Dzikir berjamaah seakan telah mendarah daging di masyarakat luas, terutama di tanah air kita Indonesia. Secara umum dapat dipahami, bahwa dzikir berjamaah biasanya dikaitkan dengan peristiwa kematian, sebagai bentuk acara peringatan terhadap kematian seseorang. Tetapi juga dalam acara hajatan sebagai wasilah untuk memohon keselamatan dan ampunan dari Alloh. Dzikir ini dipimpin oleh satu orang, kemudian dibaca bersama-sama (koor) oleh semua hadirin, dan bahkan kadang memunculkan dampak yang sama (menangis bersama).
Apalagi acara-acara serupa juga diblow-up oleh media massa dengan menampilkan sosok muballigh kharismatik, sehingga menjadi acuan bagi masyarakat luas.
Bagaimana islam memandang hal tersebut? Sudah saatnya kita mengkaji lebih dalam tentang dzikir dan tata caranya, sehingga amal tersebut memenuhi syarat, yaitu Ikhlas dan Ittiba’. Alhamdulillah, dewasa ini animo masyarakat semakin tinggi untuk mempelajari islam secara benar.
B. PENGERTIAN DAN DALIL TENTANG DZIKIR
Dzikir secara bahasa adalah mengingat. Dzikir menurut syariat adalah mengucapkan lafadz-lafadz yang dianjurkan untuk banyak memuji Alloh, seperti: subhaanalloh, wal hamdulillaah (Fathul Baari). Sedangkan menurut Fiqh Sunnah (Sayyid Sabiq, Jilid 3-4), dzikir adalah apa-apa yang dilaksanakan oleh hati dan lisan berupa tasbih (penyucian), tahmid (puji-pujian), dan takbir (pengagungan) bagi Alloh Ta’ala.
Dzikrulloh berarti mengingat dan memuji Alloh. Dzikrulloh juga berarti menjalankan apa yang diperintahkan Alloh Ta’ala atau dituntunkan Rasulullah SAW, seperti: qiroatil quran, mendalami hadits, menjalankan sholat sunnat, serta menyebut nama Alloh dengan hati dan lisan (Fathul Baari). Dikuatkan dengan pendapat Said bin Zubair r.a., bahwa setiap orang yang beramal karena Alloh demi mentaati perintah-Nya, maka ia sedang melakukan dzikrulloh.
Majelis Dzikir adalah berkumpulnya kaum muslimin untuk mendalami ilmu tentang Firman Alloh, Sunnah Rasululloh, dan Keteladanan orang-orang sholih, serta bebas dari bid’ah dan bersih dari kemaksiatan (Imam Qurtubi). Adapun menurut Sahabat Atho’ r.a, Majelis Dzikir adalah berkumpulnya kaum muslimin untuk membahas halal-haram, hukum jual-beli, nikah-talaq, sholat, shoum, hajji, dan urusan dien lainnya.
Dalil-dalil yang tentang perintah berdzikir sangat banyak, antara lain:
1. Q.S. Al-Ahzab : 41
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya”Menurut Tafsir Al-Maraghi, dzikir sebanyak-banyaknya dalam ayat di atas adalah mengingat Alloh dengan hati, lisan, dan anggota badan dalam segala keadaan sekuat tenaga, karena Dialah yang telah memberi bermacam-macam nikmat. Sedangkan Tafsir UII menjelaskan: Dzikir sebanyak-banyaknya dilakukan pada waktu pagi hari sebagai rasa syukur kepada Alloh yang telah menghidupkan kita setelah mati (tidur), sehingga masih menjumpai lembaran hidup yang baru. Adapun pada sore hari sebagai rasa syukur kepada Alloh atas Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga kita dapat mencari rizki dan memenuhi hajat. Sahabat Mujahid r.a. menjelaskan, “Tidak dikatakan banyak berdzikir kepada Alloh kecuali seseorang yang berdzikir kepada Alloh di waktu duduk, berdiri, dan berbaring”.
2. QS. Al-Baqoroh :152: Perintah berdzikir dan bersyukur kepada Alloh
3. QS. Al-A’raaf : 205 : Perintah berdzikir dengan rasa takut, merendahkan suara (sirr)
4. QS. Al-Hijr : 9 : Adz-Dzikr, nama lain Al Quran sebagai jalan mengingat Alloh
5. QS. Ali Imro :191 : Orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri, duduk, berbaring
C. KOREKSI TENTANG DZIKIR BERJAMAAH
- 1. Dalil-dalil yang digunakan untuk membenarkan dzikir berjamaah adalah dalil umum, sementara ditekankan untuk amalan khusus
QS. Al-Ahzab : 41Dalam ayat tersebut, tidak ada ahli tafsir yang menjelaskan bentuk dan cara berdzikir dengan berjamaah. Juga tidak ada ketentuan tentang jumlah bilangan, tempat, dan peristiwa sebagaimana yang dilakukan sebagian besar kaum muslimin saat ini.
“Hai orang-orang yang beriman, dzikirlah (dengan menyebut nama) Alloh, dzikir yang sebanyak-banyaknya”
- 2. Dzikir adalah ibadah, sehingga dalilnya pun harus jelas. Hal ini sesuai kaidah fiqh : “Segala bentuk ibadah itu tertolak sebelum ada dalil yang memerintahkannya”. Sebenarnya banyak dzikir dan doa yang shohih, tetapi jarang diamalkan oleh seorang muslim. Misalnya dalam Kitab : Kalimah Thoyyibah (Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah)
- 3. Dzikir adalah amalan harian, bahkan rutinitas yang pengamalannya pasti dilihat oleh para sahabat dari praktik Rosulullah SAW dan mereka mengikutinya. Tetapi para sahabat tidak menjumpai amalan dzikir berjamaah ini baik ucapan, praktik, maupun persetujuan beliau SAW, sehingga dzikir berjamaah ini mustahil sebagai amalan yang shohih. Berbeda dengan dalil-dalil tentang thoharoh, sholat, perawatan jenazah, shoum, qurban, haji yang dapat dilihat jelas lalu dicontoh oleh para sahabat.
- 4. Dzikir berjamaah ternyata disukai oleh orang-orang yang cenderung dan suka bid’ah dari kalangan sufi mubtadi’ah. Maka kenyataan ini melengkapi posisi dzikir berjamaah yang tidak disyariatkan.
- 5. Beberapa sahabat seperti Ibnu Mas’ud r.a. dan Khabbab bin Irts r.a. justru telah menegur orang-orang yang melakukan dzikir berjamaah. Pada waktu itu ada sekumpulan orang berdzikir menggunakan hitungan kerikil, dipimpin oleh satu orang, lalu Ibnu Mas’ud berkata: “Sesungguhnya belum usang pakaian para sahabat, tetapi kamu telah membuat syariat baru dalam agama ini!”
- 6. Dzikir berjamaah terlarang menurut Empat Imam Madzhab, Dalam hal ini Imam Syafii rhm membolehkan dzikir jamaah beberapa kali dalam rangka mengajari orang-orang yang belum bisa. Tetapi beliau lebih cenderung bahwa dzikir itu dilakukan sendiri-sendiri.
Alloh Ta’ala dan Rasululloh SAW telah menetapkan cara berdzikir seperti yang terungkap dalam surat Al-A’raaf : 205 dan QS. Ali Imron : 191, bahwa dzikir dilakukan dengan takut dan merendah (khusyu’ dan khudlu’), suasana lirih (sirr), serta dalam kondisi duduk, berdiri, dan berbaring. Dalam banyak kondisi disebutkan cara berdzikir Rasulullah SAW, tetapi tak satupun yang menunjukkan dzikir bersama dipimpin satu komando.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi titik tolak untuk melakukan dakwah jamaah, memurnikan ibadah, dengan tetap memegang adab-adab dan tahapan dakwah. Secara wawasan, dalil-dalil tentang dzikrulloh ini seharusnya disampaikan kepada ummat. Adapun pada tataran praktik, secara bertahap dan istiqomah dapat diterapkan sesuai tingkat pemahaman dan kesiapan ummat islam. Wallohu waliyyut taufiq. (Rahmat Budiyanto, S.Pd)
Maraji’:
1. Tafsir Al-Maraghi
2. Tafsir Al quranul Karim, UII
3. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
4. Kalimah Thoyyibah, Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah
* Makalah disampaikan dalam Kajian Kunsiroh PCM Pandak Barat, Ramadhan 1430 H
saya sangat setuju sekali bahwa dzikir bersama itu termasuk bid,ah karna tidak ada dasarnya samasekali.
BalasHapus