Senin, 07 Februari 2011

MENJEMPUT SI ‘BAIK’ DENGAN MEMPERBAIKI DIRI

addakwah.com.  Setiap orang pasti ingin jadi baik. Namun, tak setiap kita mau bertekad menjadi baik, karena tekad membutuhkan kesungguhan. Seorang pencuri sekalipun, pasti mau masuk surga, namun adakah tekad dalam jiwanya untuk menjadi penghuni surga?
Pada dasarnya yang menjadi tolak ukur seseorang menjadi baik atau tidak adalah sikap hatinya. Kondisi lahiriah hanya bisa menggambarkan sebagian dari kondisi hati. Bila berkebalikan dengan kondisi hatinya, maka keadaan yang diperankan lahirian tidak akan lama. Maka, perbaikilah kondisi hati, niscaya si 'baik' akan lahir dalam diri kita.
Tapi sah-sah saja siapapun ingin menjadi baik. Sama halnya, setiap orang juga sah-sah saja mendambakan pendamping yang terbaik buat dirinya. Seorang laki-laki yang mendambakan istri dengan segala atribut kesempurnaan pada wanita : shalihah, cantik, kaya, berpendidikan, berpenampilan sangat Islami, hafal sekian juz dalam Al-Qur'an dan lain sebagainya. Begitu juga pada seorang wanita, dia juga layak saja memiliki impian seorang suami idaman : ganteng, shalih, penyabar, pengertian, kaya, memiliki banyak ilmu, pandai memimpin dan membimbing istri, dan seterusnya.
Salahkan obsesi seperti itu? Tidak, sama sekali tidak. Yang keliru adalah bila seseorang mendambakan segala kesempurnaan itu, memimpikan calon pendamping dengan segala kesempurnaan itu, tapi ia sendiri tak pernah mau berproses untuk menjadi baik dari waktu ke waktu. Karena yang dikhawatirkan justru, apakah ia akan mampu berdampingan dengan laki-laki atau wanita sesempurna itu, sementara ia sendiri tak mendambakan kesempurnaan itu untuk dirinya sendiri?
Pendamping shalih atau shalihah adalah asset akhirat. Bekal yang harus dimiliki seseorang untuk berdampingan dengannya adalah bekal-bekal yang bernuansa akhirat. Sikap ceroboh, justru akan menggulingkan dirinya kelembah kenistaan.
Ketika Pasangan Tak Seimbang
Ada seorang laki-laki mendambakan wanita shalihah. Ia membayangkan, bahwa dengan istri yang shalihah, yang selalu mematuhinya, yang tidak banyak permintaan, ia akan hidup tenang. Allah berkenan mengabulkan keinginannya. Menikahlah ia dengan wanita tersebut. Lalu apa yang terjadi? Tak lebih dua bulan, mereka resmi bercerai.
Pasalnya, sang istri memang tak banyak menuntut. Ia juga selalu mematuhi sang suami. Ia juga selalu tampil sebagai wanita shalihah. Namun di sisi ini saja, sang suami hanya merasa senang sebelum mencoba. Hari-hari berikutnya, diwarnai dengan perdebatan, saat suaminya ingin sang istri tampil sedikit modis, namun sang istri menolak. Saat sang suami mengajaknya ke tempat-tempat maksiat sang istri menolak. Disisi lain, saat sang istri meminta suaminya rajin melaksanakan sholat berjama'ah, sang suami tidak mau. Saat sang istri meminta suaminya banyak mengaji dan mempelajari agama, sang suami merasa tak mampu dan tidak punya waktu luang.
Bahkan, saat membicarakan mengenai prinsip-prinsip hidup, mereka seringkali berseberangan. Dan, hari-hari mereka pun dipenuhi dengan berbagai hal yang di luar bayangan suami selama ini. Ternyata, ia bukan orang yang mampu menjaga istrinya yang shalihah, sebagai asset akhiratnya. Ia hanya senang membayangkan, dan tak pernah mampu memiliki sang istri seutuhnya. Ia menginginkan istri yang shalihah, tapi tak sanggup menahan konsekuensinya. Padahal, suami dan istri seharusnya ibarat belahan jiwa.
Bijak Tentukan Pilihan
Seseorang hendaklah memiliki idealisme yang tinggi, untuk urusan mencari pendamping hidup. Tapi jangan biarkan hal itu menggurui kita, sehingga kita menunda-nunda menikah hanya karena ingin mencari yang sempurna. Jika kebanyakkan laki-laki memiliki idealisme yang menggebu-gebu soal calon istri, padahal belum tentu mereka memiliki kesetaraan dengan wanita dambaannya itu dalam soal keshalihan diri, maka seorang wanita juga berhak memiliki obsesi yang serupa. Asalkan dengan niat tulus untuk mencari pendamping yang bisa membimbing ke arah kebenaran.
Sebagai perenungan dalam hal mencari pasangan hidup dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pertama, soal jodoh, kita tahu, bukanlah merupakan hak kita menetapkannya. Kita hanya mampu berusaha dan memohon kepada-Nya agar diberi yang terbaik. Bila sudah jodoh tak akan lari kemana.
Kedua, soal keshalihan sangatlah relatif. Ada wanita yang berada di barisan terdepan dalam berpakaian muslimah secara sempurna, namun tidak dalam soal menuntut ilmu. Menggebu dalam menuntut ilmu, mungkin bukan termasuk yang sukses dalam menata hati. Ada yang gigih belajar dan mengamalkan sunnah, tapi nol besar dalam berdakwah. Ada yang sukses mendakwahi orang lain, tapi gagal mendakwahi keluarga sendiri. Jadi setiap kita penuh dengan kekurangan.
 Ketiga, suatu hal yang wajar jika seorang wanita yang shalihah mencari suami yang lebih shalih dari dirinya dengan niat agar tertular keshalihannya. Demikian juga sebaliknya, seorang laki-laki  yang shalih, ingin lebih shalih dengan menikahi wanita yang melebihi keshalihannya.
Namun, satu hal yang perlu dicatat, bahwa dalam diri kita harus ditanamkan tekad untuk berusaha terus memperbaiki diri. Bila tidak, maka keshalihan pasangan hidup kita justru akan menjadi 'Neraka Dunia' bagi kita. Karena keshalihan selalu menyemburatkan implementasi yang luas diberbagai sisi kehidupan. Bila sisi-sisi kehidupan kita masih terlalu banyak diisi dengan keburukan-keburukan, sementara pasangan kita sebaliknya, maka yang akan terjadi adalah tabrakan demi tabrakan yang akan menciptakan ketidakharmonisan, ketidakserasian dan ketidakpantasan untuk membina hidup bersama. Wallahu a'lam. [rasyid]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha