Selasa, 13 Juli 2010

TANGGA MENUJU MAGFIRAH

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa


134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan


Dengan berbagai cobaan, tidak sedikit manusia yang terhempas dan terseret hembusan kenikamatan sementara dan akhirnya terjerumus didalam pelukan syaitan laknatullah. Memang, setiap diri kita pernah merasakan terjatuh ke dalam kotoran dan lumuran dosa. Namun Allah selalu membuka lebar-lebar pintu ampunan bagi hamba-Nya yang sadar dan mau kembali ke pangkuan-Nya. Firman Allah Swt. : “ Katakanlah wahai hambaKu yang telah berlebih-lebihan merugikan diri sendiri. Janganlah berputus asa dari Rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Swt megampuni segala dosa, karena Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ (QS. Az-Zumar : 53) Rasulullah Saw bersabda : “Setiap anak cucu Adam pernah melakukan dosa kesalahan dan sebaik-baiknya manusia yang bersalah ialah mereka yang bertaubat” (HR. Tirmidzi).
Dalam keadaan seperti ini, selayaknua manusia berusaha meraih magfirah (ampunan) serta tetap melaksanakan taubat agar tidak lagi mengulangi perbuatan maksiat serta selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Makna Taubat dan Kedudukan Magfirah

Jika melihat dari makna lafzhiyah, taubat bararti Roja’a (kembali). Maksudnya kembali dari maksiat kepada taat, dari sifat tercela kepada sifat terpuji. Makna yang lebih mendekati pengertian sebenarnya ialah kembali dari yang asalnya jauh dari magfirah Allah Swt menjadi lebih dekat kepadNya, demikian menurut Al-Ijiy. Sedangkan menurut Al-Qurtubi mengutip pendapat para muhaqqiqien: “ Taubat ialah menjauhi perbuatan dosa yang biasanya mendahuimu secara sungguh-sungguh atau sesuai kemampuannya “.
Adapun magfirah berasal dari kata Ghafara yang artinya menutup atau memperbaiki. Ampunan Allah disebut maghfirah karena dia menutup segala dosa dan kesalahannya. Keterkaitan anatara taubat dan maghfirah sangatlah dekat. Kalimat Al-Qur’an yang berasal dari Ghafarah cukup banyak, hal ini menjadi isyarat akan sangat pentingnya masalah maghfirah dalam kehidupan kaum muslimin. Dalam banyak ayat dan hadits pun kedua istilah ini sering bergandengan, seperti dalam surat Hud Ayat 52 yang mengatakan : “ Ya Kaum_Ku mohon ampunlah kepada Robb kalian kemudian bertaubatlah kepada Nya”.
Kedudukan taubat dan magfirah tinggi nilainya sebagai amaliyah yang tidak boleh terlewatkan oleh setiap muslim. Rasulullah Saw bersabda: “ Wallahi, sungguh aku beristigfar kepada Allah dan bertaubat kepadaNya tidak kurang 70 (tujuh puluh) kali dalam sujud “. (HR. Bukhori).
Hadits diatas menunjukkan bagaimana perhatian Rasulullah Saw dalam melaksanakan taubat dan istighfar. Hal ini menunjukkan bahwa bertaubat dan istighfar bukan hanya sebagai amal manusia yang telah berbuat dosa dan kesalahan tetapi juga diwajibkan bagi setiap muslim sebagai amal sholeh. Allah Swt menyatakan dalam firmanNya : “ …..dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (Qs An-Nur : 31 ).
Ayat ini merupakan perintah akan wajibnya bertaubat. Bahkan ayat lain menyatakan : “ Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka adalah orang-orang yang dzolim”. (Qs Al-Hujurat : 11)
Maka amaliyah taubat dan istighfar (mohon maghfirah) tidak saja berfungsi sebagai penyuci diri dari kedzoliman tetapi juga merupakan tanda dan bukti keimanan seseorang.

Bersegera Menuju Maghfirah

Al-Musara’ah ilal maghfirah (bersegeralah menuju ampunan) adalah perintah Allah kepada orang-orang beriman. Menyegerakan amal shalih dan tidak menunda-nunda walau beberapa waktu sangatlah dianjurkan. Banyak ayat yang menyatakan, hal itu dipertegas lagi oleh beberapa hadits diantaranya, apa yang diungkapkan oleh Ibnu Umar ra : “Apabila kamu berada diwaktu sore jangan tunggu waktu pagi dan bila kamu berada diwatu pagi maka jangan tunggu waktu sore, jadikanlah waktu sehatmu sebelum waktu sakit, dan waktu hidup sebelum matimu”. (HR. Bukhori)
Hadits di atas sungguh membuat kita harus lebih memperhatikan masalah waktu dalam kebaikan dan menjaga amalan.
Maka untuk mencapai maghfirah Allah yang luas tadi maka dijelaskan oleh lanjutan ayat yang sekaligus juga merupakan sifat dan karakteristik  orang yang bertaqwa :
Pertama, orang-orang yang menafkahkan hartanya baik ketika lapang maupun sempit. Infaq atau Shadaqoh merupakan bukti kebenaran Taqwa yang terhujam kuat dalam hati seorang muslim. Yang dinilai bukanlah  jumlah harta atau benda  yang diinfakkan tetapi landasan yang menjadi motivasi untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Ayat tentang infaq ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yang mengharamkan riba. Artinya infaq merupakan sebuah alternative menghentikan riba. Sebagaimana perbandingan yang difirman oleh Allah : “ dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat, yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah maka itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya “. (Qs. Ar-Rum :39).
Keutamaan infaq dan Shadaqoh cukup banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an beberapa hadits juga menjelaskan: “ Takutlah kalian terhadap neraka, sekalipun hanya dengan sepotong buah kurma, dan berikanlah kepada orang-orang yang sekalipun itu adalah dengki yang dibakar”.
Makna shadaqoh secara luas dipapaprkan dalam sabda Rasulullah Saw: “ setiap muslim atasnya (harus) shadaqoh. Mereka (sahabat) bertanya : “ Ya Nabiyallah, bagaimana jika tidak punya?, lalu nabi menjawab : “ bekerjalah dengan kemampuannya bagi dirinya dan ia dapat bershadaqoh, mereka berkata lagi ? bagaimana jika tidak mampu?, “ sandanya : “ dia (shadaqoh dengan menolong orang yang membutuhkan dan yang kesusahan”. Mereka bertanya lagi: “ bagaimana jika tidak mampu?”, sabdanya : “ kerjakanlah yang baik dan cegahlah dirinya dari perbuatan jahat. Maka sesungguhnya itu adalah shadaqoh baginya”.(HR. Bukhori).
Shadaqoh adalah syarat turunnya ampunan Allah. Karena shadaqoh menjadi penyuci harta  benda yang kita gunakan. Sedangkan bersihnya harta kekayaan merupakan syarat terkabulnya do’a kita

Kedua, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain serta berbuat baik terhadap sesamanya.
Marah adalah sifat yang manusiawi. Namun jika nafsu amarah yang bergejolak itu tidak dapat terkendali tentu akan merugikan diri sendiri. Maka Rasulullah Saw menyatakan : “ orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan diri ketika marah”.
Orang yang selalu emmosi ketika sedang menghadapi masalah akan menjerumuskan dirinya pada penyesalan yang tiada akhir. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Haritsah Bin Abdurahman, bahwa seorang dari sahabat datang kepada Rasulullah Saw dan meminta nasehat, maka beliau bersabda : “ Janganlah marah “. Maka berpikirlah aku (kata orang itu tentang sabda Rasulullah Saw tersebut dan ternyata sifat marah itu menghimpun segala kejahatan.
Maka jika kita mencapai titik kemarahan yang sangat, Rasulullah Saw menganjurkan agar cepat-cepat mengambil air wudhu, ini langkah untuk mengendalikan kemarahan tadi. Rasulullah Saw  bersabda “ Sesungguhnya sifat marah itu dari syaitan dan syaitan itu diciptkan dari api, dan api hanya dapat dipadamkan dengan air, maka jika seseorang marah hendaklah segera berwudhu”. (HR. Ahmad dari Urwah Bin Muhammad).
Demikianlah utamanya orang yang mampu mengendalikan amarahnya sehngga Rasulullah Saw bersabda: barang siapa menahan rasa marahnya sedang ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan rasa ketenangan dan keimanan (HR. Abu Dawud).
Selanjutnya tanda orang taqwa yang mendapat maghfirah Allah adalah orang yang dapat memaafkan kesalahan orang lain seberapapun kesalahan mereka. Sangat berat menjadiorang pemaaf. Karenanya Rasulullah Saw amat memuji orang yang mampu memaafkan disaat mereka berkuasa membalas dendam. Sabdanya : “ Barang siapa suka rumahnya dalam surga didirikan dan diangkat derajatnya , hendaklah ia memaafkan orang yang berbuat aniyaya terhadap dirinya, memberi kepada orang miskin dan menyambung silaturahmi dengan orang yang memutuskannya”. (HR. Tabrani)
Kemudian Allah sangat mencintai orang yang memaafkannya, menyantuni hambanya yang menderita sebagai tanda syukur terhadapNya. Imam Baihaqi mengetengahkan sebuah riwayat bahwa ada seorang hamba sahaya wanita milik Ali Bin Husen ra. Ketika hamba sahaya mengucurkan air wudhu padanya tiba-tiba kendi airnya terlepas dan melukai Ali. Alangkah marahnya dia dan hendak memukul sahaya. Namun sahaya tadi berkata: sungguh Allah berfirman “ ialah orang yang menahan amarahnya” sadarlah Ali dan berkata : aku telah menahan amarahku. Sang sahaya berkata : dan orang-orang yang suka memaafkan orang lain”. Beliau menyahut Allah telah memaafkanmu. Sahaya itu berkata lagi “ sesunggunya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. Ali pun menjawab : pergilah engkau , mulai sekarang aku memerdekakanmu karena Allah”.
Perubahan sikap seorang ulama salaf ini sungguh mengagumkan. Inilah sebuah ilustrasi Musara’ah ila maghfirah (bersegera menuju ampunan Allah).

Ketiga, orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat akan Allah lalu memohon ampunan akan dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang  dapat mengampuni dosa selain Allah?. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.
Tanda ketaqwaan terakhir selalu menjaga kesucian batinnya dengan tidak segan bertaubat jika melakukan kesalahan dan dosa. Karena baimanapun besarnya dosa, jika dengan ikhlas kita bertaubat, pasti Allah maha pengampun, asalkan ia tidak mengulangi perbuatan kejinya. Rasulullah Saw bersabda : “Tidak ada dosa besar yang disertai istighfar dan tidak ada dosa kecil yang selalu dibarengi dengan terus menerus”.  Wallahu Alam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha