Jakarta, Kompas.com — Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa tidak terjadi perubahan arah kiblat seperti wacana yang beredar di masyarakat. Menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI Hasanuddin, pihaknya hanya menyempurnakan fatwa mengenai arah kiblat yang sebelumnya dinilai multitafsir.
Hal tersebut disampaikan Hasanuddin di Kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (16/7/2010). Menurut Hasanuddin, sebelumnya MUI mengeluarkan fatwa pada 3 Februari yang mengatakan bahwa arah kiblat adalah menghadap ke barat. "Mau miring ke kanan, ke kiri, yang penting ke barat," katanya.
Namun, fatwa tersebut mendapat respons dari masyarakat, khususnya golongan syafii, yang menilai bahwa MUI tidak tepat karena seharusnya kiblat menghadap ke barat laut. Oleh karena itulah, fatwa arah kiblat pada 3 Februari ditinjau kembali sehingga dikeluarkanlah fatwa No 5 tanggal 1 Agustus yang mengakomodasi pendapat lain dari masyarakat.
"Poin 1 dan 2 (fatwa 3 Februari dan 1 Agustus) sama. Hanya, di poin terakhir, kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan posisi kemiringan bervariasi sesuai dengan posisi kawasan masing-masing," kata Hasanuddin. "Ini sejalan dengan paham yang selama ini berkembang di Indonesia. Kita hanya memberikan pedoman saja," ujarnya.
Fatwa No 5 tanggal 1 Agustus mengenai arah kiblat tersebut menyebutkan tiga poin. Pertama, arah kiblat bagi orang yang dapat melihat Kabah adalah ke arah bangunan Kabah. Kedua, jika tidak dapat melihat Kabah, arahnya sesuai dengan arah berdirinya Kabah. Dan ketiga, karena posisi Indonesia ada di sebelah timur Kabah, kiblat bagi orang Indonesia adalah menghadap barat laut dengan kemiringan bervariasai sesuai dengan posisi kawasan masing-masing.
Dengan kedua fatwa tentang kiblat tersebut, MUI memberikan keleluasan kepada umat Islam dalam menentukan arah kiblat. "Hanya memberikan kemudahan, tidak ada yang salah. Mau lurus ke barat boleh, sedikit miring ke barat laut juga boleh," tutur Hasanuddin.
Hal tersebut disampaikan Hasanuddin di Kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (16/7/2010). Menurut Hasanuddin, sebelumnya MUI mengeluarkan fatwa pada 3 Februari yang mengatakan bahwa arah kiblat adalah menghadap ke barat. "Mau miring ke kanan, ke kiri, yang penting ke barat," katanya.
Namun, fatwa tersebut mendapat respons dari masyarakat, khususnya golongan syafii, yang menilai bahwa MUI tidak tepat karena seharusnya kiblat menghadap ke barat laut. Oleh karena itulah, fatwa arah kiblat pada 3 Februari ditinjau kembali sehingga dikeluarkanlah fatwa No 5 tanggal 1 Agustus yang mengakomodasi pendapat lain dari masyarakat.
"Poin 1 dan 2 (fatwa 3 Februari dan 1 Agustus) sama. Hanya, di poin terakhir, kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke barat laut dengan posisi kemiringan bervariasi sesuai dengan posisi kawasan masing-masing," kata Hasanuddin. "Ini sejalan dengan paham yang selama ini berkembang di Indonesia. Kita hanya memberikan pedoman saja," ujarnya.
Fatwa No 5 tanggal 1 Agustus mengenai arah kiblat tersebut menyebutkan tiga poin. Pertama, arah kiblat bagi orang yang dapat melihat Kabah adalah ke arah bangunan Kabah. Kedua, jika tidak dapat melihat Kabah, arahnya sesuai dengan arah berdirinya Kabah. Dan ketiga, karena posisi Indonesia ada di sebelah timur Kabah, kiblat bagi orang Indonesia adalah menghadap barat laut dengan kemiringan bervariasai sesuai dengan posisi kawasan masing-masing.
Dengan kedua fatwa tentang kiblat tersebut, MUI memberikan keleluasan kepada umat Islam dalam menentukan arah kiblat. "Hanya memberikan kemudahan, tidak ada yang salah. Mau lurus ke barat boleh, sedikit miring ke barat laut juga boleh," tutur Hasanuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar