Selasa, 23 November 2010

Calon Pendeta ‘Selundupkan’ Tujuh Senjata Rakitan

Satuan Tugas Pengamanan  Bandara Juanda, dan Polisi Militer AL menahan tujuh pucuk senjata rakitan yang akan ‘diselundupkan’

Addakwah.com. Tim yang terdiri atas Aviation Security (Avsec), Satuan Tugas Pengamanan (Satgaspam) Bandara Juanda, dan Polisi Militer TNI-AL (Pomal) itu juga menahan pembawa barang tujuan Manokwari tersebut.

Upaya penyelundupan tujuh pucuk senjata api rakitan ke Papua berhasil digagalkan tim gabungan bandara Juanda kemarin (23/11).

Kejadian itu terungkap ketika petugas Avsec melihat tampilan yang mencurigakan dari mesin sinar X terhadap bawaan Octavianus Warisyu, 31. Dari layar terlihat tampilan beberapa barang panjang seperti pipa. Ketika petugas menanyakan barang apa yang dibawa, calon penumpang pesawat Lion Air yang dijadwalkan berangkat pukul 05.00 itu mengaku kalau barang yang dibawa adalah onderdil kendaraan.

Atas persetujuan Otto, panggilan Octavianus, petugas melakukan pemeriksaan fisik.

"Ternyata di dalam kardus berwarna coklat itu ditemukan tujuh pucuk senjata rakitan," kata Manajer Sekuriti PT Angkasa Pura (AP) I Bandara Juanda Pujiono. Otto pun segera diamankan. Selanjutnya pria yang seorang pendeta di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat tersebut diserahkan kepada Satgaspam Bandara Juanda untuk diperiksa lebih lanjut.

Kepada petugas Satgaspam dan Pomal, Otto mengaku hanya dititipi barang tersebut. Dia yang asli Manokwari itu bermaksud pulang melalui Surabaya untuk menjenguk orangtuanya yang sakit keras. Selama di Surabaya, dia menginap di rumah pendeta Dwi Agus Wahyono, warga Desa Suko, Sidoarjo. Agus juga yang mengantar Otto ke Juanda.

Dikutip Jawa Pos, Agus mengaku mengenal Otto saat masih sekolah kependetaan. Otto menginap di rumahnya sejak Ahad (21/11). Rencananya, Otto akan naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Perak ke Manokwari pada Senin (22/11).

"Karena tidak ada kapal dan kasihan, akhirnya dia saya belikan tiket pesawat," kata Agus.

Menurut Komandan Satgaspam Juanda Kapten Suaidi, setibanya di Surabaya, Otto mengaku bertemu seorang pria dari Semarang bernama Arum di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak. Kepada Otto, Arum menitipkan senpi rakitan.

"Otto mengaku sudah dua tahun kenal Arum," kata Suaidi. Untuk membawa barang titipan itu, Otto menerima uang Rp 350 ribu.

Otto diantar sopir Agus saat mengambil senpi rakitan itu pada Senin malam. Agus mengaku tidak tahu sama sekali ke mana Otto pergi saat itu. Setahu Agus, Otto pergi menemui temannya untuk mengambil barang titipan. "Kepada saya, dia juga bilang barang itu onderdil motor," kata Agus.

Komandan Lanudal Juanda Kolonel Laut (Pelaut) Supranyoto saat konferensi pers mengatakan, senpi rakitan itu memiliki revolver cukup besar, yaitu 12,7 milimeter. Senapan yang digunakan untuk menembak manusia, paling besar biasanya hanya 6 milimeter. Namun, revolver senpi rakitan itu tidak memiliki ulir, sehingga peluru yang ditembakkan tidak akan melesat sambil berputar sebagaimana senpi biasa. "Jarak tembaknya juga tidak jauh," kata Supranyoto.

Untuk apa Otto membawa senpi rakitan itu" Supranyoto tidak menjawab pasti. Dia hanya mengatakan, hal itu akan diselidiki dan dikembangkan lebih lanjut. Hanya, menurut kabar yang beredar di posko satgaspam, senpi itu diduga akan digunakan untuk perang antarsuku di Papua.

Penyidik Satgaspam Bandara Juanda Sertu POM Jumali yang memeriksa Otto mengatakan, pria tersebut akan dikenai Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Undang-undang itu mengatur, siapa pun dilarang membawa, menyimpan, dan mengedarkan senjata api dan bahan peledak. "Ancamannya adalah 15 tahun penjara," katanya.

Selanjutnya Otto beserta barang bukti tujuh pucuk senpi rakitan itu akan diserahkan kepada Polsek Sedati untuk pemeriksaan lebih lanjut. Penyerahan itu dikarenakan Otto merupakan warga sipil dan kasus itu merupakan kasus pidana.

Kapolsek Sedati AKP Dodon Priyambodo ketika dihubungi membenarkan kasus itu diserahkan kepada jajarannya. Sampai dengan tadi malam, Otto masih diperiksa oleh petugas Unit Reskrim Polsek Sedati. "Dia mengaku hanya dititipi. Tapi semua tersangka sering mengaku hanya dititipi. Kami akan selidiki lebih lanjut," kata Dodon. smb; hidayatullah.com

Penyiksaan di Penjara Abbas, Tepi Barat, Meningkat

Addakwah.com. Harian Financial Times Inggris menegaskan, penyiksaan di penjara Abbas Tepi Barat terhadap para pendukung Hamas meningkat dua kali lipat dari sebelumnya. Seperti diakui istri seorang pengamat Palestina Badar Abu Ayasy (42 tahun).

Disebutkan, Abu Ayasy ditangkap milisi Abbas di Betlehem saat ia ikut shalat berjama’ah dengan gerakan Hamas. Naimah (istri Abu Ayasy) mengatakan, ada sejumlah bukti bahwa banyak di antara para tawanan mengalami penyiksaan, saat mereka dimintai keterangan atau diinterogasi, namun kondisinya makin parah menuntut organisasi Human Right Watch segera menindak lajuti laporan atas terjadinya pelanggaran HAM oleh pasukan milisi Abbas.

“Saat ini suami saya tidak bisa jalan”, ungkap Naimah melanjutkan. Ia juga sulit bernapas dan sangat kurus sekali. Terutama setelah saya menjabat tangannya, tampak ia sudah tak punya kekuatan lagi. Saat aku menemuinya di dalam penjara aku berkata pada para penjaga di sana, apa yang kalian lakukan pada suamiku. Namun pertanyaan serta teriakanku seolah menabrak dinding, tak satupun yang menjawab."

Harian Inggris kemudian melansir laporan tersebut dan mengatakan, istri Abu Ayasy punya hak penuh untuk khawatir terhadap keselamatan suaminya. Semua tawanan Palestina mengalami penyiksaan secara sistematis. Mereka tidak diberikan obat-obatan, serta kebutuhan mendasar seperti tempat tidur dan selimut.

Mereka menegaskan, banyak sekali bukti-bukti yang menunjukan semua tawanan Hamas mengalami penyiksaan di dalam penjara. Paling ringan atau umumnya terjadi adalah pemborgolan, dimana tangan dan kaki mereka diikat untuk waktu yang lama.

Harian Financial Inggris mengkhawatirkan, kondisi di penjara Tepi Barat menuju pada pembantaian secara pelan-pelan tapi terus meningkat, ungkapnya.
smb; republika.co.id.

Pakistan Beri Grasi Perempuan Penghujat Nabi Muhammad

Addakwah.com. Presiden Pakistan Asif Ali Zardari memberi grasi atas seorang perempuan kristen yang divonis mati dengan tuduhan menghina nabi Muhammad. Demikian stasiun televisi Amerika CNN melaporkan.

Awalnya sebuah pengadilan di Punjab memvonis mati Asia Bibi (45 tahun) awal bulan ini, atas dasar undang-undang penghujatan Pakistan yang dipandang kontroversial oleh para ahli hukum dan organisasi HAM.

Sedianya Bibi akan jadi warga Pakistan pertama yang dihukum mati dengan tuduhan menghujat. Dia mengajukan banding atas vonis tersebut.

Asia Bibi sudah menghabiskan 1,5 tahun terakhir dari hidupnya di dalam penjara setelah rekan-rekan muslim di perkebunan buah tempatnya bekerja telah menuduhnya menghujat Islam setelah terjadi perselisihan atas keyakinan mereka yang berbeda.

Bibi ditangkap pada bulan Juni tahun 2009 di desa asalnya Ittanwalai, sebelah barat provinsi Punjab ibukota Lahore, dan dituntut dalam pasal 295 B dan C dari KUHP Pakistan, dan terancam dengan hukuman mati.

Bibi menjadi wanita Kristen pertama di Pakistan yang diserahkan untuk hukuman mati selama sidang pengadilan pada tanggal 8 November lalu.
smb; republika.co.id.

Soal Taliban Gadungan, Petraeus tak Terkejut

Addakwah.com. Komandan militer tertinggi Amerika di Afghanistan mengatakan ia tidak heran seorang tokoh penting dalam pembicaraan dengan Taliban mungkin adalah tokoh gadungan.

Jendral Amerika David Petraeus hari Selasa memberitahu para wartawan dalam lawatannya ke Jerman bahwa sudah lama ada keraguan mengenai seorang di antara yang terlibat dalam perundingan rekonsiliasi dengan pemerintah Afghanistan itu. Petraeus mengatakan tampaknya keraguan itu berdasar.

Sebelumnya berbagai laporan media mengatakan seorang laki-laki yang mengaku sebagai komandan Taliban Akhtar Mohammad Mansour adalah gadungan, dan kemungkinan dikirim oleh badan intelijen Pakistan (ISI).

Harian The Washington Post melaporkan laki-laki yang sejak lama berlagak sebagai komandan Taliban itu kemungkinan seorang penjaga toko dari kota Quetta di Pakistan, atau bahkan seorang agen badan intelijen Pakistan.
smb; republika.co.id.

Facebook dan Asmara Kaum Remaja

Jakarta. Addakwah.Com. Facebook memiliki pengaruh dalam hubungan asmara anak-anak muda. Majalah Seventeen merilis hasil penelitian yang menggambarkan hubungan antara jejaring sosial itu dengan percintaan.

"Remaja sangat sosial, dan Facebook memegang peran besar dalam kehidupan cinta mereka," kata Ann Shoket, pemimpin redaksi majalah Seventeen, seperti dikutip Mashable.

Penelitian itu melibatkan 10.000 laki-laki dan perempuan berusia 16 hingga 21 tahun yang mengikuti jajak pendapat.

Hasilnya menunjukkan, dalam seminggu pertemuan dengan orang baru, 79 persen orang mengkliknya sebagai teman. Dan, setelah menambahkan seorang teman baru, 60 persen orang melacak profil orang yang mereka sukai sehari sekali. Sebanyak 40 persen mengecek calon pacar mereka beberapa kali sehari.

Bahkan, bertolak belakang dengan kepercayaan bahwa jejaring sosial mengganggu komunikasi interpersonal, 72 persen mengatakan berbicara dengan seseorang secara online membuat anda dekat dengan mereka dalam kehidupan nyata.

Berdasarkan jajak pendapat Seventeen, 10 persen orang dicampakkan melalui facebook. Sebanyak 10 persen mengubah status hubungan mereka menjadi "single" untuk memutus pacar mereka.

Laporan itu juga menggambarkan "penderitaan" Facebook setelah pengguna putus cinta. Sebanyak 27 persen orang mengubah koneksi mereka dengan mantan setelah putus cinta dengan memblokir, menyembunyikan News Feed mantan atau tidak berteman.

Yang mengejutkan, 73 persen responden tetap berteman dengan mantan di Facebook.

Penelitian itu juga menunjukkan, perempuan lebih menghakimi. Sebanyak 43 persen perempuan akan memutuskan tidak mengencani seseorang berdasarkan profil Facebook mereka, dibandingkan dengan 33 persen laki-laki.

Kaum Adam juga cenderung lebih menutup status hubungan mereka. Sebanyak 17 persen laki-laki tidak membagi status hubungan mereka, dibandingkan dengan 12 persen perempuan.

Kaum Hawa berpikir mengubah status hubungan mereka itu menarik. Sebanyak 50 persen perempuan memperoleh keluhan karena perubahan status itu, sepertiga laki-laki setuju, 24 persen laki-laki menganggap itu tidak perlu, dibandingkan dengan 17 persen perempuan.
smb; antaranews.com

10.600 Botol Miras Resmi Diperdagangkan di Kendari

Kendari. addakwah.com. Sebanyak 10.600 botol minuman keras (miras) setiap bulan beredar secara resmi di Kota Kendari, melalui delapan distributor yang mendapat izin dari pemerintah setempat.

"Jumlah itu terdiri dari 4.800 botol minuman beralkohol golongan A, 5.450 botol golongan B dan 350 golongan C," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, Syam Alam di Kendari, Selasa.

Dia menjelaskan PT Wira Eka Persadatama mendapat jatah paling banyak, yakni 3.885 botol, kemudian PT Cinta Damai Insani sebanyak 1.800, UD Putra Jaya 1.450 dan PT Masa Indah Abadi Nusantara 1.200 botol tiap bulan.

"Sedangkan UD Delta Mas sebanyak 815 botol, UD Tunas Bhakti 800, CV Jaya Mandiri 600 dan UD Sula Mandiri 300 botol per bulan," tambahnya.

Menurut Syam, hanya UD Delta Mas dan PT Wira Eka Persadatama, yang menyalurkan miras golongan C berkadar etanol 21 persen sampai 45 persen, masing-masing 315 dan 35 botol.

"Ada 17 merek miras golongan C yang resmi beredar, termasuk Whiskey, Vodca, TKW, Manson House, Johny Walker dan Kamput," jelasnya.

Selain itu, tidak kurang 15 jenis miras golongan B berkadar etanol enam sampai 10 persen, serta enam golongan A berkadar etanol satu sampai lima persen, yang dijual distributor kepada agen di ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara ini.

Ia mengaku volume miras yang diperjualbelikan dalam kota ini melebihi angka resmi, karena distributor sering mengalihkan jatah kota dan kabupaten lainnya ke Kendari.

"Saya biasa menemukan minuman beralkohol tidak memiliki leges dari Pemkot Kendari, karena distributor kadang mengambil jatah kabupaten dan kota lainnya, kemudian dijual di sini," ucapnya.
smb; antaranews.com

Jangan Fitnah Mbah Petruk!!! Mengungkap Jatidiri Pamomong Gunung Merapi

Nama “Mbah Petruk” mendadak menjadi terkenal ke seantero negeri pasca letusan Merapi yang mewarnai November 2010 bak selebritis baru yang sedang menanjak karirnya . Apalagi setelah salah seorang warga bernama Suswanto, 43 tahun, berhasil memotret asap solvatara gunung Merapi yang menyerupai kepala Petruk. Selama ini mitos Mbah Petruk sering dikaitkan dengan pemuka jin ini bertugas memberi wangsit mengenai waktu meletusnya Gunung Merapi, termasuk juga memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman bahaya lahar panas Merapi. Dipundak jin inilah, menurut isu yang sempat beredar, keselamatan penduduk tergantung.

Tentu saja tanggapan atas mitos Mbah Petruk cukup beragam. Jika ilmuwan vulkanologi menyatakan awan mirip Petruk tidak berarti apa-apa, Ponimin (50) yang disebut-sebut “sakti” seperti Mbah Maridjan, punya penafsiran sendiri. Menurutnya, hidung Petruk yang menghadap Yogyakarta mengandung arti Merapi mengincar Yogyakarta. (detiknews,13/11/2010). Permadi, seorang paranormal, dalam sebuah infotainmen “Silet” di sebuah televisi siaran swasta nasional memiliki pendapat yang hampir serupa dengan Ponimin. Lain lagi dengan Sultan Hamengkubuwana, Gubernur Yogyakarta saat ditemui di Kepatihan (2/11/2010) mengungkapkan: “ Itu kan kata mereka. Kalau aku bilang itu Bagong, bagaimana? Atau itu Pinokio, karena hidungnya panjang”. (Tempointeraktif.com, 2/11/2010). Spekulasi terus bermunculan akibat photo ini. Belum lagi juga muncul photo lain dari asap Merapi yang membentuk tulisan Arabic “Allah”.
SIAPAKAH MBAH PETRUK ?
Tidak diragukan bahwa nama Mbah Petruk telah menjadi sebuah mitos yang tidak terpisah dari warga yang mendiami wilayah sekitar Gunung Merapi. Tokoh ini sering dikaitkan sebagai penguasa gaib Merapi yang “bertanggungjawab” terhadap dunia “gaib” Merapi. Cerita tentang “kekuasaan” Mbah Petruk” ini secara umum berkembang di sekitar lereng Merapi terutama di wilayah yang masuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat Cepogo dan Selo yang menjadi “basis kerja” Mbah Petruk pada “masa lalu” justru memiliki versi yang cenderung berbeda.
Berdasarkan cerita Versi warga Cepogo bagian atas, nama asli Mbah Petruk sebenarnya adalah Kyai Handoko Kusumo. Kyai Handoko ini merupakan penyebar Islam di Merapi pada sekitar era 1700-an. Wilayah geraknya lebih banyak meliputi Cepogo bagian atas dan tidak menutup kemungkinan juga di wilayah yang lain. Dalam cerita tutur digambarkan bahwa ia memiliki bentuk badan yang agak bungkuk. Kyai Handoko Kusumo adalah seorang keturunan Arab. Bentuk hidungnya yang lebih mancung dari kebanyakan orang Jawa itulah yang membuat dirinya dikenal dengan nama Mbah Petruk oleh Masyarakat setempat. Petruk dalam mitologi Jawa merupakan tokoh wayang punakawan yang memiliki bentuk hidung sangat mancung. Meskipun demikian menghubungkan Mbah Petruk dengan tokoh pewayangan Petruk jelas merupakan sebuah kekeliruan.
Mbah Petruk ini adalah seorang ulama yang dimungkinkan merupakan murid generasi kedua dari Sunan Kalijaga. Sebagai seorang ulama ia memiliki level setingkat ulama lain yang semasa dengan kehidupannya seperti Mbah Ragasari yang dimakamkan di Tumang dan juga dai yang lain bernama Hasan Munadi. Juru kunci Merapi pada era Mbah Petruk ini bernama Kyai Rohmadi, seorang muslim pula, yang oleh penduduk setempat dikenal dengan nama Mpu Permadi. Hanya saja agak berbeda dengan Mbah Petruk, Mpu Permadi memiliki gaya keislaman yang lebih dekat dengan dunia klenik, terutama pengamalan terhadap kitab Mujarobat (semacam primbon). Mpu Permadi ini nampaknya telah terpengaruh dengan mistisme Persia yang bersumber dari kitab Syamsul Ma’arif Kubro yaitu sebuah kitab yang menggabungkan dunia perdukunan Persia dan mistisme Syiah. Kitab ini boleh dikatakan sebagai sumber dari hampir semua kitab Mujarobat yang banyak beredar di masyarakat. Isinya berupa kumpulan mantra, penggunaan azimat, wifiq, dan lain sebagainya. Makam Mpu Permadi dapat ditemui di Watu Bolong.
Dalam versi masyarakat Selo, Mbah Petruk seringkali disebut-sebut sebagai anak seorang pejabat atau versi lain Wedana. Pada era ini Selo merupakan wilayah dari kawedanan Ampel yang membawahi Ampel, Cepogo, Paras, dan Selo. Versi ini tidak bertentangan dengan versi cerita cerita warga Cepogo. Hal ini tidak mengherankan, sebab salah satu fenomena penyebaran Islam adalah melalui perkawinan, termasuk membangun kedekatan dengan menikahi putri-putri penguasa setempat. Namun demikian secara umum, masyarakat sekitar Merapi telah mafhum bahwa Mbah Petruk merupakan salah seorang penyebar agama Islam di sekitar daerah itu. Pada masa tuanya, Mbah Petruk diperkirakan meninggal di Gunung Bibi dan jasadnya tidak pernah diketahui. Hal inilah yang memunculkan anggapan spekulatif bahwa dirinya telah moksa. Perlu diketahui Gunung Bibi sampai hari ini masih merupakan kawasan “berbahaya” karena masih dihuni hewan-hewan liar termasuk oleh ular-ular python raksasa. Tidak mengherankan jika penduduk sekitarnya selalu menahan KTP para pendaki yang hendak naik ke Gunung Bibi, alasannya agar bisa segera memberitahu keluarganya bila pendatang yang bersangkutan tidak kembali turun dari gunung. Fenomena ini bisa saja menjelaskan hal tersebut disamping adanya kemungkinan lain yang logis.
TANTANGAN DAKWAH MBAH PETRUK
Sesuai dengan pendapat Karel Steenbrink, sampai sekitar tahun 1700-an, daerah di sekitar Merapi masih merupakan kawasan yang penduduknya menganut Agama Hindhu. Namun catatan yang lain menyebutkan bahwa pada era Perang Jawa (1825-1830), ulama dan sekaligus penasihat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Kyai Mojo telah memobilisasi pasukan yang berasal  dari lereng Merapi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi di kawasan ini telah berjalan.
Pada era awal dakwah di lereng Merapi, tantangannya tidaklah mudah. Aliran yang berkembang di lereng Merapi pada masa ini menunjukkan adanya sinkretisme antara agama Kapitayan dan aliran Bhairawa Tantra. Di Jawa aliran ini memang telah menyatu dengan mantra-mantra Jawa Kuno dan kepercayaan terhadap para tukang tenung. Penobatan raja-raja Jawa dilakukan melalui percampuran ritual tantra disertai dengan berbagai sihir dan ajaran rahasia.  (Prijohutomo, II, 11953: 105).
Agama Kapitayan adalah keyakinan masyarakat Jawa sebelum proses Indianisasi yang meliputi perkembangan agama Hindhu dan Budha. Ajarannya yang hanya mengenal satu Tuhan memiliki sejumlah kemiripan dengan monotheisme. Ritualnya adalah menyembah Hyang Taya yaitu pencipta alam semesta yang memiliki sifat tan kinaya ngapa (tidak dapat diperkirakan oleh akal pikiran manusia). Ibadahnya disebut sembahyang dilakukan sebanyak 3 waktu dalam sehari yaitu saat matahari terbit, matahari diatas kepala, dan matahari terbenam. Kepercayaan ini memiliki tempat peribadatan yang bangunan berbentuk segi empat bernama langgar. Untuk memasuki langgar seorang penganut Kapitayan harus dalam keadaan bersih dan melepas alas kaki yang dikenakannya. Dalam Kapitayan sendiri terdapat dua cara pandang yang saling berbeda yaitu Tu dan To. Penganut pandangan Tu melakukan ritual agamanya dengan tanpa perantaraan (tawasul). Mereka menyembah penciptanya dengan mengandalkan ketaatan diri kepada pencipta dan tanpa membutuhkan wujud materi yang digunakan untuk sesaji. Sedangkan penganut pandangan To membutuhkan persembahan berupa sesaji dalam rangkaian peribadatannya. Dalam mitologi pewayangan Jawa karakter berpandangan Tu diejawantahkan dengan Semar Badranaya yang menjadi pamomong para satriya berwatak mulia. Sedangkan karakter To dengan disimbolkan dengan tokoh Togog yang menjadi pamomong para bhuta dan danawa yang berwatak candala.
Sedangkan Bhairawa Tantra merupakan bentuk sinkretisme dari Siwa-Budha. Awalnya keyakinan ini hanya berkembang di elit politis Keraton Jawa saja dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu maka kecenderungan jiwa pada akhirnya akan lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Prijohutomo, I, 1953: 89). Bentuk ritualnya meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari  matsiya (ikan), mamsa (daging), madya (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”), dan maithuna (seks bebas). (Rasjidi, 1967: 68; Soekmono, 1988: 33-34). Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Munoz, 2009: 253, 448). Juga ritual seks bebas dan minum minuman keras yang dilakukan ditempat peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan untuk mendapatkan cakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Pada era selanjutnya dapat dijumpai sisa-sisanya dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten. (Koentjoroningrat, 2007:347).
Proses Indianisasi di Pulau Jawa dengan produk berupa Hindhuisme dan Budhisme memang memberi nilai tambah dalam bidang teknis seperti arsitektur dan seni, namun bersifat destruktif terhadap keyakinan awal masyarakat Jawa yang telah monotheis. Kasus serupa juga terjadi di Sunda, Kidung Jatiniskala telah menunjukkan bahwa masyarakat Sunda Kuno telah memiliki kecenderungan kepada kepercayaan terhadap Sang Pencipta yang mirip konsepsi Tauhid dalam Islam. Belum lagi jika kita mau meneliti lebih lanjut terhadap Agama Sunda Wiwitan.
Salah satu wujud ritual yang terpengaruh oleh pembauran antara Agama Kapitayan yang bersifat To dan Bhairawatantra yang dijalankan di Merapi adalah pengorbanan manusia untuk menolak mara bahaya dan bencana. Pengorbanan ini dilakukan dengan menceburkan manusia ke dalam kawah Merapi. Bentuk pengorbanan dengan menggunakan manusia ini sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Bhairawatantra yang merupakan sinkretisme antara Hindhu dan Budha ini. Bentuk pengorbanan yang hampir sama masih kita jumpai dalam tradisi tutur yang berkembang di sekitar Gunung Bromo. Di Gunung Bromo juga terdapat tradisi mempersembahkan hasil bumi ke kawah Bromo yang merupakan perkembangan dari ritual ini. Berdasarkan tradisi tutur pula dapat diketahui bahwa penduduk Gunung Bromo sebenarnya merupakan pelarian dari Majapahit, sebuah kerajaan Jawa Hindhu-Budha yang bercorak Bhairawatantra.
Pada era dakwah Mbah Petruk bentuk pengorbanan ini mulai diperhalus dengan menggantinya dengan kepala kerbau. Kepala kerbau tersebut di tanam di Pasar Bubrah yang merupakan puncak Gunung Merapi Purba dan juga dimasukkan ke kawah Merapi. Tentu saja proses subsitusi korban manusia dengan kepala kerbau ini bukan sebuah jalan yang mudah. Butuh pendekatan yang luar biasa untuk jaman dimana tradisi masyarakat masih dipengaruhi oleh pengruh yang kuat dari Hindhu Budha. Namun pembelokan melalui natifisasi telah membelokkan perkembangan ini sehingga proses dakwah yang seharusnya berjalan justru berjalan stagnan dan generasi selanjutnya kehilangan sisi periwayatan ini.
Praktik mistik yang lain yang masih eksis di lereng Merapi adalah ritual telanjang yang dilakukan di Candi Lumbung pada setiap awal bulan Suro. Ritus ini dilakukan tengah malam selepas pukul 00.00 WIB dengan bertelanjang bulat mengelilingi Candi Lumbung sambil membaca mantra-mantra khusus di bawah panduan seorang pemimpin upacara. (Liberty, 11-20/1/2008: 67). Ritual ini juga masih memiliki kemiripan sebagai sisa ritual Bhairawa Tantra. Di daerah sekitar Merapi bekas-bekas setra (tempat pengorbanan manusia dan area persetubuhan masal dalam ritus bairawa) yang lain juga dapat ditemukan. Sampai sekitar tahun 2006, tempat pemujaan berupa Setra masih dapat ditemui di Bon Bimo. Namun di tempat petilasan itu saat ini telah didirikan sebuah masjid oleh masyarakat setempat. Cerita yang beredar di masyarakat saat tempat itu hendak didirikan masjid, batu yang menjadi “altar” penyembelihan gadis perawan di Bon Bimo tersebut pada waktu malam mengeluarkan suara tangisan yang bisa didengarkan hampir oleh setiap penduduk sekitarnya. Namun masyarakat telah memilih Islam dan sebuah masjid berdiri atas kehendak warga desa di tempat itu.
KAPITALISASI INDUSTRI PARIWISATA
Tradisi seperti penanaman kepala kerbau atau binatang ternak lain ini sebenarnya sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan dakwah Islam. Perhelatan ritual ini saat ini hanya dilakukan oleh sebagian orang dan tidak jarang atas sponsor Pemerintah Daerah dengan motif “memeras kocek” wisatawan. Kyai Muhammad Solikhin, peneliti dan pamomong masyarakat Desa Pedut, Cepogo misalnya mencontohkan bahwa pada saat gempa 2006, masyarakat di desanya masih melakukan penyembelihan Kambing dan kepalanya ditanam di sejumlah perempatan desa. Namun dalam gempa tahun 2010 ini tradisi bersifat bairawi tersebut telah ditinggalkan. Ketika terjadi gempa, masyarakat lantas berlindung ke masjid. Nampaknya mitos keliru tentang Mbah Petruk dan ritual yang mengikutinya memang sengaja hendak dipelihara dan dilestarikan demi sebuah kepentingan.
Dengan berlindung dibalik slogan “kearifan lokal” pemerintah daerah setempat berupaya mengkomersialisasikan ritual yang sebenarnya mulai ditinggalkan tersebut. Dalam cara pandang ini kebudayaan dianggap sebagai sebuah bentuk stagnasi sebuah periode sejarah. Kebudayaan ditempatkan sebagai obyek mati yang tidak bersifat dinamis dalam merespon perkembangan kebudayaan manusia. Komersialisasi demikian hakikatnya adalah pengembangan budaya bertopeng kapitalisme yang bergerak sebagai “monster” dalam ranah penghancuran kearifan lokal sebenarnya. Di satu sisi mampu meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat, namun juga mengorbankan aspek moralitas dan mentalitas manusia yang menjadi modal utama menjalani kehidupan dalam sebuah tuntunan baik. Isu “kearifan lokal” bukan berarti mengangkat “kebudayaan asli” melainkan menempatkan kebudayaan pada sebuah pemberhentian sampai mengalami titik jenuh. Pandangan yang digunakan bukan lagi menggunakan gaya ketimuran, melainkan berdasarkan paham yang diimpor dari kacamata materialisme Barat dalam melihat timur. Padahal cara pandang ini sebenarnya sangat aneh sebab merupakan cara pandang lama yang telah banyak ditinggalkan. Anehnya, pola ini malah diamalkan diIndonesia pada hari ini. Van Peursen, pakar strategi kebudayaan, menyebutkan cara pandang terhadap kebudayaan hari ini telah bergeser, dimana setiap orang merupakan kekuatan pembentuk kebudayaan. (Van Peursen, 1976:12).
Terkait Mbah Petruk, sudah saatnya umat Islam melanjutkan perjuangannya yang belum selesai dan menanti sentuhan berkelanjutan. Dakwah adalah sebuah amanah dari risalah kenabian yang dibebankan pada pundak kita. Jadi, demi kepentingan apa pun, jangan pernah memfitnah Mbah Petruk. Selamat berjuang. Wallahu a’lam.
(Makalah ini disusun berdasarkan investigasi terhadap tradisi lesan yang berkembang dalam masyarakat Selo dan Cepogo dimana Mbah Petruk merupakan ulama yang paling banyak beraktivitas di kedua tempat ini dibandingkan di wilayah lain di sekitar lereng Merapi. Investigasi ini melibatkan tokoh masyarakat setempat diantaranya adalah Kyai Muhammad Solikhin, “pamomong” masyarakat Pedhut, Cepogo yang juga merupakan seorang peneliti dan penulis buku yang cukup produktif tentang kebudayaan Jawa). 
Penulis: Susiyanto
(Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) & Mahasiswa Pasca Sarjana Peradaban Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Sumber; www.susiyanto.wordpress.com 
 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha