Rabu, 09 Juni 2010

TERORISASI ISLAM DAN UMAT ISLAM


(addakwah.com) ---Tanggal 8 bulan 8 tahun 2009 yang lalu menjadi hari penting bagi pasukan Densus 88 Antiteror Polri. Pada hari yang panjang itu Polri menyergap markas persembunyian aktivis Islam di Temanggung dan Jatiasih. Bagaimana Polri bisa mengendus para aktivis Islam di dua daerah yang berbeda penjuru itu?
Kapolri Jenderal Bambang Hedarso Danuri mengaku pihaknya sudah bisa mengendus pada hari H pengeboman Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli 2009.

"Sejak 17 Juli 2009 kita sudah tahu siapa pelaku-pelakunya. Diketahui jaringan itu 1 Agustus 2009. Kita tahu bahwa safe house pertama ada di kost-kostan di Mampang," kata Bambang Hendarso saat memberikan keterangan pers di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Minggu (8/8/2009).

Setelah peledakan JW Marriott dan Rit-Carlton, lanjut Bambang, Polri melakukan pemeriksaan terhadap taksi Bluebird yang mengangkut 2 orang yang diduga pelaku pengeboman. Taksi disita, sang sopir pun ikut diperiksa. Tak hanya berhenti di situ, jejak pelaku pengeboman terus diusut hingga 4 hari setelah peledakan.

"H plus 4 kita sudah tahu rumahnya, istrinya dan cek DNA-nya. Setelah itu kita dapatkan pada 3 Agustus 2009 siapa pelaku bom bunuh diri. Yakni Dani Permana direkrut dari Bogor untuk meledakkan Marriott. Ikhwan Mulyana yang direkrut dari Pandeglang untuk meledakkan bom di Ritz," paparnya.

5 Agustus 2009 polri mengklaim telah menangkap Ibrohim dan Yayan di Jakarta Utara. Ibrohim yang dikatakan pernah bekerja di Hotel Mulia ini disebut telah direkrut oleh SJ alias AT. SJ sendiri diketahui sebagai orang yang merekrut 2 pelaku bom JW Marriott dan Ritz-Carlton. Hingga kini SJ dalam pengejaran.

"Sejak itu, dari perkembangan H plus 19 tertangkap dan lalu kita kembangkan dan kita temukan rumah di Bekasi, Jatiasih," ungkap Bambang.

Dijelaskan Bambang, Noordin bahkan diketahui pernah singgah ke rumah di Jatiasih setelah peledakan bom JW Marriott dan Ritz-Carlton 17 Juli 2009. Di lokasi juga telah disiapkan 1 kendaraan yang diduga untuk melakukan aksi bom bunuh diri.

"Di situ siap 1 kendaraan untuk bom bunuh diri dengan sopir IB atau Ibrohim. Kita temukan di TKP testimoninya," akunya.

Ibrohim sendiri, kata BHD, berdasarkan fakta yuridis merupakan pemesan kamar 1808 di Hotel JW Marriott. Dari sinilah polisi kemudian mendapatkan keterangan mengenai markas tersangka di Jatiasih, Bekasi.

"Di dalamnya lengkap, kita semalam pukul 01.00 WIB temukan, dengan pengakuan 5 Agustus 2009 bahwa itu safe house dan di situ sedang disiapkan perlengkapan bom bunuh diri dengan menggunakan kendaraan. Akan dilakukan setelah 17 Agustus atau 2 minggu setelah 1 Agustus," bebernya.

Atas informasi tersebut, polisi kemudian melakukan operasi serentak pada 6 Agustus di Temanggung, Solo dan Jatiasih.

Perburuan orang yang di fitnah sebagai teroris ini terus berlanjut. Sekali lagi aktivis Islam tewas di tangan Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri. Ridwan dan Hasan Nur, tersangka tewas ditembak di Gang Asem, Jalan Setiabudi, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (10/3). Tersangka lainnya yakni Dulmatin tewas di warung internet Multiplus di Jalan Siliwangi, berjarak sekitar 2 kilometer dari Jalan Setiabudi.

Kepastian Dulmatin tewas setelah Mabes Polri menjalani tes DNA. Metode menggunakan identifikasi internasional (Interpol DVI Procedure), tanda fisik, foto, dan data sekunder. Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri mengatakan, tingkat kekeliruan 1 berbanding 100.000 triliun. Bambang yakin pria yang tewas di warnet adalah Dulmatin alias Yahya alias Mansyur alias Joko Pitono

Keberhasilan Detasemen Khusus 88 Polri untuk membantai aktivis Islam yang dicari-cari seluruh dunia, Dulmatin dan kawan-kawan, tidak menyurutkan tim antiteror tersebut untuk memburu aktivis Islam yang lain. Perburuan terus digencarkan di wilayah Aceh yang kini menjadi medan persembunyian yang baru.
       
Kelompok yang ada di Aceh sekarang ini masih terus coba diidentifikasi oleh Densus 88. Kuat dugaan bahwa kelompok ini terkait dengan kelompok yang ada di Jawa, yang memang kemudian telah berkembang ke wilayah Sumatera seperti Lampung dan Palembang, serta sekarang ini Aceh.

Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menyebut nama para tersangka teroris yang ditangkap, yang sudah ditembak mati, atau yang masih buron. Tapi di antara banyak nama yang berhamburan dalam konprensi pers Kapolri Jumat, 14 Mei 2010 lalu, ada satu nama yang istimewa: Abdullah Sunata.

Pria kelahiran 4 Oktober 1978 di Bambu Apus, Jakarta inilah yang memimpin pelatihan militer sekelompok orang yang dituduh teroris di Aceh yang menyebabkan "hantu" terorisme kembali menakutkan masyarakat.

Selain itu, menurut Kapolri, Abdullah Sunata mengubah metode serangan mereka dari ledakan bom bunuh diri seperti yang dulu dilakukan kelompok Azhari atau Noordin Muhammad Top, dua tokoh asal Malaysia yang telah tertembak mati. Sekarang kelompok ini melakukan serangan langsung ke target tertentu dengan menggunakan senjata api sebagaimana yang terjadi di Mumbai, India, November 2008. Pelatihan perang di Aceh itu untuk persiapan serangan dengan metode baru ini.

Atas ide Abdullah Sunata pula sasaran serangan akan dialihkan ke Istana Negara pada perayaan peringatan hari kemerdekaan, 17 Agustus mendatang. Ketika itu, mereka asumsikan penjagaan keamanan tak terlalu ketat, sehingga mereka bisa membunuh Presiden SBY serta para tamu negara seperti para Duta Besar negara asing. Mereka juga membuat rencana serangan bersenjata pada kedatangan Presiden Barack Obama ke Indonesia Juni 2010.

Bila berhasil menembak mati Presiden SBY, kata Kapolri, "Mereka akan mendeklarasikan Negara Syariah Islam."  Selain itu mereka akan meresmikan Tandzim Al-Qaidah Serambi Mekkah sebagai nama gerakan, mengikut nama gerakan Al-Qaidah.
    
Upaya perburuan dan pembantaian aktivis Islam dengan menggunakan issue pemberantasan terorisme saat ini sudah mengarah pada upaya mendiskreditkan dan menstigmatisasi agama dan umat Islam. Apalagi dalam soal terorisme ini banyak sekali bermunculan para pengamat intelijen dadakan, yang mendapat pasokan informasi yang sangat detail dan rinci dari sumber-sumber resmi.

Beberapa nama pengamat intelijen dadakan yang laris manis muncul di layar tv adalah Al Chaidar, Dinno Crisbon, Mardigu Wowiek Prasantyo dan Hermawan “kiki” Sulistyo. Mereka ini sesungguhnya bukanlah pengamat dalam arti yang sebenarnya, sebab mereka ini adalah orang-orang yang sengaja dan seringkali disewa oleh polisi untuk terlibat dalam berbagai proyek yang berkaitan dengan issue terorisme.

Bila kita lacak latar belakang para pengamat intelijen dadakan ini, tidak lain dan tidak bukan mereka hanyalah para pencari makan dari proyek besar terorisme. Tugas utama mereka adalah memberikan justifikasi yang seolah-olah ilmiah melalui pembentukan opini publik melalui kampanye di media massa tentang kehebatan polisi.

Manullang, seorang mantan anggota BAKIN, mengkritik, saat ini banyak informasi intelijen yang bocor ke publik padahal yang seperti itu sangatlah tabu terjadi.

Banyak hal yang aneh terjadi dalam issue terorisme ini seperti misalnya :

•    Sebelum ada bom sering ada pengkondisian terhadap siapa yang akan menjadi tertuduh. Seminggu sebelum kejadian bom Bali 2002, sejumlah ormas Islam diundang ke mabes Polri. Di sana, mereka mendapatkan pengarahan soal bahaya terorisme. Bahkan, di situ disebut tiga orang berbahaya yang disinyalir sebagai anggota jamaah Islamiyah. Mereka itu adalah Abu Bakar Ba’asir, Hambali, dan Imam Samudra. Dan seminggu kemudian, bom meledak. Dan mereka pun langsung menjadi target perburuan polisi.

•    2 minggu sebelum peristiwa bom Bali, Presiden Megawati pada waktu itu, didatangi oleh sebuat Tim Kecil CIA utusan khusus George Bush, Presiden Amerika Serikat, yang meminta Pemerintah I ndonesia menangkap Ustad Abu Bakar Ba’asyir dan menyerahkan kepada Amerika Serikat. Atas permintaan tersebut Megawati menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan dari Amerika Serikat. Lalu sang utusan menyatakan bahwa jangan disalahkan apabila terjadi sebuah peristiwa besar karena penolakan oleh Megawati tersebut.


•    Pengamat teroris di media2 Indonesia umumnya dapat memberitakan dengan rinci banyak kejadian terbaru di dalam organisasi teroris, contoh : Si A berkolaborasi dengan si B, si B mencari2 anggota muda baru (pengantin), si C menggantikan si B yg tewas tertembak, si D berbeda pandangan dengan si A lalu si E keluar dari kelompok Y, kelompok Z berafiliasi dengan kelompok Y, dst dst. Sedangkan publik tidak pernah melihat tersangka yg tertangkap berbicara/ mengaku, jadi mereka tahu detil kejadian internal organisasi teroris itu dari mana? Apakah mereka punya informan (mata-mata) dlm organisasi atau telah mewancarai tersangka? Yang disiarkan oleh media/nara sumber itu teori, rekaan atau dongeng belaka?


•    Penggrebekan rumah Muhjahri di Temanggung sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin untuk menangkap satu orang (Ibrohim) membutuhkan waktu 17 jam dengan dikeroyok ratusan personil Densus88 hingga tersangka terbunuh, padahal blm jelas status hukumnya pd waktu itu. Mengapa tidak memakai gas air mata? Konon Ibrohim cuma bersenjata sebuah pistol. Beredar berita bahwa tidak ada bercak darah di rumah tsb. Penggerebekan ini terkesan cuma sandiwara.

•    Muhammad Kurniawan, pengacara keluarga tersangka teroris Air dan Eko menyangsikan bahwa Air dan Eko tewas dalam penggerebekan di Jatiasih, Bekasi (8/8/09 jam 01.00wib), diduga Air dan Eko dihabisi di tempat lain, kemudian jasadnya baru dibawa ke Bekasi dgn 500 kilogram bahan peledak. “Saya yakin ada rekayasa,” kata Kurniawan,“Saya memiliki saksi yang melihat Air Setiawan masih berada di Solo pada pukul 13.00 WIB (Shalat Jum’at),” kata Kurniawan. Dirinya menyangsikan, Air dan Eko sudah berada di Bekasi pada malam hari. “Tidak mungkin secepat itu,” kata Kurniawan. Sebagai pembanding, mobil ambulan yang membawa jenazah Air dan Eko membutuhkan waktu hingga 12 jam untuk perjalanan dari Bekasi hingga Solo, padahal dengan pengawalan dari kepolisian. (1/9/09detiknews)Kurniawan menceritakan, saat dirinya bertanya alasan mengapa polisi menembak mati Air dan Eko, tidak ada satu polisi pun yang menjawab. "Saya tanya ke Pak Hasibuan. Katanya tidak berani menjawab karena bukan kewenangan. Ketiga jenderal (Susno Duadji, Saleh Saaf, dan Saud Usman) tidak mau menerima," pungkasnya.


•    Pengumuman DPO Muhammad Jibril, padahal ia masih di Jakarta terkesan propaganda dengan istilah “diduga kuat” sehingga terjadi vonis bersalah oleh “pengadilan” media (trial by press) sehingga berdampak lebih kejam dari tuduhan itu sendiri. Bagaimana mungkin polisi beralasan tidak tahu keberadaan M.Jibril bila beberapa jam setelah pengumuman tsb M.Jibril telah tertangkap (terkesan diculik) dan sebelumnya ia merasa telah dibuntuti. Lalu tuduhan “diduga kuat” tsb sama sekali tidak dapat dibuktikan dan menyisakan tuduhan pemalsuan identitas (mirip kasus ust Abu Bakar Ba’asyir)

•    Dalam peristiwa penembakan di Cawang, hingga hampir 3 minggu polisi bingung dengan identitas salah satu orang yang ditembak mati. Polisi tidak tahu sama sekali identitas dari orang yang mereka tuduh sebagai teroris. Padahal polisi menyatakan dan didukung oleh para pengamat intelijen dadakan, bahwa seluruh identitas jaringan teroris sudah ada ditangan mereka. Maka sungguh aneh apabila ada orang yang sudah jadi korban pembantaian, tapi identitasnya tidak diketahui namun tetap dituduh sebagai teroris.

Dari akhir semua kejadian ini dapat diperkirakan tujuan motif “skenario sesungguhnya” dari bom bom yang terjadi adalah:
•    Membuat opini buruk terhadap citra Islam secara global (Islam phobia) bahkan membuat umat muslim takut dgn agamanya sendiri dan stigmatisasi agar aktivitas jihad menjadi bernilai negatif.
•    Menyudutkan/menteror/mengintimidasi para aktifis dakwah dan muslim yang ta’at (tertuduh) melalui vonis bersalah dari “pengadilan” media.
•    Menguatkan satu arus pemikiran dan sikap tertentu, yakni yang selama ini diklaim oleh sejumlah kalangan sebagai “Islam moderat”, seraya terus-menerus mengucilkan kelompok-kelompok lain yang dituduh/diberi cap Islam “radikal”, “fundamentalis”, “ekstremis” seolah seperti virus yang harus dibasmi. Sehingga memunculkan sikap mudah curiga bahkan saling memfitnah (politik belah bambu).
•    Mengalihkan perhatian publik dari kejadian2 yang penting.
•    Membuat/merevisi undang2 (UU Teroris, UU Keamanan Negara, UU Rahasia Negara dll) yang akan menambah wewenang aparat, salah satunya dalam memperlakukan siapa saja yang dicurigai.
•    Sebagai upaya mengaitkan dakwah dengan terorisme sehingga menghambat kegiatan2 dakwah di segala bidang.
•    Membuat orang tua takut menyekolahkan anaknya ke pesantren & sekolah Islam sekaligus me-liberalisasi/plural/sekuler-kan pesantren2 & pengajaran agama dgn memakai istilah “deradikalisasi”.
•    Menghambat perkembangan syariah Islam, ekonomi syariah & Daulah Islam karena bertentangan dgn program ekomomi Neo-liberalisme & Neo-kapitalisme yang diusung negara barat
•    Menambah kuat pengaruh negara barat dalam kebijaksanaan pemerintah di banyak bidang di dalam negeri
Inilah arti terorisme bagi polisi dan penguasa republik ini.
(Abu Ridho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha