Den Haag - Seberapa genting detik-detik menjelang keberangkatan presiden ke Negeri Belanda dan sesudahnya, saya tidak punya akses untuk memantau. Tapi sms dari seorang diplomat senior (6/10/2010 waktu subuh) cukup menggambarkan situasi itu, "Mas Eddi, berita tentang kort geding sudah membuat republik tercinta "mendidih". 1001 komentar muncul dari berbagai penjuru. Dari yang ahli sampai yang sok ahli. Semua media massa, cetak dan elektronik, membuat liputan khusus. Apapun dampak yang ditimbulkannya, saya bangga mas Eddi merilisnya. Artikel pendek itu sudah membuka debat dan diskusi panjang serta pmikiran akan opsi-opsi langkah ke depan dari RI-1 dan pembantu-pembantu dekat beliau, yang berakhir dengan penundaan kunjungan. Sekali lagi selamat dan terus sukses berkarya bagi bangsa. Salam hangat."
Pantauan dari media online, diskusi dan kritik dari berbagai kalangan terhadap Kepala Negara masih terus mengalir, dari yang cukup logis sampai yang ngawur abis. Dari level profesor, sampai penjual kolor. Menarik dicermati: mengapa semua semburan api itu diarahkan kepada sesama sendiri, ribut sendiri, tapi tidak ada yang mengkritik atau menyalahkan pemerintah Belanda sebagai tuan rumah? Apakah ini salah satu ciri kelainan laten mental bangsa kita: minderwaardigheidscomplex? Mental inlander berhadapan dengan Mijnheer nDoro Toean Besar?
Penundaan kunjungan kenegaraan itu lebih diakibatkan oleh pemerintah Belanda. Kekurangpekaan Belanda sebagai tuan rumah patut disesalkan. Silakan pemerintah Belanda tersinggung, kalau Kedubes Belanda di Jakarta memantau tulisan ini. Ada banyak hal terkait kort geding RMS, yang seharusnya bisa dicegah, tanpa mencederai kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi di Belanda itu. Ketika RMS mempublikasikan iktikad untuk mengajukan kort geding (2/10/2010), seharusnya pemerintah Belanda sigap dengan mendahului kort geding ke pengadilan, yang isinya meminta pengadilan menolak atau sekurangnya menunda kalau ada permohonan kort geding dari RMS, demi menghormati Kepala Negara Republik Indonesia sebagai tamu negara, demi peningkatan hubungan baik kedua negara, dan karena eksistensi RMS mungkin sudah dianggap tidak ada, tidak dikenal, tidak diakui.
Kort geding terhadap Kepala Negara Republik Indonesia dengan tuduhan kejahatan HAM dan bertanggung jawab atas penyiksaan-penyiksaan itu juga cacat secara prosedur. Pemerintah Belanda seharusnya tahu hal ini. Sesuai prosedur, begitu ada penggugat memasukkan permohonan kort geding, pihak tergugat harus mendapat panggilan tertulis dari pengadilan untuk muncul di muka hakim. Pada 5/10/2010 RMS memasukkan kort geding, langsung sidang. Kapan surat panggilan tertulis itu dikirim ke presiden RI sebagai tergugat dan kapan sampai?
Seperti diatur dalam Wetboek van Burgerlijke Rechtsvordering (Kitab Hukum Acara Perdata), yang menjadi pedoman acara kort geding, Pasal 2 disebutkan, "...heeft de Nederlandse rechter rechtsmacht indien de gedaagde in Nederland zijn woonplaats of gewone verblijfplaats heeft, (hakim Belanda memiliki yurisdiksi jika tergugat berdomisili atau mempunyai tempat tinggal di Negeri Belanda)". Tergugat Presiden RI tempat tinggalnya di mana? Selain itu Presiden RI sebagai tergugat tidak punya kesempatan untuk wraking (hak menolak hakim, disapproval) sebagaimana diatur dalam Pasal 36 s/d 41. Pasal 36, "Op verzoek van een partij kan elk van de rechters die een zaak behandelen, worden gewraakt op grond van feiten of omstandigheden waardoor de rechterlijke onpartijdigheid schade zou kunnen lijden, (Atas permintaan satu pihak, setiap hakim yang menangani perkara dapat ditolak atas dasar fakta-fakta atau keadaan yang dimungkinkan dapat menimbulkan rusaknya ketidakberpihakan hakim)," Belanda belum siap menyambut presiden RI sebagaimana mestinya. Keputusan presiden RI sudah tepat, Belanda perlu belajar introspeksi dan memperbaiki diri, untuk selanjutnya dijadwalkan ulang kunjungan kenegaraan, dalam suasana saling menghormati, penuh kesetaraan. (es/es) (sumber: detiknews.com)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar