Jumat, 08 Oktober 2010

Takut Belanda!

Jakarta - Sebetulnya saya sudah berusaha untuk menahan diri tidak menulis dan terlibat dalam polemik pembatalan kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda beberapa hari lalu. Sudah banyak para ahli dan pakar yang berkomentar. Pro dan kontra telah terjadi atas keputusan yang diambil oleh Presiden tersebut.

Apakah pembatalan itu sesungguhnya layak atau tidak? Politisasi dari pembatalan tersebut beberapa hari ini meramaikan media. Sesungguhnya Presiden akan berangkat atau tidak berangkat atau membatalkan kunjungan ke Belanda adalah hak Presiden.

Tetapi, karena Presiden adalah simbol negara dan bangsa ini maka keputusan yang diambil tersebut menuai reaksi dari berbagai macam kalangan.

Rupa-rupanya idealisme saya untuk ikut berpolemik terlalu kuat mendorong saya untuk menulis dan berpendapat tentang pembatalan kunjungan Presiden tersebut. Setelah saya cermati konferensi pers yang dilakukan oleh Presiden ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan.

Pertama, adalah menyangkut harga diri bangsa. Yang kedua, pada saat dilakukan kunjungan bersamaan digelarnya pengadilan dimana yang mengajukan gugatan adalah organisasi yang mengaku bernama Republik Maluku Selatan (RMS). Hal tersebut yang mengusik Presiden untuk membatalkan kunjungan kenegaraan tersebut.

Terlepas dari polemik yang telah terjadi logika berpikir saya menyikapi dua hal tersebut. Yang pertama harga diri bangsa. Apakah bangsa atau negara ini masih mempunyai harga diri?

Kalau bangsa ini masih mempunyai harga diri maka bangsa ini tidak akan mengekspor batur dan buruh untuk menjadi budak di negara asing. Sesungguhnya harga diri bangsa ini sudah tergadai sejak lama. Bukankah negara ini sesungguhnya melegalkan perdagangan manusia?

Kalau bangsa ini masih mempunyai harga diri maka tidak akan pernah ada dan tidak akan pernah berdiri di republik ini suatu lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena, ternyata harga diri bangsa ini juga sudah tergadai oleh para koruptor di setiap lini instansi di republik ini.

Kami sudah tidak punya harga diri. Mengapa mempermasalahkan harga diri untuk tidak pergi karena itu adalah kunjungan kenegaraan yang akan mempererat dan mempersatukan dua negara yang mempunyai catatan historis yang panjang.

Yang kedua, siapakah sesungguhnya organisasi yang mengaku RMS tersebut? Apakah hebatnya dia? Sehingga berani mengajukan gugatan ke pengadilan dan membuat Presiden saya gagal berkunjung ke Belanda? Logika berpikir coro bodon saya menjadi terbalik.

Kalau memang Republik Indonesia tidak mengakui RMS mengapa Presiden tidak berkenan berangkat? Des, dengan demikian logika terbalik saya mengatakan, apakah sesungguhnya RMS tersebut diakui? Sehingga, menggentarkan Presiden dari suatu bangsa yang besar ini.

Menurut hemat saya, proses yang terjadi di pengadilan Belanda atas gugatan tersebut seharusnya diabaikan saja dan Presiden tetap berangkat. Toh, kalau sampai Presiden Republik Indonesia ditangkap di Belanda, maka kami rakyatmu yang lebih dari dua ratus juta akan membelamu dan kami akan berperang melawan Belanda.    

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Kunjungan kenegaraan tersebut sudah dibatalkan (atau mungkin ditunda). Ada satu hal lagi yang mengganjal dan menjadi pertanyaan saya bukankah Presiden mempunyai hak imunitas? Dan, bukankan itu kunjungan kenegaraan atas undangan Ratu Belanda sehingga tentunya Presiden akan mendapat proteksi dari segala macam hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan lainnya.

Saya berharap Presiden waktu itu berangkat dan ketika turun di Belanda beliau mengatakan "ini dadaku! Mana dadamu?" Tetapi, ternyata itu tidak terjadi. Ternyata kita masih takut Belanda!(sumber: detiknews.com)

Andang Andiwilapa
Setia Budi Jakarta
andiwilapa@yahoo.co.id
+6281272330333

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha