Setiap muslim tentu merindukan baitullah untuk menunaikan haji. Begitulah orang yang mencintai Allah. Hatinya selalu terpaut dengan rumah kekasihnya. Setiap kali disebut, hatinya semakin rindu menggebu. Kerap air mata berlinang ketika mengingatnya dari kejauhan. Sayang, tidak semua orang bisa mewujudkan harapannya menjadi tamu Allah di rumah-Nya. Karena ibadah haji termasuk ibadah ‘mewah’. Sulit dikerjakan tanpa menyediakan dana puluhan juta rupiah. Sekiranya ada dana, itupun masih terganjal kuota. Begitu sulit meraih pahala haji. Bagi yang tidak berkemampuan, hanya bisa menumpahkan kerinduan itu di dalam do’anya. Untungnya, Allah Maha Penyayang menyediakan bagi hamba-Nya jalan alternatif untuk meraup pahala haji. Tanpa ONH, tanpa kuota, dan tidak perlu menunggu musim haji yang datangnya hanya setahun sekali. Diantara amal bernilai pahala haji ini disabdakan oleh Nabi SAW,
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
“Barang siapa shalat Subuh berjama’ah kemudian duduk berdzikir mengingat Allah hingga matahari terbit, setelah itu shalat dua rakaat, amalan itu baginya sama seperti pahala haji dan umrah. Anas berkata: Rasulullah melanjutkan, “Sempurna, sempurna, sempurna!” (HR. Tirmidzi, no. 586).
Inilah rangkaian amal setara haji itu; shalat Subuh berjama’ah, tetap duduk di tempat shalat, berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari, dan shalat dua rakaat. Amal yang mudah dan murah. Tanpa modal dana, selepas Subuh kita pulang ke rumah menggondol pahala haji. Hebatnya lagi, kita bisa ‘berhaji’ setiap pagi, setiap hari!
Rasulullah menjadi teladan bagi ummatnya. Beliau rutin melakukan amal pagi ini. Diriwayatkan Simak bin Harb pernah bertanya kepada Jabir bin Samurah, “Apakah engkau pernah menemani Rasulullah?”. Jabir menjawab, “Ya, beliau biasa tidak beranjak dari tempat beliau shalat Subuh. Apabila matahari terbit beliaupun bergegas meninggalkan tempat shalat. Dulu para sahabat memperbincangkan masa jahiliyah yang membuat mereka tertawa, sedangkan Rasulullah hanya tersenyum.” (HR. Muslim, no.670)
Begitulah seharusnya kita, pengikut Nabi. Mengawali hari kita dengan amal yang penuh berkah ini. Insya Allah aktivitas kita sepanjang siang berikutnya diberkahi Allah Ta’ala.
Bagaimana dengan muslimah yang shalat di rumah? Memang teks hadits di atas membatasi tempatnya di masjid. Namun tidak dipahami bahwa masjid menjadi syarat tempatnya. Wanita yang memang lebih utama shalat di rumah, tentu saja bisa melakukan rangkaian amal ini di rumahnya. Apalagi ada atsar yang shahih bahwa Ibnu Mas’ud RA pernah melakukannya di rumahnya (HR. Muslim, no.822).
Shalat Isyraq
Ibnu Abbas dan para ulama menyebut dua rakaat pada hadits di atas dengan istilah shalat isyraq. Dinamakan isyraq (terbit) karena dikerjakan beberapa saat setelah terbitnya matahari. Namun hakikatnya, shalat isyraq adalah shalat Dhuha (sebagaimana pembahasan shalat Dhuha edisi sebelumnya, red). Shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktunya. Didalam riwayat yang lain Rasulullah SAW lebih spesifik menyebutnya dengan shalat Dhuha. “Barang siapa yang shalat Subuh di masjid berjamaah, lalu menetap di dalamnya hingga mengerjakan shalat Dhuha, maka dia mendapat pahala seperti orang yang haji dan umrah dengan sempurna” (HR. Thabrani, no. 7663).
Penambah Semangat
Amal berhadiah haji dan umrah ini, ternyata sepi peminat. Ba’da Subuh adalah waktu rawan ngantuk. Banyak yang tidur kembali dengan dalih agar fit menjalankan aktivitas siang yang meletihkan. Padahal, tidur pagi selepas Subuh tidak baik untuk kesehatan. Membuat tubuh menjadi mudah lesu dan loyo, serta mudah terserang penyakit.
Sunah nabi waktu pagi ini justru memberi berkah tersendiri; menyehatkan dan memberi semangat. Tetapi khasiat ini tidak bisa dirasakan kecuali yang membiasakannya. Ibnu Qoyyim menuturkan pengalamannya dengan Ibnu Taimiyah, gurunya. “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu hari shalat Subuh. Setelah shalat, beliau duduk berdzikir kepada Allah hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling kepadaku dan berkata, “Ini adalah kebiasaanku pada waktu pagi. Jika aku tidak melakukannya, tubuhku tak bertenaga.” (Al Wabilush Shayib, hal.63)
Bukan Pengganti Haji
Jalan murah menuju pahala haji ini bukan berarti mengalahkan keutamaan haji hakiki. Apalagi menggantikan kedudukannya. Bukan! Amal setara haji ini tak lebih menjadi ladang amal alternatif bagi mereka yang tertutup pintu ke baitullah. Menjadi motivasi untuk terus berlomba dalam kebaikan agar tidak tertinggal jauh oleh orang-orang yang mampu menunaikan haji. Semoga kita mudah meraup pahala haji di negeri kita sendiri dan mampu berhaji ke baitullah nun jauh di sana.
[dudi]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar