Sabtu, 26 Juni 2010

Ustadz Syuhada Bahri : Dari Da'i Pedalaman ke Pucuk Pimpinan Da'i se Indonesia

Ditengah kesibukannya sebagai Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) masih menyempatkan diri menerima kedatangan tim VOA-ISLAM yang akan mewawancarainya. Kami diterima diruang kerjanya yang cukup nyaman dan besar. Diatas mejanya tersedia kue kering beraneka rasa dan minuman mineral. Kami disambut dengan ramah dan guyonan-guyonan yang meskipun serius tapi membuat suasana menjadi begitu akrab.

VOA-ISLAM : Kapan mulai berdakwah dan apa yang memotivasi ustadz untuk berdakwah ?

Syuhada : Sejak masih di PGA Pandeglang saya selalu minta tampil untuk pidato, motivasinya apa saya tidak tahu, pokoknya saya tampil. Selanjutnya saya sering diminta mengisi pengajian di kampung-kampung sekitar. Sewaktu berada di Bandung saya mulai aktif di organisasi dakwah Korps Muballigh Muda Muhammadiyah terus pindah ke Jakarta selama setahun saya menjadi guru berlanjut hingga akhirnya bergabung dengan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesa (DDII) Jakarta pada tahun 1976. Tugas pertama yang saya emban ketika bergabung dengan DDII adalah tukang nempelin foto-foto kegiatan dakwah di daerah. Yang menguntungkan saya adalah tugas ini dilakukan di kamar Bapak M. Natsir hingga lima tahun lamanya. Banyak pelajaran berharga yang saya dapatkan dari beliau. Setelah itu saya ditugaskan untuk menangani urusan dakwah di wilayah Indonesia bagian tengah yang meliputi Jawa dan Bali, dan seterusnya saya menangani seluruh wilayah di Indonesia. Sejak itu saya selalu ditugaskan ke daerah-daerah di seluruh Indonesia, tidak pernah di kota-kota besar. Hanya itu pengalaman dakwah saya.

VOA-ISLAM : Tadi ustadz katakan ada banyak pelajaran berharga yang didapat selama bersama pak Natsir, pelajaran apa yang paling berkesan ?

Syuhada : Saya pernah meminta beliau untuk mencabut tanda tangannya di Petisi 50 karena dampaknya terhadap gerakan dakwah di daerah sangat terasa. Semua da'i DDII di daerah mengalami tekanan oleh aparat pemerintah akibat keikut-sertaan beliau di Petisi 50. Namun beliau merespon permintaan saya itu dengan mengajak diskusi selama satu jam di dalam ruangan yang dikunci. Sampai akhirnya saya tidak bisa berargumentasi lagi setelah beliau menyatakan bahwa keputusannya menyertai Petisi 50 adalah hasil istikharah. Tidak mungkinlah saya membantah petunjuk Allah. Beliau senantiasa memohon petunjuk Allah dalam membuat suatu keputusan. Ini pelajaran pertama yang saya dapat dari beliau. Pelajaran kedua, ketika menghadapi masalah asas tunggal Pancasila, beliau mengakomodir semua pendapat yang muncul di kalangan keluarga besar DDII, sampai akhirnya beliau bersikap : "saya lebih memilih sikap Bilal bin Rabah tinimbang Ammar bin Yasir terhadap masalah asas tunggal Pancasila ini". Komitmen perjuangannya sangat jelas yakni tetap mengedepankan prinsip keyakinan terhadap kebenaran (Al Haq) meskipun harus menderita karenanya. Dua hal tersebut selalu menjadi tolok ukur buat diri saya apakah saya mampu bersikap seperti beliau. Pelajaran ketiga yang saya dapat dari beliau adalah tentang pola kaderisasi yang beliau jalankan. Beliau tidak ceramah panjang lebar untuk mengkader seseorang, tetapi melalui penugasan-penugasan. Kalau orang itu mampu menyelesaikan tugas dengan baik maka beliau akan memberikan tugas berikutnya. Kalau tidak mampu pada tugas yang satu, maka beliau akan memberikan tugas yang lain yang disesuaikan dengan kecenderungan orang tersebut. Beliau tahu betul kelemahan saya pada hal menulis surat karena suatu kali saya diminta beliau untuk menulis surat yang sebenarnya beliau diktekan tetapi saya tidak bisa menyelesaikannya. Tapi kalau soal mengumpulkan data atau informasi, saya adalah orang yang pertama beliau panggil untuk menjalankan tugas tersebut. Hal lainnya yang juga berkesan buat saya dan saya sangat sulit untuk mengikutinya yaitu setiap kali selesai sholat, maka akan terlihat wajah beliau cerah seperti tidak ada persoalan, padahal sebelum sholat wajah beliau kelihatan tegang kalau menghadapi persoalan yang serius. Maka ada anekdot di kalangan kawan-kawan kalau mau pinjam uang kepada beliau maka menyampaikannya setelah beliau selesai sholat. Beliau selalu memberi penghargaan yang luar biasa kepada anak-anak muda yang berhasil menjalankan tugas yang diberikannya meskipun tugas tersebut sangat sederhana. Satu hal lagi dari beliau adalah bahwa beliau sangat pandai dalam menempatkan dirinya ketika menghadapi tamu-tamunya.

VOA-ISLAM : Kalau ditugaskan ke daerah biasanya sampai berapa lama ?

Syuhada : Paling lama 10 hari, tapi sempat sampai 15 hari ketika ditugaskan ke Timor Leste. Kalau ke daerah itu artinya ke pedalaman,  pelosok-pelosok desa.

VOA-ISLAM : Biasanya tugas apa saja yang dilakukan di daerah-daerah yang dikunjungi ?

Syuhada : Biasanya 3 hal yang saya lakukan : pertama, memotivasi para da'i, kedua, memberikan pelatihan kepada para calon da'i yang selama ini dibina, ketiga, bersilaturahim dengan masyarakat setempat. Ketika mengadakan pelatihan di Sungai Lilin saat itu masa orde baru dimana militer di daerah-daerah begitu berkuasa sempat akan dibubarkan, tapi saya melawan dan tetap melaksanakan acara pelatihan itu meskipun diancam. Tapi saya minta pihak aparat untuk mengikuti secara langsung acara pelatihan tersebut.

VOA-ISLAM : Apakah ustadz aktif juga di organisasi lain ?

Syuhada : Ya ada juga tapi tidak terlalu aktif, hanya sebatas mengikuti pelatihan-pelatihan saja misalnya di HMI, PII, dan GPI. Tapi yang lebih lama saya aktif di Pemuda Muhammadiyah Bandung. Di Jakarta pun saya aktif di Muhammadiyah Tanah Abang III. Begitu saya gabung dengan DDII yang lainnya saya tinggalkan.

VOA-ISLAM :
Kapan mulai berkeluarga ?

Syuhada : Tahun 1985 saya menikah dan dikaruniai 12 anak, anak pertama dan kedua sudah selesai kuliah, yang paling kecil 2,5 tahun.

VOA-ISLAM :
Ada niat nambah lagi - anak maupun istri ? Sekarangkan lagi musim poligami...

Syuhada : Sebagai laki-laki keinginan untuk menikah lagi pasti ada, akan tetapi saya merasa belum mampu untuk berpoligami. Yang ada saja sudah cukup berat untuk ditangani.

VOA-ISLAM : Tentang Dewan Dakwah, mengapa Ustadz berani menerima peran pimpinan tertinggi dewan dakwah dimana masih ada orang tua yang juga punya pengalaman yang sama?

Syuhada : Sebenarnya kalau ditanya kepada saya sanggup atau tidak menerima tugas ini, saya akan jawab tidak sanggup. Dulu pak Natsir ketika mengkader saya tidak pernah tanya sanggup atau tidak menjalankan tugas tetapi langsung saja diberi tugas. Begitu pula saat pemilihan ketua umum DDII karena semua terutama para orang tua setuju kepada saya, maka saya menganggap ini adalah amanah tugas yang harus saya tunaikan dengan sebaik-baiknya. Terlebih saya mampu menjawab 200 pertanyaan yang dibuat oleh tim penguji, saya dianggap sangat tahu banyak soal DDII ini.

VOA-ISLAM :
Setelah terpilih sebagai Ketua Umum apakah ada masalah dengan para senior atau lainnya ?

Syuhada :
Sebenarnya sih tidak ada masalah bagi saya, tetapi mungkin jadi masalah buat orang lain. Mengapa ? karena DDII ini sejak tahun 1967 hingga 2007 pola kepemimpinannya adalah figur. Figur pak Natsir, pak Anwar Haryono, pak Ahmad Affandi, pak Cholil Badawi, bang Husin Umar,dan lain-lain adalah figur yang sangat dikenal baik ditingkat nasional maupun internasional. Mereka membangun sistem di organisasi ini, tetapi sistem ini kemudian ikut pergi bersama figur yang membuatnya karena kekuatannya pada figur tersebut. Saya menyadari betul kalau saya ini bukan figur seperti mereka. Dibilang Ketua Umum DDII saja saya miris. Menyadari hal ini maka saya mencoba untuk mengalihkan kekuatan figur kepada sistem, dan ini bukan pekerjaan mudah karena merubah sesuatu yang sudah tertanam selama 40 tahun. Saya ingin yang menggerakkan orang-orang yang terlibat di DDII ini adalah sistem bukan figur lagi. Sehingga dengan begitu setiap orang dipaksa untuk berkreasi, tidak lagi menunggu komando. Terlebih saya menyadari betul bahwa yang bersama saya saat ini adalah orang-orang yang seangkatan, yang dulu sama-sama dibina oleh pak Natsir. Saya merasa rikuh kalau teman-teman seangkatan harus saya komandoi. Jadi dengan sistem ini saya mengajak teman-teman untuk sama-sama bekerja tanpa menunggu perintah. Dulu kalau masuk atau pulang kantor tidak ada aturannya harus jam berapa karena tergantung pimpinan, tetapi kalau sekarang sistemlah yang mengatur setiap orang termasuk saya sebagai ketua umum. Kepemimpinan DDII sekarang ini adalah merupakan titik alih dari generasi tua ke generasi muda, kami adalah penyambung antara generasi binaan pak Natsir dan setelah kami adalah generasi yang tidak bersentuhan langsung dengan pak Natsir. Itulah sebabnya mengapa harus dibangun sistem supaya organisasi ini tetap berjalan terus sampai kapanpun. Dan dengan sistem ini kami mewariskan generasi berikut bukan DDII sebagai gerakan dakwah semata, tetapi sebagai gerakan ideologi yang sarat dengan nilai-nilai.

VOA-ISLAM : Apa bedanya gerakan dakwah dengan gerakan ideologi ?

Syuhada : DDII bukan semata gerakan dakwah dalam arti hanya mencetak da'i yang pinter ceramah saja, tetapi harus menjadi gerakan ideologi  dimana dakwah yang disampaikannya tidak semata-mata Islam sebagai pengetahuan tetapi juga Islam sebagai pandangan dan cara hidup. Suatu gerakan yang menanamkan kesadaran kepada ummat untuk memiliki komitmen terhadap syari'ah dalam kehidupannya. Bukan sebagai gerakan yang selalu mengikuti trend yang berlaku di masyarakat misalnya sebagai bentuk kerukunan ummat beragama maka kemudian mengadakan acara do'a bersama di Bunderan H.I dan lain sebagainya. Itu organisasi bukannya gerakan ideologi.

VOA-ISLAM :
Bagaimana mengartikan Da'wah Politik dan Politik Da'wah ?

Syuhada : Setiap muslim adalah da'i dan kalau dia mempunyai profesi maka dia bisa disebut da'i dokter, da'i insinyur, da'i politisi, dan seterusnya. Perannya sebagai da'i harus  menjadi pembimbing dirinya dalam menjalankan apapun profesinya. Tetapi kalau politisi da'i misalnya maka yang sering terjadi sang politisi sering sujud sahwi karena ke-da'iannya hilang/terlupakan ditelan oleh ke-politisiannya. 'Kan politik biasanya cenderung menghalalkan segala cara.

VOA-ISLAM :
Pada musim pemilu yang lalu DDII mengeluarkan instruksi untuk ikut pemilihan umum dengan memilih partai Islam. Dimana nilai ideologisnya ?

Syuhada : Instruksi itu dikeluarkan setelah mengikuti perkembangan dimana ada kecenderungan untuk golput begitu besar dari kalangan ummat Islam, sementara Kristen mewajibkan ummatnya untuk memilih partai mereka. Sehingga di DKI Jakarta PBB saja kalah sama PDS yang lebih muda. PDS punya 4 kursi sementara PBB 0. Kami menemukan di suatu kabupaten calon legislatif dari PDS 20 orang kesemuanya beragama Islam. Ada gerakan tersembunyi yang dilakukan oleh non Muslim untuk mendorong ummat Islam bersikap golput. Kalau ummat Islam golput maka dapat dipastikan ummat Islam tidak akan mempunyai wakil-wakil yang menyuarakan aspirasi mereka kelak. 

VOA-ISLAM :
Bukankah kemudian timbul masalah di internal DDII sendiri yakni yang pro dan kontra dengan instruksi tersebut ?

Syuhada : Ya memang akhirnya kita harus memilih untuk ikut pemilu atau tidak. Saya melihat kalau tidak ikut pemilu mudharatnya lebih besar buat ummat Islam secara keseluruhan, terlebih setelah diketahui kalau ada gerakan tersembunyi yang dilakukan oleh non Muslim yang menggiring ummat Islam untuk golput. Ada orang telepon kepada Ustadz Muzayyin untuk tidak membantu orang-orang Padang yang terkena gempa karena mereka itu diazab oleh Allah. Lalu Ustadz Muzayyin balik bertanya kalau kita tidak membantu mereka maka mereka akan dibantu oleh orang-orang Kristen dan akhirnya orang-orang Padang jadi Kristen semua, bagaimana ? Orang tersebut tidak bisa menjawab. Jadi memang dilematis tapi tetap harus memilih. Yang penting kita tidak saling menghujatlah. Silahkan saja kalau ada orang yang golput, kita akan hargai pendapat itu, tetapi tolong hargai juga pertimbangan orang yang tidak golput karena mereka melihat kemudharatan yang lebih besar. Bisa saja kita bilang sudahlah sekalian saja gak usah ikut pemilu biar kita jelas melihat siapa lawan kita. Padahal, pada kenyataannya jangankan semua posisi dikuasai mereka, satu posisi saja yang mereka kuasai sudah membuat kita tidak berdaya misalnya ketika Benny Murdani menjadi PANGAB, ummat Islam terus menerus tertindas dan kita tidak mampu melawan.

VOA-ISLAM :
Jadi, apakah orang yang golput itu salah?

Syuhada : Saya tidak bisa katakan itu salah, itukan hak dia untuk bersikap, tetapi jangan menuntut orang untuk memahami pendapatnya sementara dia tidak mau menghargai pendapat orang lain. Kalau itu yang terjadi maka akhirnya timbul saling vonis. Padahal boleh jadi itu masalah ijtihadi. Kalau itu ijtihad salahnya saja dapat satu pahala.

VOA-ISLAM : Apa tantangan dakwah hari ini ?

Syuhada : Persoalan yang paling mendesak saat ini adalah bagaimana kita mencerdaskan ummat kita ini agar mereka memahami Islam dengan benar. Kekalahan partai-partai Islam pada pemilu yang lalu mencerminkan seperti apa ummat Islam kita itu. Saya tidak bisa bayangkan apakah masih akan ada partai Islam tahun 2014 nanti. Maka oleh karena itu DDII sedang melakukan kaderisasi ulama ada yang formal dan ada yang non formal. Yang formal itu program S1, S2, dan S3, yang non formal melalui bangku pesantren saja. Syarat utama untuk non formal adalah harus hafal Qur-an dan nantinya menguasai kitab. Itu harus dilakukan secara serius karena kehancuran suatu bangsa disebabkan oleh kedzaliman penguasa dan kekufuran yang dilakukan oleh bangsa itu sendiri. Dalam surah Ibrahim : 18 dan An Nahl : 112 Allah menjelaskan kepada kita tentang hal tersebut diatas. Nah dzalimnya penguasa itu kembali kepada kualitas pemilihnya. Di kita ini ada yang lucu, memilih pemimpin haram tapi menta'ati pemimpin yang terpilih wajib hukumnya. Kalau program ini berjalan dengan baik, maka nanti kita tempatkan disetiap kabupaten ulama yang akan menjadi rujukan masyarakat kabupaten itu.

VOA-ISLAM :
Bukankah kualitas seseorang itu juga disebabkan oleh kemiskinan dan realitasnya kemiskinan di negeri ini semakin meningkat, lalu yang mana kita dahulukan mencerdaskan  atau mengatasi kemiskinannya ? Bukankah ada pernyataan Rasulullah "kemiskinan menyebabkan seseorang menjadi kufur"

Syuhada : Hadis yang tadi disebutkan itu adalah hadis dha'if. Kemudian saya sedang memikir kan kembali jangan-jangan dakwah bil haal yang dimaksudkan untuk memperbaiki kehidupan seseorang adalah upaya pembusukan terhadap dakwah itu sendiri. Kalau kita melihat pernyataan nabi Yusuf 'alaihissalam yang mengatakan "innii hafiidzun 'aliim" yang bisa diartikan "sesungguhnya saya ini amanah dan profesional". Amanah itu tidak ada sekolahannya, dia lahir dari kesadaran yang tinggi, tapi kalau profesional bisa dipelajari. Jadi kalau mau bicara perbaikan masyarakat miskin, ya perbaiki dulu kualitas orangnya, barulah setelah itu perbaikan ekonomi. Yang terjadi sekarang ini, upaya perbaikan yang dilakukan oleh LSM atau organisasi, atau lembaga apa saja yang dimulai dengan perbaikan ekonomi hasilnya iman tidak meningkat ekonomi juga tidak ada peningkatan. Kalaupun kaya tapi tidak berkah. Oleh karena itu, apapun pendekatan yang dilakukan melalui koperasi-kah, pertanian-kah, dan lain-lain, maka perbaikan aqidah harus menjadi prioritas.

VOA-ISLAM :
Tapi apa jawaban kita ketika kaum dhu'afa itu mengatakan : "kami ini lapar, anda bawa apa untuk kami makan?"

Syuhada : Ya dikombinasikanlah, kita bawa makanan dan membina rohani mereka. Kita bisa berikan contoh Bilal yang miskin tidak menjual aqidahnya walaupun lapar bahkan disiksa, dia tetap tegar dan teguh dengan keimanannya. Begitu pula Zaid bin Tsabit dengan kemiskinannya tetap beriman. Kita jangan sampai terpengaruh oleh harakatut tasykik yang sering membenturkan kita dengan realitas. Ketika DDII mengirim bantuan ke Aceh, para relawan saya nasihati supaya jangan ngajari mereka tentang Islam karena mereka sudah faham, tetapi tunjukkan saja kepada mereka amalan-amalan Islami, lama kelamaan mereka akan mengikuti juga. Misalnya ketika masuk waktu sholat azanlah lalu sholat kemudian baca Qur-an, ga' usah ajak-ajak mereka biarlah mereka sendiri yang sadar untuk melakukannya. Dua hari kemudian ada orang yang minta diajari baca Qur-an, kalau sudah ada keinginan itu, barulah dibina.

VOA-ISLAM :
Peta dakwah kita seperti apa saat ini ?

Syuhada : Peta dakwah kedepan semakin berat. Kalau zaman pak Natsir yang kita hadapi sangat jelas yaitu orang-orang Kristen, tetapi sekarang kita menghadapi orang-orang Islam yang merusak Islam. Realitas di lapangan, dakwahnya diberi kebebasan tapi diarahkan ke kanan menjadi sekuler yang oleh media dikatakan ini adalah Islam modern, kemudian ada yang digeserkan ke kiri transcedental yang menganggap semua urusan bisa selesai dengan zikir dan ini di ekspos oleh media sebagai dakwah yang sejuk. Sementara dakwah yang menanamkan ketaqwaan disebutnya teroris.

VOA-ISLAM :
Lalu bagaimana seharusnya kita berdakwah pada situasi seperti ini ?

Syuhada : Pertama, persoalan dakwah ini bukan lagi persoalan di seputar Indonesia, tapi harus kita lihat secara global. Berbagai isu yang bisa menghambat gerakan dakwah munculnya bukan dari dalam negeri, tetapi dari luar negeri dengan isu terorisme yang terus menerus dihembuskan oleh amerika. Isu ini bagai bola liar digelindingkan terus kemudian diikuti dengan stigmatisasi buruk terhadap segala hal yang berbau Islam, misalnya orang berjenggot, muslimah bercadar, aktifis rohis atau masjid, anak muda yang bercelana isbal, penjual habbatussauda, dan lain sebagainya disebut sebagai teroris atau cikal bakal teroris yang harus diwaspadai. Hal ini jelas berdampak kepada gerakan dakwah. Islam sebagai agama Rahmatan lil 'alamiin dicitrakan sebagai agama yang haus darah, menebar teror dan ketakutan ditengah masyarakat. Akhirnya da'i kesulitan menyampaikan konsep Islam yang sebenarnya karena akan di cap teroris. Terorisme yang terjadi saat ini adalah upaya musuh-musuh Islam yang ingin menjatuhkan citra Islam dan ummat Islam dan juga upaya memecah belah ummat Islam. Setidaknya itulah opini yang berkembang dikalangan ummat ISlam saat ini. Akibatnya bisa menimbulkan rasa frustasi dikalangan generasi muda ummat Islam terhadap kondisi ummat yang terus menerus terpojokkan. Semua persoalan itu akhirnya bermuara pada kebodohan ummat dalam memahami ajaran Islam. Oleh karena itu, kita harus berupaya mengajarkan Islam yang benar yang berdasarkan Al Qur-an dan As Sunnah. Mengapa demikian ? karena saat ini ada gerakan yang mengajarkan Islam berdasarkan perkembangan zaman. Gerakan ini begitu masif disuarakan melalui berbagai media utama negeri ini. Gerakan global menekan ummat Islam di seluruh dunia saat ini sangat fokus karena pelakunya tunggal. Kalau dulu ada dua kekuatan super power yang menguasai dunia saling berebut pengaruh, tapi kini cuma ada satu super power - amerika yang menguasai dunia ini, dan boleh jadi terpecahnya uni sovyet bukan karena dia kalah dalam pertarungan di pentas dunia, tetapi sengaja mengalah untuk merapatkan barisan dengan amerika dan kemudian fokus pada satu musuh yaitu ummat Islam. Oleh karena itu saya tetap fokus pada satu hal yaitu mencerdaskan ummat karena inilah pangkal segala masalah yang menyebabkan ummat selalu kalah, atau dipermainkan orang lain.

VOA-ISLAM :
Ada sebagian saudara-saudara kita yang lebih cenderung melakukan gerakan bersenjata untuk melawan amerika dan sekutunya karena mereka menganggap amerika dan sekutunya itu telah melakukan peperangan terhadap ummat Islam di seluruh dunia. Maka perlawanan terhadap mereka harus juga keseluruh dunia.

Syuhada : Boleh-boleh saja mereka berfaham seperti itu, tetapi jangan semuanya kesana, berbagi tugaslah. Yang penting tidak saling merobohkan bangunan yang sudah kita bangun. Kapan selesainya bangunan itu nanti. Kita hendaknya saling mengetahui peran kita masing-masing, dan mainkanlah peran itu dengan sebaik-baiknya, jangan saling menghina, mencaci, menuduh yang bukan-bukan terhadap saudaranya, dan sebagainya. Perang global terhadap amerika jangan sampai jadi pemicu perpecahan ummat. Kalau saya khawatir dan sekaligus curiga, amerika yang begitu canggih dalam segala hal, terlebih intelijennya mampu memainkan kondisi ummat Islam yang sudah dibacanya untuk melahirkan banyak militan muslim yang dikendalikan sesuai dengan skenarionya tanpa si muslim itu sendiri menyadarinya. Saya yakin kalau para militan itu punya niat tulus menegakkan kewibawaan Islam dan kalau mati dalam usahanya itu insya Allah dia syahid. Tapi dalam konteks perjuangan menyeluruh, apakah itu menguntungkan ummat Islam atau malah sebaliknya. Ini barangkali perlunya kita duduk dan diskusikan bersama.

VOA-ISLAM : Bukankah sudah ada forum ummat Islam tempat untuk kita bincangkan persoalan ummat ini bersama-sama, sejauh mana efektifitasnya ?

Syuhada : Yang ada itu 'kan forum bukan melaksanakan ukhuwah. Yang kita perlukan saat ini adalah bagaimana mempersaudarakan ummat Islam ini. Untuk ini kita memerlukan orang yang betul-betul disegani oleh semua fihak. Nah ini yang sekarang tidak ada. Betul dulu pak Natsir pernah punya forum ukhuwah Islamiyah, tapi sekarang figur seperti beliau yang bisa diterima semua kalangan sudah tidak ada lagi. Yang ada saat ini adalah figur-figur parsial, masing-masing sudah punya kerajaannya, dan kemudian masing-masing merasa paling bener. Oleh karena itu, bagi saya usaha yang harus kita lakukan adalah bagaimana kita memberikan pemahaman kepada ummat agar ber Islam sesuai dengan apa yang sudah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Saya kira sejarah sudah mengajarkan kepada kita bahwa Rasulullah ketika menghadapi dua Umar yang memusuhinya tidak pernah memaki atau melaknat mereka, malah beliau berdoa agar mereka diberikan hidayah oleh Allah.

VOA-ISLAM : Terakhir, ada pesan yang ingin disampaikan kepada ummat ?

Syuhada : Ya, saya hanya ingin mengingatkan dan mengajak kita semua agar jangan pernah lelah untuk mengajak ummat ini belajar dan belajar, lalu rapatkan barisan agar musuh tidak mampu memangsa meskipun hanya satu orang diantara ummat ini. Dan jangan lalai untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan dihadapan, baik secara fisik maupun mental.

Wawancara berakhir tepat ketika azan maghrib berkumandang dari masjid Al Furqan.

(Salim Abdullah, Abu Aiys')

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha