Oleh : Abu Akyas
Marhaban Ya Ramadhan. Alhamdulillah kita akan berjumpa lagi dengan Ramadhan , bulan yang penuh berkah. Mari sejenak membaca kembali ayat berikut ini, untuk mengenang ibadah shaum, dulu dan sekarang. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu melaksanakan shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah:183). Ayat shaum ini menyiratkan bahwa umat-umat nabi terdahulu sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diwajibkan menunaikan ibadah shaum.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh hingga Nabi Isa ‘alaihimassalam shaum wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan, Nabi Adam ‘alaihissalam, diperintahkan untuk tidak memakan buah tertentu di surga, yang ditafsirkan sebagai bentuk shaum pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. (Q.S. Al-Baqarah: 35). Begitu pula Nabi Musa ‘alahissalam bersama kaumnya bershaum empat puluh hari. Dalam surat Maryam dinyatakan Nabi Zakaria dan Maryam sering mengamalkan shaum. Nabi Daud ‘alaihissalam sehari shaum dan sehari berbuka pada tiap tahunnya.
Jika kita mengamati dunia binatang, ternyata mereka melakukan “puasa” demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak akan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga.
Jika berpuasa merupakan Sunnah Thobi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban shaum diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri. Karena, ternyata shaum bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan.
Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surat Al-Baqarah tersebut di atas. Allah Azza wa Jalla mengakhiri ayat tersebut dengan “agar kalian bertakwa”. Syekh Musthafa Shodiq Al-Rafi’ie (w. 1356 H/1937 M) dalam bukunya wahy al-Qalam mentakwil kata “takwa” dengan ittiqa, yakni memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrati manusia dari perilaku layaknya binatang, karena pada aspek tertentu, manusia sama saja dengan binatang.
Dengan shaum, manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok. Dalam ibadah shaum, Islam memandang sama derajat manusia. Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeser pun, tetap merasakan hal yang sama: lapar dan haus.
Jika shalat mampu menghapus citra arogansi individual manusia diwajibkan bagi insan muslim, haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia diwajibkan bagi yang mampu, maka shaum adalah kefakiran total insan bertakwa yang bertujuan mengetuk sensitifitas manusia dengan metode amaliah (praktis), bahwasanya kehidupan yang benar berada di balik kehidupan itu sendiri.
Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia “turut merasakan” bersama, bukan sebaliknya. Manusia mencapai derajat kesempurnaan (insan kamil) tatkala turut merasakan sensitifitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam hawa nafsu. Dari sini shaum memiliki multifungsi.
Setidaknya ada tiga fungsi shaum: tazhib, ta’dib dan tadrib. Shaum adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa seseorang (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir shaum: takwa. Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. Takwa dan kesalehan sosial adalah dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, mengintegral dan tak dapat dipisahkan.
Ada sejenis kaidah jiwa, bahwasanya “cinta” timbul dari rasa sakit. Di sinilah letak rahasia besar sosial dari hikmah shaum. Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang shaum.
Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah suatu sistem, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia. Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta?
Senin, 25 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar