Para TKW (tenaga kerja wanita) alias BMI (Buruh Migrant Indonesia) dibangga-banggakan sebagai pahlawan devisa dan komoditas pengurang angka pengangguran di negaranya. Tapi anehnya, mereka justru sering mendapat perlakuan diskriminasi.
Datang dari berbagai desa di seluruh penjuru Indonesia, para TKW mengadu nasib ke mancanegara dengan kemampuan dan keterampilan seadanya. Dari wajah-wajah lugu mereka nampak oleh kobaran semangat dan tekad sekuat baja. Segala ketakutan dan kekhawatiran mereka tepis jauh-jauh. Dalamnya kesedihan berpisah dengan orang-orang tercinta pun mereka pinggirkan. Semua demi lembaran kertas yang bernama ‘uang.’ Mereka mengais rezeki hingga jauh ke negeri orang, demi orang-orang yang mereka kasihi, dan demi keluarga yang mereka cintai. Dari mereka ada yang harus meninggalkan suami tercinta, anak-anak tersayang, ibu dan bapak serta kakak maupun adik-adik yang mereka hormati.
Meski negara memberi penghormatan dengan sebutan “Pahlawan Devisa,” namun tidak banyak orang bisa menerima keberadaannya. Tidak sedikit pula yang memandang remeh, bahkan menyudutkan mereka atas nama agama.
Selain diremehkan, para ‘pahlawan devisa’ itu kerap dkirampas haknya tanpa bisa berbuat apa-apa selain dituntut mawas diri, cerdas, dan sabar menahan kecewa saat mendapat masalah pelik di negara rantau. Dalam situasi haru-biru itu, mereka hanya mempunyai airmata. Hanya ada satu tekad yang bisa membuat mereka tegar melewati masa-masa sendiri ditanah rantau, demi ‘baktinya’ terhadap orang-orang yang mereka cintai, dengan harapan menggunung pada Allah yang akan menjaganya.
Tak sedikit orang yang memandang TKW adalah wanita matre yang tidak bersyukur, namun apakah penilaian tersebut benar adanya? Apakah menjadi TKW itu sebuah pilihan? Simaklah penuturan para TKW di Hong Kong kepada Yuliana PS, reporter voa-islam.com di Hong Kong:
Binti, 30 tahun, asal Jawa Tengah: “Pemerintah jangan menelantarkan TKW di negara orang”
Tak satupun wanita yang bercita-cita menjadi TKW, termasuk saya. Namun karena sulitnya ekonomi di negara sendiri, maka saya terpaksa berangkat keluar negeri, walau harus menelan kenyataan pahit sebagai buruh migrant.
Mau bertahan hidup di negara sendiri sangat tidak mungkin, biaya hidup yang tinggi mengharuskan kita mencari pekerjaan keluar negeri. Saya punya orangtua yang harus saya bantu. Saya juga punya tanggungjawab terhadap orang-orang di sekitar saya. Jika saya hanya mengandalkan penghasilan di negara sendiri, jelas tidak cukup.
Tapi perjalanan dari Indonesia sampai ke negeri tujuan kerja, para TKW menemui berbagai ujian berat. Sejak di Indonesia, sebelum berangkat ke negara tujuan, terlebih dahulu dididik di kantor PJTKI. Kehidupan di kantor PJTKI sangat menderita. Makanan yang kami terima tidak layak dimakan manusia, tidak ada gizinya sama sekali, itu pun harus berebut sesama calon TKW dan harus bersabar antre jatah makan.
....di Indonesia, sebelum berangkat ke negara tujuan, kami dididik di kantor PJTKI. Kehidupan di kantor PJTKI sangat menderita. Makanan yang kami terima tidak layak dimakan manusia.....
Setelah di Hong Kong dan berkali-kali menghadiri seminar yang membahas tentang buruh migrant, saya baru tahu fakta yang cukup mengejutkan. Ternyata menjadi TKI itu bukan murni kemauan rakyat jelata, tapi program pemerintah sendiri. Dengan matangnya, pemerintah menyusun target mengurangi angka pengangguran, dengan cara mengirimkan rakyatnya agar menjadi TKI.
Saya berharap kepada pemerintah, jangan kirim kami secara murah lalu menelantarkan kami di negara orang, dan menghabiskan biaya pendidikan bagi bangsa, agar rakyat Indonesia bisa mendapat hak belajar tanpa dibebani biaya.
Eli, 30 tahun, asal Cilacap: “Justru di Indonesia, TKW Diperlakukan Seperti Budak ”
Alasan saya datang ke Hong Kong karena ekonomi. Tingginya biaya pendidikan anak, memaksa saya harus rela meninggalkannya, agar anak saya tidak putus sekolah karena biaya. Terpaksa saya menjadi TKW karena minimnya ketrampilan yang saya miliki tidak memungkinkan untuk mendapatkan kerja dengan gaji cukup.
Menjadi TKW bukan pilihan saya, apalagi dengan sederet penderitaan yang harus kutanggung mulai dari Indonesia. Sebelum berangkat ke Hong Kong lebih dulu harus rela menjalani serangkaian training di kantor PJTKI. Anehnya staf PJTKI di Indonesia itu sangat gila hormat, menuntut kita menunduk dan taat pada mereka, kami layaknya budak, lucu sekali, padahal orang Hong Kong yang menjadi bos kami, menggaji kami, tidak separah orang Indonesia cara menghormatinya.
....staf PJTKI di Indonesia itu sangat gila hormat, menuntut kita menunduk dan taat pada mereka, kami layaknya budak....
Orang-orang Hong Kong jelas lebih berpendidikan, makanya tidak haus kehormatan terhadap kami. Masalah pelik yang harus kami hadapi selama di Hong Kong tidak sepenuhnya karena orang Hong Kong, tapi karena perlakuan pemerintah yang sering tidak menggubris pengaduan masalah kami, sehingga kami sering melakukan demonstrasi ke KBRI.
Mudah-mudahan ke depan pemerintah kita lebih bisa memperhatikan kami yang di sini, nyawa kami adalah tanggungjawab pemerintah juga.
Ana, TKW asal Cilacap: “Misionaris Kristen mengancam akidah TKW”
Enam tahun menjadi TKW karena desakan ekonomi. Dengan berat hati aku meninggalkan keluarga dan kehilangan masa muda. Penyediaan lapangan pekerjaan dari pemerintah yang tidak memadai memaksa saya menjadi TKW.
Kendala terberat yang kualami di Hong Kong adalah saat berhadapan dengan para evangelis salibis yang berkedok manis namun sejatinya ingin memurtadkan kami di Hong Kong. Iman mana yang tidak goyah bila di negara yang mayoritas tidak mengenal agama ini kami tidak ada ustadz yang selalu ada membantu.
....Kendala terberat yang kualami di Hong Kong adalah saat berhadapan dengan para evangelis salibis yang ingin memurtadkan kami di Hong Kong. Iman mana yang tidak goyah bila di negara yang mayoritas tidak mengenal agama ini....
Saya berani katakan, isu pemurtadan di Hong Kong bukan isapan jempol, bisa dibuktikan di lapangan, mereka para salibis mudah di temui di hari Minggu maupun hari biasa ditempat mangkal TKI. Saya berharap pemerintah benar-benar mampu bekerja dan mengentaskan rakyatnya dari belenggu kemiskinan, agar kami para wanita tidak harus keluar negeri.
Demikianlah penuturan TKW mengenai alasannya keluar negeri. Para wanita itu yang tidak ingin orang-orang di sampingnya terlantar biaya pendidikannya, tidak ingin keluarganya berpangku tangan terhadap negara yang semakin kacau dan tidak bisa menjamin kehidupan warganya.
Bagi pihak-pihak yang menganggap rendah kasta TKW dan selalu menyalahkan TKW, adakah solusi nyata bagi masalah mereka? Mereka butuh solusi nyata, bukan hanya tuduhan yang menyudutkan. [yulianna/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar