai merasakan kesulitan bila hendak, misalnya, mengirimkan dana untuk proyek-proyek kemanusiaan di berbagai negara. Pihak-pihak tertentu seperti Amerika Serikat dan di Inggris berusaha mengikuti pergerakan dana yang Senan dan kawan-kawannya kumpulkan.
Kumpul di Surga
Senan menggambarkan suaminya, Salah, 45 tahun, sebagai seorang suami yang sangat mendukung perjuangan istrinya. “Ketika saya memutuskan untuk ikut dalam kafilah ini, suami saya lalu mengumpulkan kawan-kawannya dan meminta mereka untuk ikut mendukung,” kata Senan. “Bukan hanya itu. Salah dan kawan-kawannya kemudian bahkan me-lobby pemerintah sehingga akhirnya pemerintah Kuwait mendukung penuh proyek kafilah ini.”
Pada awalnya, ibunda Senan berkeberatan melepas Senan mengikuti kafilah yang mungkin akan menghadang bahaya ini, tetapi kemudian ridha karena Salah pun ikut dalam kafilah. “Anak-anak saya bilang, ‘Ibu, kami bangga pada Ibu’,” tutur Senan.
Senan menggeleng-gelengkan kepalanya seakan takjub ketika diminta bercerita tentang suaminya. “Alhamdulillah, luar biasa banyaknya karuniaNya kepada saya,” tutur Senan. “Saya hanya berharap bahwa saya akan bisa berkumpul juga dengan suami saya di surga nanti.” [Santi Soekanto, dzikru, Surya Fachrizal/hidayatullah.com]
Addakwah.com & Sahabat Al-Aqsa--Di Atas Mavi Marmara—Salah satu dari sedikit Muslimah bercadar di kafilah ini adalah Senan Mohammed dari Kuwait. Senan – sebuah nama yang “separuh Turki, separuh Arab” dan bermakna “ujung paling tajam sebilah pedang” ini – adalah pimpinan delegasi Kuwait yang terdiri dari lima perempuan dan sebelas orang laki-laki. Saat diwawancarai, dia mengenakan setelan kaftan berwarna off-white yang berhiaskan bordiran yang indah, dan tengah melepas cadarnya.
Empat tahun yang lalu Senan bersama enam orang kawannya di Kuwait memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi kemanusiaan yang diberi nama Qawfel. Jumlah aktivis inti mereka sekarang sekitar 30 orang, dan kerja mereka menyantuni anak-anak yatim, para janda dan kaum dhuafa serta para pelajar yang berjihad menuntut ilmu sudah mencakup 24 negara.
Termasuk dalam wilayah kerja mereka adalah Kuwait – “karena di Kuwait juga ada yatim dan orang miskin” -, Saudi Arabia, Bahrain, Yaman, Al-Quds dan Gaza serta Al-Khalil di tanah Palestina, Yordania, Libanon, Turki, Mesir, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, India, Pakistan, Indonesia, China, Iraq, Albania dan Ukrainia.
Ketika ditanya alasan mendirikan perkumpulan untuk tujuan kemanusiaan, Senan tertawa. “Ini bukan hal baru ‘kan? Kakek-kakek kami dari zaman dahulu sudah selalu bekerja membantu orang lain. Kami hanya meneruskan karena kami sadar bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan yang diisi untuk menolong sesama.”
Sekarang ini, kata Senan, sejumlah relawan yang bekerja dengan mereka di berbagai negara pun datang dari berbagai latarbelakang. “Ada di antara mereka yang tidak berhijab, tapi mereka juga menyadari bahwa kehidupan yang nyata adalah yang diisi dengan menolong orang lain, bukan untuk kesenangan diri sendiri.”
Yang menarik adalah Qawfel tidak menerima anggota pria! “This is a ladies-only group. Kelompok perempuan saja,” ujar Senan. “Sudah ada sejumlah pria yang berusaha masuk dan meminta bergabung, tapi kami tolak.”
Kenapa? “Karena bekerja dengan pria malahan mungkin membawa hambatan bagi kami,” jawab Senan. “Mereka melihat hambatan ini-itu dalam bekerja, sedangkan kami bisa lebih bersabar (untuk bekerja terus).”
Kapal Satu Juta Dolar
Tetapi Senan bukan “feminis” anti-lelaki. Ibu dari 3 anak ini (‘Omar yang berusia 21 tahun, Abdullah yang 18 tahun dan satu anak perempuan, Fajr, 15 tahun) menikah di usia 19 tahun dengan Salah Ahmed Al-Jarallah. Di usia 23 tahun dia mengenakan cadar karena “suami saya yang meminta dan saya memuliakan permintaannya.”
Senan, yang pernah berkerja di sebuah kantor pemerintah lalu berhenti sesudah empat tahun karena merasa hanya menyia-nyiakan waktu, bekerja dengan dukungan penuh suaminya. Ketika mendengar rencana pelayaran ke Gaza, Senan memutuskan untuk ikut. Suaminya kemudian memutuskan bukan saja untuk ikut serta tapi bahkan meluaskan kampanye pengumpulan dana Senan kepada teman-temannya sesama pengusaha dan ke kantor-kantor pemerintah.
Untuk misi ke Gaza kali ini, Senan dan kawan-kawannya memutuskan mendukung dengan cara membeli sebuah kapal! Satu dari dua kapal kargo yang berangkat dari Turki membawa bahan-bahan bantuan itu adalah kapal yang dibeli Senan dan kawan-kawannya di Kuwait dan Bahrain.
Berapa harga sebuah kapal wahai Senan?
“Satu juta dolar,” jawab Senan singkat.
Mahasiswi 80 Ribu Euro
Termasuk dalam kerja Senan dan kawan-kawannya adalah “segala sesuatu untuk meninggikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam”. Beberapa waktu lalu, sejumlah Muslim di Berlin, Jerman, memutuskan untuk membeli sebuah gereja. Dana yang tersisa di tangan mereka tak cukup untuk mengubah bangunan itu sehingga layak menjadi masjid. Mereka butuh 80 ribu Euro.
Salah seorang dari kawan Senan yang ada di Berlin mengontak Senan. “Beri saya waktu dua pekan. Ini urusan Allah, saya akan minta kepada Allah,” jawab Senan yang lalu pergi berhaji dan berdoa di Multazam meminta jalan keluar. Di Saudi Arabia dia juga diam-diam melakukan “kampanye penggalangan dana” di kalangan sejumlah perempuan.
“Siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah?” tanya Senan. Seorang mahasiswi berusia 18 tahun dari Bahrain yang juga sedang berhaji termasuk di antara mereka yang mendengar kampanye Senan. Di ujung pembicaraan itu, si gadis yang tak mau disebut namanya itu lalu membuntuti Senan. Bisiknya, “Bibik, beri saya waktu sepekan. Saya sendiri yang akan menutup pinjaman itu.”
“Demi Allah,” cerita Senan. “Dalam waktu persis tiga hari, gadis itu datang kepada saya dan memberikan persis 80 ribu Euro. Saya tidak tahu bagaimana dan dari dia memperoleh dana sebesar itu.”
Ujian Seribu Dolar
Senan dan kawan-kawannya di Qawfel memiliki metode sendiri dalam memilih relawan dan orang-orang yang menjadi pendukung berbagai proyek mereka. Salah satu caranya adalah dengan memberi mereka tes. “Kami beri mereka dana sebanyak, misalnya, 1000 dolar dan kami beri tugas untuk dikerjakan dalam waktu yang tertentu,” tutur Senan. “Kalau mereka berhasil memenuhi deadline, dan kerja mereka bagus, maka kami pertahankan kehadiran mereka dalam organisasi mereka. Kalau tidak, kami putuskan hubungan dengan mereka.”
Bukan itu saja, Senan juga mengikuti metode “pengawasan berkelanjutan” sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Umar bin Al-Khattab. Dahulu, Khalifah ‘Umar selalu mengirim ‘uyun alias pengawas atau bahkan “mata-mata” untuk mengawasi para hakim dan gubernur yang ditunjuknya. Bahkan komandan perang dan Sahabat senior seperti Khalid bin Walid pun pernah merasakan kerasnya pengawasan ‘Umar bin Al-Khattab – Walid dipaksa menjelaskan dari mana dia peroleh uang dalam jumlah besar yang dipakainya untuk membayar seorang penyair untuk membuat syair tentang dirinya.
Nah, Senan menempatkan ‘uyun alias “mata-mata” di tempat-tempat proyek mereka berlangsung. Kata Senan, dia dan teman-temannya melakukan cara ini untuk memastikan bahwa orang-orang yang mereka pilih bersikap amanah. “Yang kami perhatikan bukan apakah seseorang yang kami pilih sebagai pekerja proyek kami adalah yang berjenggot panjang, tapi apakah dia melaksanakan Al-Quran dan Sunnah,” tukas Senan.
Bukan itu saja, Senan dan kawan-kawannya juga mengunjungi setiap negara tempat proyek mereka, dan duduk bersama orang-orang yang bekerja untuk dan menjadi target proyek mereka. “Kami perhatikan apa yang jadi kebutuhan mereka dan kami pilih apa-apa yang mereka pilih (sebagai fokus proyek mereka).”
Membangun Kampung
Termasuk dari upaya memilih apa yang dipilih oleh target proyek Qawfel adalah dengan membangun sebuah kampung di sebuah kawasan bernama Al-Hudaydah.
“Sembilan puluh persen orang di Yaman bisa diklasifikasikan miskin,” kata Senan. “Di banyak tempat kami bekerja seperti sekedar menambal baju yang robek atau bolong. Di Yaman, robek dan bolongnya terlalu banyak sehingga tidak mudah bagi kami untuk memilih.”
Qawfel lalu memutuskan untuk membuat sebuah kampung – yang diberi nama Uways al-Qarni, seorang lelaki di masa Khulafaur Rasyidin yang dikenal sangat memuliakan orangtuanya.
“Kami sedang membangun sekolah, dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas. Kami buat 50 buah rumah. Kami buat pasar dan pusat olahraga,” cerita Senan. “Tapi kami buat persyaratan untuk mereka yang akan tinggal di kampung ini – yang pertama adalah mereka tidak boleh pakai ‘narkoba.’
Senan menyebut sejenis tanaman yang memiliki efek adiktif, seperti ganja, yang biasa dikonsumsi oleh sejumlah orang di Yaman. “Mereka beralasan itu hanya tanaman, tapi tidak, bagi kami itu narkoba. Kami kirim ‘uyun ke proyek kami di Yaman itu. Kalau ada yang menggunakan benda itu, mereka harus keluar dari kampung yang tengah kami bangun itu.”
Rumah-rumah yang dibangun itu diutamakan untuk para janda miskin dan statusnya adalah pinjaman. “Kalau suatu saat mereka mampu berdiri sendiri dan bisa membeli rumah lain, mereka boleh meninggalkan kampung.”
Puluhan Tahun Tanpa Gula
Salah satu kerja Qawfel di Yordan adalah menyantuni para pengungsi Palestina yang terusir dari tanah kelahiran dan tanah milik mereka pada tahun 1948 ketika negara Zionis Israel dideklarasikan. Sekarang ini, menurut Senan, ada sekitar 15 ribu pengungsi Palestina yang masih saja hidup terlunta-lunta di salah satu sudut padang-padang pasir Yordan, di berbagai kemah dan pondok-pondok sementara.
“Kalau musim dingin, mereka menderita kedinginan di bawah hujan salju. Kalau musim panas, mereka harus menghadapi bahaya banyaknya ular yang menyelinap masuk ke kemah-kemah mereka,” cerita Senan.
Tak ada sumber air bersih. Tanah yang mereka tempati adalah milik orang-orang Kristen dan mereka harus membayar sewa. Makanan tak tentu. Penyakit kulit menyebar dengan mudahnya di antara mereka. “Belakangan saya tahu bahwa penyakit kulit yang mereka alami adalah penyakit yang menjangkiti monyet,” cerita Senan.
“Pemerintah Yordan mengaku tidak tahu-menahu kehadiran mereka,” tambah Senan.
Yang dilakukan Senan dan kawan-kawannya adalah membangun 15 rumah pertama untuk para janda. “Kami bawakan selimut. Kami sediakan makanan untuk berbuka puasa dan pada Hari Raya.”
Ada kenangan yang tak akan dilupakan Senan. Pada Ramadhan kemarin, Senan dan kawan-kawannya datang membawa berjenis-jenis makanan termasuk nasi dan daging. “Sudah begitu lama mereka tidak makan dengan baik. Saya menumpahkan (minuman) Pepsi dan saya menyaksikan betapa seorang bapak tua lalu berusaha menjilat tumpahan Pepsi itu dari tanah!”
Senan dan kawan-kawannya juga membawa halawiyat alias manisan khas negeri-negeri Arab. Seorang nenek dari Palestina mencicipinya, lalu dengan mata berkaca-kaca berujar, “Terakhir kali saya merasakan manisan seperti ini adalah ketika saya berumur 6 tahun (sebelum terusir dari Palestina).”
Di tempat yang sama itu Senan dan kawan-kawannya juga mendirikan sebuah klinik pengobatan mata dan mengatur program qardan hasanah – yakni menyediakan sejumlah uang untuk modal usaha yang bergulir dari orang per orang. “Kalau seorang penerima sudah mampu mandiri, maka dia harus mengembalikan modal itu agar bisa dipakai oleh orang lain,” cerita Senan.
Terpaksa Mendaftar
Dana yang dikumpulkan oleh Senan dan kawan-kawannya terutama berasal dari Kuwait, Jerman, Bahrain, dan Saudi Arabia. Pada awalnya Senan dan kawan-kawannya memilih untuk sama sekali tidak mendaftarkan diri sebagai LSM kepada pemerintah Kuwait karena ingin mempertahankan kemandirian mereka. Tetapi semakin lama, dengan semakin besarnya organisasi mereka, Senan tidak lagi bisa menolak keharusan mendaftarkan diri dan mendapat dukungan pemerintah Kuwait.
Karena wilayah kerja mereka yang semakin meluas, maka mereka mulai merasakan kesulitan bila hendak, misalnya, mengirimkan dana untuk proyek-proyek kemanusiaan di berbagai negara. Pihak-pihak tertentu seperti Amerika Serikat dan di Inggris berusaha mengikuti pergerakan dana yang Senan dan kawan-kawannya kumpulkan.
Kumpul di Surga
Senan menggambarkan suaminya, Salah, 45 tahun, sebagai seorang suami yang sangat mendukung perjuangan istrinya. “Ketika saya memutuskan untuk ikut dalam kafilah ini, suami saya lalu mengumpulkan kawan-kawannya dan meminta mereka untuk ikut mendukung,” kata Senan. “Bukan hanya itu. Salah dan kawan-kawannya kemudian bahkan me-lobby pemerintah sehingga akhirnya pemerintah Kuwait mendukung penuh proyek kafilah ini.”
Pada awalnya, ibunda Senan berkeberatan melepas Senan mengikuti kafilah yang mungkin akan menghadang bahaya ini, tetapi kemudian ridha karena Salah pun ikut dalam kafilah. “Anak-anak saya bilang, ‘Ibu, kami bangga pada Ibu’,” tutur Senan.
Senan menggeleng-gelengkan kepalanya seakan takjub ketika diminta bercerita tentang suaminya. “Alhamdulillah, luar biasa banyaknya karuniaNya kepada saya,” tutur Senan. “Saya hanya berharap bahwa saya akan bisa berkumpul juga dengan suami saya di surga nanti.” [Santi Soekanto, dzikru, Surya Fachrizal/hidayatullah.com]
I Love You, Mom!
By: Ria Fariana
Ketika melihat tivi, ada selingan iklan. Muncul balita sebagai model salah satu produk susu bayi, bilang ‘I love you, Mom!’ Ihh…gemes banget. Pernah nggak sih kamu bilang ke ortumu kayak gitu? Hmm.. jangan-jangan tiap hari malah berantem mulu, kali ye. Uppss, kamu bukan tipe anak durhaka kan? Semoga.
Banyak banget kejadian di sekeliling kita yang memberi contoh jelek, terutama perlakuan terhadap ortu. Dan yang paling parah adalah perlakuan buruk terhadap sosok ibu. Mulai berani membangkang terhadap perintahnya, membentak, hingga memukul ibu secara fisik. Hanya karena uang saku kurang, seorang anak bisa tega membentak, memarahi, bahkan memukul ibunya. Durhaka betul nih bocah. Belum lagi hanya karena ibunya berpendidikan lebih rendah dari dirinya, anaknya jadi malu mempunyai ibu yang bodoh. Naudzubillahi min dzalik.
Maraknya program tivi semisal Derap Hukum, Fakta, Brutal, Buser, Sergap dan tayangan sejenis lainnya, banyak sekali mengisahkan kejadian tragis seorang anak yang tega membunuh ortu kandungnya sendiri. Belum lagi bila kita perhatikan sekeliling kita, penuh dengan kejadian seperti itu di depan mata. Kenapa sih bisa muncul hal-hal yang tidak wajar seperti ini? Bukankah ortu adalah orang pertama yang harus kita hormati setelah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya?
Salah asuh
Eits…ini bukan judul roman yang ditulis oleh Marah Rusli itu lho. Salah asuh adalah pola didik salah yang diterapkan orangtua kepada anak. Ada atau bahkan banyak orangtua yang ketika menikah, belum siap menjadi orangtua. Menjadi seseorang yang kelak akan dipanggil ibu, mama, ummi, bunda atau sebutan apa pun bagi seseorang yang telah melahirkan kita. Begitu juga dengan sebutan bapak, ayah, papa, abi atau apapun sebutannya bagi seseorang yang ikut andil dalam keberadaan kita di dunia ini. Istilahnya sih semacam ‘urunan’ kalo kata orang Jawa dan saweran kalo kata orang Sunda tentang keberadaan ayah ini hehe. Mereka tak tahu bagaimana mendidik anak dengan baik dan benar. Pernikahan bagi mereka hanya dianggap satu fase yang harus dilalui oleh manusia tanpa pernah berpikir serius tentang cara mendidik anak-anaknya.
…tanpa dididik bahwa ini benar dan ini salah, anak akan menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah selalu benar…
Ketika anak nakal, dibiarkan saja. Ketika anak membangkang dan berani membentak ortu, dibilangnya masih kecil, entar juga bakal tahu sendiri. Padahal anak, tanpa dididik bahwa ini benar dan ini salah, dia akan menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah selalu benar. Jadilah ketika anak beranjak remaja, orangtua merasa kecolongan ketika anaknya menjadi sosok yang suka membantah dan tidak sopan terhadap orangtua.
Belum lagi faktor lingkungan. Seorang anak yang semula dididik dengan baik oleh ortunya di rumah, tapi ketika bergaul dengan temannya yang suka melawan ortunya, ia sangat mungkin untuk terpengaruh. Karena apa? Karena seringkali apa yang mereka dapat dari pergaulan lebih membekas daripada pendidikan dalam rumah. Jadilah anak meniru perilaku teman yang salah asuh tadi. Gawat kan?
Hal ini diperparah dengan tayangan-tayangan yang tidak mendidik, baik di sinetron atau pun program televisi yang lain. Anak berani sama ortu, mulai membentak hingga memukul seakan-akan menjadi hal yang lumrah dan biasa. Negara, yang seharusnya tanggap terhadap masalah ini, malah bungkam seribu bahasa. Ijin-ijin untuk tayangan merusak ini terus saja dikeluarkan tanpa mau peduli dengan masa depan generasi muda bangsa ini. Ciloko!
Sobat muda muslim, apapun adanya dirimu, tak ada alasan untuk berani dan bertingkah laku tidak sopan terhadap orangtua. Bagaimana pun mereka adalah orang yang ‘mengadakan’ kita di dunia, membesarkan, mendidik, dan menyayangi serta mengasuh kita. Tidak seharusnya kita hanya bisa menyalahkan ortu. Kita harus bisa mengingatkan mereka bila salah, dan mematuhinya bila diajak kepada kebenaran.
Kalo kamu adalah salah satu dari mereka yang memang salah asuh, jangan hanya bisa nyalahin ortu. Interospeksi diri. Karena kita punya akal untuk tahu mana yang benar dan salah. Berani sama ortu jelas bukan tindakan yang bisa dibenarkan. Kalo memang kondisinya seperti itu, segera nyadar dan bertaubat. Meski ortu cuma lulusan SD, tanpa mereka kamu nggak bakal ada. Meski ortu bikin kamu nggak pede, bukan alasan untuk bertindak semau gue. Ortu tetap sosok yang patut mendapat cinta dan hormat kita, tak peduli apa latar belakang dan pendidikannya. Selama mereka berdua mengajak kebenaran, why not? Bahkan ketika mereka mengajak kepada kemungkaran pun kita tidak boleh berlaku kasar padanya. Cukuplah mengingatkan dengan cara yang ma’ruf, yaitu baik dan sopan. Mau kan? Kudu banget dong ya. Biar ahsan.
…Ortu tetap sosok yang patut mendapat cinta dan hormat kita, tak peduli apa latar belakang dan pendidikannya. Selama mereka berdua mengajak kebenaran…
Mau rukun sama ortu?
Banyak cara agar bisa akur dan rukun sama ortu. Misalnya, mulai kenali dulu kebiasaan-kebiasaan beliau berdua, ambil simpatinya. Nggak ada salahnya juga jika kamu ambilin ayahmu minum sepulang lelah bekerja atau bahkan mijitin pundaknya. Kepada bunda yang sudah melahirkan kamu bisa memberi kejutan tiba-tiba dengan ngasih kado meski sederhana. Dijamin deh, mereka berdua bakal makin sayang sama kamu. Mereka yang semula agak keberatan kamu pake jilbab jadi luluh hatinya. Yang semula khawatir anaknya ikut kelompok pengajian karena isu teroris jadi makin getol malah berbalik nyuruh anaknya ngaji karena sudah tahu hasilnya. Ortu mana yang nggak makin sayang sama anaknya kalo ngaji itu ternyata membawa perubahan positif pada diri anaknya dan keluarga.
Hal lain yang bisa kamu lakukan dengan ortu adalah komunikasi. Tanpa diminta, tak ada salahnya kok kamu menceritakan tentang teman-teman kamu di sekolah atau di pengajian. Terutama nih yang bisa dijadikan teladan sama kamu dan ortumu. Misal, si Anto yang prestasinya bagus banget padahal doi aktif di rohis. Trus bagi cewek juga gitu. Tuh si Sari yang meski pake kerudung dan jilbab tapi bahasa Inggris-nya ngejos. Belum lagi prestasinya di lomba karya ilmiah remaja, jadi pemimpin OSIS lagi. Tapi ngaji dan dakwahnya juga pol. Wuih, keren kan?
Eh, tapi bagi cowok, sebaiknya contoh-contoh yang kamu berikan juga tentang temen cowok dong. Begitu juga dengan cewek, lebih baik cerita prestasi yang udah dicapai temen cewekmu. Bukan apa-apa sih, khawatirnya kalo kamu banyak cerita tentang lawan jenismu, entar ortumu malah bingung ngira kalo kamu lagi naksir dan pingin pacaran hehe. Berabe dong kalo gini. Tapi it’s okay sih kalo kamu bisa menyampaikannya dengan proporsional, juga nggak masalah kok. Bahkan bisa sekalian jelaskan ke ortu gimana Islam menyikapi tentang pacaran. Asyik kan, sekali rengkuh dayung, dua-tiga hari capeknya masih kerasa, eh, maksudnya dua or tiga pulau terlampaui.
Begitu juga dengan kamu, para cewek yang kemungkinan bakal perang dingin sama ortu karena keputusanmu untuk memakai jilbab dan kerudung. Saya juga dulu pernah ngerasain yang seperti itu. Didiamkan ortu dan diboikot seluruh keluarga karena memutuskan menutup aurat di saat usia sekolah. Meski sedih, tapi nggak boleh dong jadi benci or berani sama ortu hanya karena berbeda pendapat tentang sesuatu. Tenang aja lagi.
Malah moment ini sebetulnya jadi ajang kita untuk berdakwah dan menjelaskan pada mereka bahwa Islam itu indah. Tetap sapa ortu dan keluarga kita. Tetap hormati dan patuhi selama tidak bertentangan dengan aturan Allah. Bahkan tunjukin bahwa pemahaman Islam yang akhirnya mengantarkan kita berjilbab, seharusnya bisa membuat kita makin cinta sama ortu. Betul?
Kamu yang dulunya tiap pergi dan pulang ke rumah nggak pernah mengucap salam, eh... sekarang jadi sopan dengan selalu mengucap salam. Lebih bagus lagi kalo kamu mencium tangan ibu bapakmu sebelum berangkat sekolah. Canggung? So, pasti. Karena semua itu memang berawal dari kebiasaan. Saya dulu juga gitu kok. Tapi yakin deh, lama-lama ortu jadi terharu dan bakal makin sayang sama kita. Apalagi ada bonus tambahan pake cipika-cipiki sama ortu di moment tertentu. Lebaran misalnya. Ditanggung bakal basah mata ortumu karena terharu.
…Banyak cara agar bisa akur dan rukun sama ortu. Misalnya, mulai kenali dulu kebiasaan-kebiasaan beliau berdua, ambil simpatinya…
Wah… malu dong kalo cowok cipika-cipiki sama ortu. Kata siapa? Itu kan masalah kebiasaan saja. Pernah lihat di tivi nggak, orang bule yang bukan muslim mencium pipi mamanya? Kalo mereka bisa menunjukkan sikap sayang ke mamanya sedemikian rupa, kenapa kita nggak? Kakak cowok saya aja, semakin doi belajar Islam semakin sering mencium pipi ibu. Saya aja yang anak cewek nggak sebegitunya, jadi ngiri hehe…
Kenapa sih harus baik sama ortu?
Selain memang perintah Islam untuk selalu berbuat baik pada orang tua kita, nggak ada jeleknya sama sekali kok kamu baik dan menunjukan perhatian ke ortu kamu. Bahkan banyak untungnya daripada mudharatnya. Meski bukan karena untung ini kamu melakukan kebaikan sama ortu. Paham kan maksudnya?
Jangan kayak Madonna yang hubungan dengan mamanya aja nggak harmonis. Di salah satu wawancara tivi, doi menyalahkan mamanya yang telah membuatnya menjadi remaja tak bahagia sebelum akhirnya tenar seperti sekarang. Atau seperti artis ibukota yang tak mau mengakui ayah kandungnya karena dianggapnya telah menyakiti hati ibunya dan juga dirinya sendiri. Atau seperti tetangga saya yang merasa ibunya salah asuh dan mendidik dirinya dengan tidak benar, hingga tega mau menukar tambah dengan orang lain. Duile emangnya panci bisa ditukar tambah, Non?
Sobat muda muslim, jangan sampai kita menjadi seseorang seperti contoh yang di atas itu. Apapun yang dilakukan oleh kedua orang tua kita, mereka tetap layak mendapat penghormatan dan kasih sayang dari kita, anak-anaknya. Bahkan, kewajiban kitalah untuk menasihati dengan cara lemah lembut dan sopan bila mereka tidak tahu tentang hukum-hukum Allah. Ketika kita dilarang pake jilbab, nggak boleh ngaji, itu semua bukan karena ortu nggak sayang kita lagi. Tapi murni karena faktor ketidakpahaman dan salah persepsi tentang jilbab dan anak ngaji.
Bukan salah ortu kita 100% karena di sini peran lingkungan dan negara juga turut andil dalam persepsi yang dipunya masyarakatnya. Ledakan bom yang terjadi selalu dikaitkan dengan aktivis jamaah Islam. Jilbab seringkali diidentikkan dengan busana Arab dan sesuatu yang kuno dan tidak modis. Tulalit kan?
…Apapun yang dilakukan oleh kedua orang tua kita, mereka tetap layak mendapat penghormatan dan kasih sayang dari kita, anak-anaknya…
Jadi sekali lagi, jangan menyerah dalam memahamkan ortu ya. Saya aja dulu butuh waktu tahunan untuk membuat ortu dan keluarga bisa menerima bahwa jilbab dan aktivitas ngaji tidak menghalangi kita untuk berprestasi. Sebaliknya, pemahaman Islam yang benar akan membuat kita semakin sayang dan menghormati ortu. Jadilah, mereka tidak keberatan lagi dan bahkan menjadi pendukung utama aktivitas ngaji dan dakwah kita. Tidak berhenti di situ saja, mereka juga mulai memahami Islam dengan lebih baik dan mengamalkannya. Lebih asyik lagi ketika mereka juga turut andil dalam mendakwahkan Islam ke keluarga besar dan lingkungan sekitar rumah. Wihhh…senang nggak sih?
Itu semua nggak bakal kita dapat bila kita cuek terhadap ortu. Mereka pun akan sangat sedih bila anaknya menjaga jarak. Coba tanya kalo nggak percaya ke ortu kamu masing-masing di rumah. Mereka ingin memahami dunia anak-anaknya yang memang sudah berbeda banget dengan jaman mereka waktu masih remaja dulu. Nah, tugas kamulah untuk menjembatani dunia mereka dengan duniamu. So, mulai saat ini, detik ini, tekadkan dengan kuat di dalam hatimu untuk selalu menyayangi ortu dan membahagiakannya. Karena apa? Karena memang Islam menyuruh kita demikian. Miliki motto bagus untuk ortumu; “Anak ngaji, kudu peduli karena Islam menyuruh kita berbakti”. Ayo buktikan! [voa-islam.com]
Palestina Akan Menjadi Pusat Kebangkitan Islam?
Addakwah.com ---------Sudah lebih dari 62 tahun penjajah dan teroris sejati Zionis Israel menduduki bumi kaum muslimin, Palestina. Selama itu, Zionis Israel melakukan aksi kejahatan paling biadab terhadap hak bangsa Palestina yang tertindas dan terisolasi. Dan selama itu pula, Bangsa Palestina telah melewati penindasan dalam rentang waktu yang penuh dengan berbagai macam ujian dan cobaan.
Di sanalah, terdapat kiblat pertama umat Islam, tempat dilahirkannya nabi-nabi pilihan, kota ketiga yang diberkahi dan dimuliakan Alllah Subhanahu wa Ta'ala, serta dijadikan area jihad fi sabilillah. Namun kini, Tempat suci tersebut telah dicaplok Zionis laknatullah 'alaihim, Al-Quds diyahudikan secara terang-terangan. Bahkan, masjid suci Al-Aqsha berusaha dirobohkan.
Walaupun demikian, banyak kalangan yang menilai bahwa Palestina akan menjadi jantung kebangkitan Islam. Di sanalah, menurut isyarat hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan berdiri khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Bahkan, Palestina akan menjadi pusat kekhilafahan. Wallahu a'lam.
Ikhwan fillah, mari kita lihat beberapa hadits yang menguatkan hal di atas:
Pertama, hadits Ibn Hawalah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
لَتُفْتَحَنَّ لَكُمْ الشَّامُ ثُمَّ لَتُقْسَمَنَّ لَكُمْ كُنُوْزُ فَارِسِ وَالرُّوْمِ وَلَيَكُوْنَنَّ ِلأَحَدِكُمْ مِنَ الْمَالِ كَذَا وَكَذَا حَتَّى إِنَّ أَحَدَكُمْ لِيُعْطَى مِائَةَ دِيْنَارٍ فَيَتَسَخَطَهَا ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِى فَقَالَ يَا اِبْنَ حَوَالَةَ إِذَا رَأَيْتَ الْخِلاَفَةَ قَدْ نَزَلَتِ اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ فَقَدْ أَتَتْ الْزَلاَزِلُ وَالسَّلاَسِلُ وَاْلبَلاَبِلُ وَالْفِتَنُ وَاْلأُمُوْرُ اْلعِظاَمُ وَالسَّاعَةُ أَقْرَبُ إِلَى النَّاسِ مِنْ يَدِي هَذِهِ إِلَى رَأْسِكَ
"Sungguh Syam akan ditaklukan untuk kalian. Kekayaan Persia dan Roma akan dibagikan kepada kalian. Kemudian salah seorang dari kalian akan memiliki harta begini dan begini hingga salah seorang akan diberi harta seratus dinar, tetapi ia marah karenanya.” Kemudian Beliau meletakkan tangannya di kepalaku dan bersabda, “Jika engkau telah melihat Khilafah menempati tanah yang disucikan (Palestina) maka akan datanglah saatnya banyak gempa, guncangan, fitnah dan perkara-perkara besar. Saat itu Kiamat lebih dekat dari manusia daripada tanganku ini dari kepalamu.” (HR. Ahmad, Abu Dawd, ath-Thabrani, al-Hakim, al-Baihaqi dan adh-Dhiya)
Berdasarkan hadis ini, Khilafah yang akan singgah di Baitul Maqdis itu bukanlah Khilafah pada masa Umar (yang pernah menaklukannya). Sebab, peristiwa besar dan guncangan yang diceritakan di dalam hadits belum terjadi. Peristiwa tersebut baru akan terjadi setelah Khilafah yang kedua, yaitu Khilafah yang saat ini sedang diperjuangkan dan dinantikan oleh kaum Muslim.
Kedua, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
أَلاَ إِنَّ عُقْرَ دَارِ الْمُؤْمِنِينَ الشَّامُ
"Ingatlah, ibukota negeri kaum Mukmin adalah Syam." (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Ibnu Asakir dalam Kanzul-Ummal)
Yang dimaksud dengan Syam di sini adalah Baitul Maqdis. Hal ini dikuatkan oleh hadis-hadis lain yang menyatakan bahwa Khilafah akan berada di Baitul Maqdis. Ibnu Hibban menceritakan dalam kitab Shahîh Ahaadiits, bahwa asy-Syam (daerah yang mencakup Yordania, Syria, Palestina, Libanon dan bagian dari Irak) akan menjadi pusat tanah (ibukota) orang-orang Mukmin pada akhir zaman.
Ketiga, Masirah bin Jalis bertutur, berdasarkan penuturkan dari al-Walid bin Muslim, dari Marwan bin Janah, dari Yunus bin Maisarah al-Jabalani, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
هَذَا اْلأَمْرُ كَائِنٌ بِالْمَدِيْنَةِ ثُمَّ بِالشَّامِ ثُمَّ بِالْجَزِيْرَةِ ثُمَّ بِالْعِرَاقِ ثُمَّ بِالْمَدِيْنَةِ ثُمَّ بِبَيْتِ الْمَقْدِسِ
"Urusan (Pemerintahan Islam/Khilafah) ini akan berada di Madinah (Yatsrib), lalu di Syam, kemudian di Jazirah (Damaskus), selanjutnya di Irak, lalu di Madinah (Konstantinopel), dan kemudian di Baitul Maqdis (Palestina)." (HR Ibnu Asakir)
Para ulama meyakini bahwa yang dimaksud dengan Madinah (yang kedua) adalah kotanya Heraclius (Konstantinopel). Hadis ini juga membicarakan tentang kota-kota yang akan menjadi ibukota Khilafah dan semuanya telah terjadi, kecuali Baitul Maqdis. Insya Allah, Baitul Maqdis akan menjadi ibukota Khilafah suatu saat nanti.
Keempat, Abdurrahaman bin Abi Umairah al-Mujni mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
هُنَاكَ فِيْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سَتَكُوْنُ الْبَيْعَةُ
"Di sana, di Baitul Maqdis, akan terjadi baiat (kepada Imam/Khalifah)." (HR. Ibnu Asakir) Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim dan beliau mensahihkannya.
Kelima, Abdullah bin Umar radliyallah 'anhuma berkata, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda:
سَتَكُونُ هِجْرَةٌ بَعْدَ هِجْرَةٍ فَخِيَارُ أَهْلِ اْلأَرْضِ أَلْزَمُهُمْ مُهَاجَرَ إبْرَاهِيْمَ
"Akan ada hijrah setelah hijrah. Penduduk bumi paling baik adalah orang yang menempati tempat hijrahnya Ibrahim (Syam/Palestina)." (HR Al-Hakim)
Al-Hakim berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim meski keduanya tidak meriwayatkannya." Wallâhu a’lam. (PurWD/voa-islam.com)
Oleh: Purnomo WD
Langganan:
Postingan (Atom)