Cerita tentang Senan Mohammed dari Kuwait. Bersama kawan-kawannya, memutuskan membeli sebuah kapal untuk membantu Gaza
Addakwah.com & Sahabat Al-Aqsa--Di Atas Mavi Marmara—Salah satu dari sedikit Muslimah bercadar di kafilah ini adalah Senan Mohammed dari Kuwait. Senan – sebuah nama yang “separuh Turki, separuh Arab” dan bermakna “ujung paling tajam sebilah pedang” ini – adalah pimpinan delegasi Kuwait yang terdiri dari lima perempuan dan sebelas orang laki-laki. Saat diwawancarai, dia mengenakan setelan kaftan berwarna off-white yang berhiaskan bordiran yang indah, dan tengah melepas cadarnya.
Empat tahun yang lalu Senan bersama enam orang kawannya di Kuwait memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi kemanusiaan yang diberi nama Qawfel. Jumlah aktivis inti mereka sekarang sekitar 30 orang, dan kerja mereka menyantuni anak-anak yatim, para janda dan kaum dhuafa serta para pelajar yang berjihad menuntut ilmu sudah mencakup 24 negara.
Termasuk dalam wilayah kerja mereka adalah Kuwait – “karena di Kuwait juga ada yatim dan orang miskin” -, Saudi Arabia, Bahrain, Yaman, Al-Quds dan Gaza serta Al-Khalil di tanah Palestina, Yordania, Libanon, Turki, Mesir, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, India, Pakistan, Indonesia, China, Iraq, Albania dan Ukrainia.
Ketika ditanya alasan mendirikan perkumpulan untuk tujuan kemanusiaan, Senan tertawa. “Ini bukan hal baru ‘kan? Kakek-kakek kami dari zaman dahulu sudah selalu bekerja membantu orang lain. Kami hanya meneruskan karena kami sadar bahwa kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan yang diisi untuk menolong sesama.”
Sekarang ini, kata Senan, sejumlah relawan yang bekerja dengan mereka di berbagai negara pun datang dari berbagai latarbelakang. “Ada di antara mereka yang tidak berhijab, tapi mereka juga menyadari bahwa kehidupan yang nyata adalah yang diisi dengan menolong orang lain, bukan untuk kesenangan diri sendiri.”
Yang menarik adalah Qawfel tidak menerima anggota pria! “This is a ladies-only group. Kelompok perempuan saja,” ujar Senan. “Sudah ada sejumlah pria yang berusaha masuk dan meminta bergabung, tapi kami tolak.”
Kenapa? “Karena bekerja dengan pria malahan mungkin membawa hambatan bagi kami,” jawab Senan. “Mereka melihat hambatan ini-itu dalam bekerja, sedangkan kami bisa lebih bersabar (untuk bekerja terus).”
Kapal Satu Juta Dolar
Tetapi Senan bukan “feminis” anti-lelaki. Ibu dari 3 anak ini (‘Omar yang berusia 21 tahun, Abdullah yang 18 tahun dan satu anak perempuan, Fajr, 15 tahun) menikah di usia 19 tahun dengan Salah Ahmed Al-Jarallah. Di usia 23 tahun dia mengenakan cadar karena “suami saya yang meminta dan saya memuliakan permintaannya.”
Senan, yang pernah berkerja di sebuah kantor pemerintah lalu berhenti sesudah empat tahun karena merasa hanya menyia-nyiakan waktu, bekerja dengan dukungan penuh suaminya. Ketika mendengar rencana pelayaran ke Gaza, Senan memutuskan untuk ikut. Suaminya kemudian memutuskan bukan saja untuk ikut serta tapi bahkan meluaskan kampanye pengumpulan dana Senan kepada teman-temannya sesama pengusaha dan ke kantor-kantor pemerintah.
Untuk misi ke Gaza kali ini, Senan dan kawan-kawannya memutuskan mendukung dengan cara membeli sebuah kapal! Satu dari dua kapal kargo yang berangkat dari Turki membawa bahan-bahan bantuan itu adalah kapal yang dibeli Senan dan kawan-kawannya di Kuwait dan Bahrain.
Berapa harga sebuah kapal wahai Senan?
“Satu juta dolar,” jawab Senan singkat.
Mahasiswi 80 Ribu Euro
Termasuk dalam kerja Senan dan kawan-kawannya adalah “segala sesuatu untuk meninggikan Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam”. Beberapa waktu lalu, sejumlah Muslim di Berlin, Jerman, memutuskan untuk membeli sebuah gereja. Dana yang tersisa di tangan mereka tak cukup untuk mengubah bangunan itu sehingga layak menjadi masjid. Mereka butuh 80 ribu Euro.
Salah seorang dari kawan Senan yang ada di Berlin mengontak Senan. “Beri saya waktu dua pekan. Ini urusan Allah, saya akan minta kepada Allah,” jawab Senan yang lalu pergi berhaji dan berdoa di Multazam meminta jalan keluar. Di Saudi Arabia dia juga diam-diam melakukan “kampanye penggalangan dana” di kalangan sejumlah perempuan.
“Siapa yang mau memberikan pinjaman kepada Allah?” tanya Senan. Seorang mahasiswi berusia 18 tahun dari Bahrain yang juga sedang berhaji termasuk di antara mereka yang mendengar kampanye Senan. Di ujung pembicaraan itu, si gadis yang tak mau disebut namanya itu lalu membuntuti Senan. Bisiknya, “Bibik, beri saya waktu sepekan. Saya sendiri yang akan menutup pinjaman itu.”
“Demi Allah,” cerita Senan. “Dalam waktu persis tiga hari, gadis itu datang kepada saya dan memberikan persis 80 ribu Euro. Saya tidak tahu bagaimana dan dari dia memperoleh dana sebesar itu.”
Ujian Seribu Dolar
Senan dan kawan-kawannya di Qawfel memiliki metode sendiri dalam memilih relawan dan orang-orang yang menjadi pendukung berbagai proyek mereka. Salah satu caranya adalah dengan memberi mereka tes. “Kami beri mereka dana sebanyak, misalnya, 1000 dolar dan kami beri tugas untuk dikerjakan dalam waktu yang tertentu,” tutur Senan. “Kalau mereka berhasil memenuhi deadline, dan kerja mereka bagus, maka kami pertahankan kehadiran mereka dalam organisasi mereka. Kalau tidak, kami putuskan hubungan dengan mereka.”
Bukan itu saja, Senan juga mengikuti metode “pengawasan berkelanjutan” sebagaimana pernah dilakukan oleh Khalifah ‘Umar bin Al-Khattab. Dahulu, Khalifah ‘Umar selalu mengirim ‘uyun alias pengawas atau bahkan “mata-mata” untuk mengawasi para hakim dan gubernur yang ditunjuknya. Bahkan komandan perang dan Sahabat senior seperti Khalid bin Walid pun pernah merasakan kerasnya pengawasan ‘Umar bin Al-Khattab – Walid dipaksa menjelaskan dari mana dia peroleh uang dalam jumlah besar yang dipakainya untuk membayar seorang penyair untuk membuat syair tentang dirinya.
Nah, Senan menempatkan ‘uyun alias “mata-mata” di tempat-tempat proyek mereka berlangsung. Kata Senan, dia dan teman-temannya melakukan cara ini untuk memastikan bahwa orang-orang yang mereka pilih bersikap amanah. “Yang kami perhatikan bukan apakah seseorang yang kami pilih sebagai pekerja proyek kami adalah yang berjenggot panjang, tapi apakah dia melaksanakan Al-Quran dan Sunnah,” tukas Senan.
Bukan itu saja, Senan dan kawan-kawannya juga mengunjungi setiap negara tempat proyek mereka, dan duduk bersama orang-orang yang bekerja untuk dan menjadi target proyek mereka. “Kami perhatikan apa yang jadi kebutuhan mereka dan kami pilih apa-apa yang mereka pilih (sebagai fokus proyek mereka).”
Membangun Kampung
Termasuk dari upaya memilih apa yang dipilih oleh target proyek Qawfel adalah dengan membangun sebuah kampung di sebuah kawasan bernama Al-Hudaydah.
“Sembilan puluh persen orang di Yaman bisa diklasifikasikan miskin,” kata Senan. “Di banyak tempat kami bekerja seperti sekedar menambal baju yang robek atau bolong. Di Yaman, robek dan bolongnya terlalu banyak sehingga tidak mudah bagi kami untuk memilih.”
Qawfel lalu memutuskan untuk membuat sebuah kampung – yang diberi nama Uways al-Qarni, seorang lelaki di masa Khulafaur Rasyidin yang dikenal sangat memuliakan orangtuanya.
“Kami sedang membangun sekolah, dari Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas. Kami buat 50 buah rumah. Kami buat pasar dan pusat olahraga,” cerita Senan. “Tapi kami buat persyaratan untuk mereka yang akan tinggal di kampung ini – yang pertama adalah mereka tidak boleh pakai ‘narkoba.’
Senan menyebut sejenis tanaman yang memiliki efek adiktif, seperti ganja, yang biasa dikonsumsi oleh sejumlah orang di Yaman. “Mereka beralasan itu hanya tanaman, tapi tidak, bagi kami itu narkoba. Kami kirim ‘uyun ke proyek kami di Yaman itu. Kalau ada yang menggunakan benda itu, mereka harus keluar dari kampung yang tengah kami bangun itu.”
Rumah-rumah yang dibangun itu diutamakan untuk para janda miskin dan statusnya adalah pinjaman. “Kalau suatu saat mereka mampu berdiri sendiri dan bisa membeli rumah lain, mereka boleh meninggalkan kampung.”
Puluhan Tahun Tanpa Gula
Salah satu kerja Qawfel di Yordan adalah menyantuni para pengungsi Palestina yang terusir dari tanah kelahiran dan tanah milik mereka pada tahun 1948 ketika negara Zionis Israel dideklarasikan. Sekarang ini, menurut Senan, ada sekitar 15 ribu pengungsi Palestina yang masih saja hidup terlunta-lunta di salah satu sudut padang-padang pasir Yordan, di berbagai kemah dan pondok-pondok sementara.
“Kalau musim dingin, mereka menderita kedinginan di bawah hujan salju. Kalau musim panas, mereka harus menghadapi bahaya banyaknya ular yang menyelinap masuk ke kemah-kemah mereka,” cerita Senan.
Tak ada sumber air bersih. Tanah yang mereka tempati adalah milik orang-orang Kristen dan mereka harus membayar sewa. Makanan tak tentu. Penyakit kulit menyebar dengan mudahnya di antara mereka. “Belakangan saya tahu bahwa penyakit kulit yang mereka alami adalah penyakit yang menjangkiti monyet,” cerita Senan.
“Pemerintah Yordan mengaku tidak tahu-menahu kehadiran mereka,” tambah Senan.
Yang dilakukan Senan dan kawan-kawannya adalah membangun 15 rumah pertama untuk para janda. “Kami bawakan selimut. Kami sediakan makanan untuk berbuka puasa dan pada Hari Raya.”
Ada kenangan yang tak akan dilupakan Senan. Pada Ramadhan kemarin, Senan dan kawan-kawannya datang membawa berjenis-jenis makanan termasuk nasi dan daging. “Sudah begitu lama mereka tidak makan dengan baik. Saya menumpahkan (minuman) Pepsi dan saya menyaksikan betapa seorang bapak tua lalu berusaha menjilat tumpahan Pepsi itu dari tanah!”
Senan dan kawan-kawannya juga membawa halawiyat alias manisan khas negeri-negeri Arab. Seorang nenek dari Palestina mencicipinya, lalu dengan mata berkaca-kaca berujar, “Terakhir kali saya merasakan manisan seperti ini adalah ketika saya berumur 6 tahun (sebelum terusir dari Palestina).”
Di tempat yang sama itu Senan dan kawan-kawannya juga mendirikan sebuah klinik pengobatan mata dan mengatur program qardan hasanah – yakni menyediakan sejumlah uang untuk modal usaha yang bergulir dari orang per orang. “Kalau seorang penerima sudah mampu mandiri, maka dia harus mengembalikan modal itu agar bisa dipakai oleh orang lain,” cerita Senan.
Terpaksa Mendaftar
Dana yang dikumpulkan oleh Senan dan kawan-kawannya terutama berasal dari Kuwait, Jerman, Bahrain, dan Saudi Arabia. Pada awalnya Senan dan kawan-kawannya memilih untuk sama sekali tidak mendaftarkan diri sebagai LSM kepada pemerintah Kuwait karena ingin mempertahankan kemandirian mereka. Tetapi semakin lama, dengan semakin besarnya organisasi mereka, Senan tidak lagi bisa menolak keharusan mendaftarkan diri dan mendapat dukungan pemerintah Kuwait.
Karena wilayah kerja mereka yang semakin meluas, maka mereka mulai merasakan kesulitan bila hendak, misalnya, mengirimkan dana untuk proyek-proyek kemanusiaan di berbagai negara. Pihak-pihak tertentu seperti Amerika Serikat dan di Inggris berusaha mengikuti pergerakan dana yang Senan dan kawan-kawannya kumpulkan.
Kumpul di Surga
Senan menggambarkan suaminya, Salah, 45 tahun, sebagai seorang suami yang sangat mendukung perjuangan istrinya. “Ketika saya memutuskan untuk ikut dalam kafilah ini, suami saya lalu mengumpulkan kawan-kawannya dan meminta mereka untuk ikut mendukung,” kata Senan. “Bukan hanya itu. Salah dan kawan-kawannya kemudian bahkan me-lobby pemerintah sehingga akhirnya pemerintah Kuwait mendukung penuh proyek kafilah ini.”
Pada awalnya, ibunda Senan berkeberatan melepas Senan mengikuti kafilah yang mungkin akan menghadang bahaya ini, tetapi kemudian ridha karena Salah pun ikut dalam kafilah. “Anak-anak saya bilang, ‘Ibu, kami bangga pada Ibu’,” tutur Senan.
Senan menggeleng-gelengkan kepalanya seakan takjub ketika diminta bercerita tentang suaminya. “Alhamdulillah, luar biasa banyaknya karuniaNya kepada saya,” tutur Senan. “Saya hanya berharap bahwa saya akan bisa berkumpul juga dengan suami saya di surga nanti.” [Santi Soekanto, dzikru, Surya Fachrizal/hidayatullah.com]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar