BEKASI (voa-islam.com) – Banyak kejadian yang luput dari pemberitaan media massa dalam insiden HKBP Ciketing, karena mayoritas media memfokuskan pemberitaan pada insiden penusukan jemaat HKBP. Akibatnya, belum banyak yang tahu bahwa sebelum pecah insiden Ciketing, sempat terjadi pemukulan jemaat HKBP terhadap wartawan.
Insiden HKBP Ciketing pada Minggu (12/9/2010) itu terjadi dua kali. Pada insiden pertama, jemaat HKBP mengeroyok seorang wartawan yang diteriaki maling. Tak berselang lama, disusul dengan insiden kedua, bentrokan jemaat HKBP dengan belasan remaja Muslim.
Insiden pemukulan jemaat HKBP terhadap wartawan itu diungkapkan oleh Edi Suryo Purnomo, seorang warga Mustika Jaya Ciketing yang menjadi saksi dalam sidang kedua dengan terdakwa KH Murhali Barda. Dalam kesaksiannya, Edi menyatakan dirinya melihat seorang wartawan dikeroyok oleh jemaat HKBP. Namun Edi tidak tahu nama dan media wartawan yang dikeroyok itu. Edi tidak sempat membaca nama wartawan dan media yang tertera dalam kartu pers sang wartawan.
Insiden tersebut, papar Edi, bermula ketika motor seorang wartawan ditendang, lalu diteriaki maling oleh seorang perempuan dari jemaat HKBP.
”Saya mendengar wartawan itu diteriaki maling oleh pihak HKBP. Wartawan itu lalu dikeroyok di kebun. Saya sudah meleraikan, tapi wartawan itu ditarik lagi untuk digebuki,” ungkap Edi dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Bekasi, Senin (3/1/2011).
....Saya mendengar wartawan itu diteriaki maling oleh pihak HKBP. Wartawan itu lalu dikeroyok di kebun. Saya sudah meleraikan, tapi wartawan itu ditarik lagi untuk digebuki, ungkap Edi, warga Ciketing....
Sebagai warga Ciketing yang tinggal selama delapan tahun, Edi selalu melihat konvoi jemaat HKBP melintas di depan rumahnya setiap hari Minggu dengan berjalan kaki. Yang ia tahu, HKBP hendak melakukan ibadah di Ciketing, tepatnya di sebuah kebun kosong. Untuk menuju ke lokasi, mereka berjalan kaki sejauh satu kilometer.
”Sebelum ibadah di kebun kosong, HKBP sempat beribadah di sebuah rumah di wilayah PTI 1 yang dijadikan tempat ibadah. Namun setelah ada larangan, karena dinilai ilegal, mereka pindah ke kebun kosong di Ciketing. Di lokasi itu ada beberapa rumah penduduk dan bekas bengkel,” katanya.
Setelah insiden pengeroyokan terhadap wartawan yang dilakukan oleh jemaat HKBP, Edi juga menyaksikan secara langsung insiden untuk kedua kalinya. Kali ini melibatkan jemaat HKBP dan tiga orang pemuda yang mengenakan peci dan bersorban putih. Awalnya mereka adu mulut, memperkarakan, kenapa orang yang naik sepeda motor ditendang. Dari situ kemudian berkembang menjadi adu jotos.
”Saya melihat tiga orang berpeci putih melakukan pemukulan. Namun, karena kalah banyak, tiga pemuda itu lari untuk menghindari kejaran jemaat HKBP yang jumlahnya lebih dari 20 orang. Saya sendiri tidak kenal siapa yang pukul,” jelas Edy.
Dalam waktu yang sama, Edy kembali melihat ada pemukulan terhadap seorang perempuan (Asia Lumban Toruan) dalam posisi memboncengi sepeda motor bersama dua orang lainnya (G. Mahaluby dan Pendeta Luspida Simanjuntak).
”Orang itu dipukul dengan bambu yang ada benderanya dalam posisi digulung dari arah belakang, tapi yang terluka pelipis kirinya. Saya melihat kejadian itu kurang dari 5 km. Dalam keadaan dipukul, motor yang ditumpangi tersebut tetap jalan,” tukas Edi.
Kesaksian ketiga menghadirkan seorang polisi bernama Briptu G. Mahaluby yang saat itu mendapat tugas menjaga keamanan terhadap jemaat HKBP yang sedang melakukan kebaktian di Ciketing. Dalam kesaksiannya, polisi muda itu menyatakan melihat seseorang tergeletak di jalan yang mengerang kesakitan. Ia tidak melihat siapa yang menusuk. Ia hanya melihat keluar darah di sekitar perut sebelah kiri. Begitu tahu terluka, ia segera memberi pertolongan dengan membawa korban ke RS.
”Saat itu, yang pertama kali mengangkat korban adalah rekan-rekan dari jemaat HKBP. Saya mengendarai motor, dalam posisi korban di tengah dan Pendeta Luspida Simanjuntak di bagian belakang.”
Ketika ditanya, siapa yang melakukan penusukan, saksi polisi muda itu tidak tahu menahu. Termasuk bambu yang dijadikan alat pukul. Yang ia tahu, pelaku yang memukul posisinya berada di sebelah kiri. ”Saya mendengar Pendeta Luspida berteriak: Aduh saya dipukul sambil menangis,” jelasnya.
Saat ditemui wartawan, kuasa hukum Murhali Barda, Munarman SH mengatakan, kesaksian yang dihadirkan dalam sidang hari ini tidak ada yang memberatkan. Karena sebagian besar saksi tidak mengetahui dengan jelas ihwal penusukan itu. Ditendang motor, pukul memukul bukan pengeroyokan, 3 orang dihadang, tidak ada penyerbuan.
....Kejadian itu bermula dari pengeroyokan terhadap wartawan oleh jemaat HKBP. Ini bukan delik aduan. Tapi polisi bisa saja melakukan pelaporan atas pengeroyokan itu....
”Kejadian itu bermula dari pengeroyokan terhadap wartawan oleh jemaat HKBP. Ini bukan delik aduan. Tapi polisi bisa saja melakukan pelaporan atas pengeroyokan itu. Atau bisa saja teman-teman wartawan melaporkan insiden pengeroyokan itu. Jika ada pengaduan yang mengeroyok wartawan itu bisa saja diusut. Dalam kesaksian juga disebutkan, terjadi pengejaran terhadap 3 orang pemuda. Jadi jelas, tidak ada yang menyerbu dari kalangan umat Islam,” kata Munarman.
Sementara itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Prionanta SH mengatakan, sebagian besar saksi yang dihadirkan tidak tahu, tapi mereka melihat ada kerumunan. Dari kesaksian itu nanti akan dihubungkan dengan terdakwa yang satu dengan lainnya. [taz/desastian]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar