Jumat, 04 Juni 2010

''Apa yang Diambil dengan Paksa, Harus Direbut Kembali dengan Paksa''

Peristiwa serangan pasukan komando Zionis Israel ke rombongan kapal "Freedom Flotilla" seharus sudah cukup menjadi bukti bahwa Israel bukan pihak yang memahami bahasa "diplomasi", tapi hanya mengerti bahasa "kekerasan". Oleh sebab itu, dalam upaya membebaskan Palestina dari penjajahan Zionis Israel, upaya diplomasi sebenarnya tidak lagi efektif dan tidak ada alternatif lain untuk melawan rezim Zionis Israel, selain dengan perlawanan, baik bersenjata maupun tidak bersenjata.
Hal tersebut ditegaskan oleh DR Fathi Abdel Kader dari Al-Quds Foundation menjawab pertanyaan Eramuslim, saat memberikan pemaparannya bertajuk "Proyek-Proyek Zionisme" dalam acara "Al-Aqsa and Palestine, Problematic and Future Perspective" di Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Rabu (2/6).
Menurutnya, cara diplomasi tidak bisa diandalkan untuk mengakhiri penjajahan Israel di Palestina. "Apa yang diambil dengan paksa oleh Israel (wilayah Palestina) harus direbut kembali dengan paksa, dan caranya bukan dengan jalur diplomasi, tapi perlawanan, jihad," tukas DR. Abdel Kader yang asal Yaman itu.
Ia mengatakan, masalah Palestina adalah salah satu masalah yang penting dari sekian banyak masalah yang dihadapi kaum Muslimin. Sayangnya, umat Islam belum memberikan perhatian penuh terhadap persoalan Palestina, sehingga sulit mengakhiri penjajahan rezim Zionis Israel atas tanah dan rakyat Palestina.
"Ada pandangan bahwa, jika Palestina berhasil dikuasai oleh umat Islam, maka umat Islam kuat. Tapi jika Palestina masih berada ditangan musuh Islam, yaitu Israel, berarti umat Islam lemah," ujar DR. Abdel Kader.
Pandangan ini, menurutnya, seharusnya menjadi pemicu semangat kaum Muslimin untuk membela Palestina. Tapi faktanya tidak demikian. Dr. Abdel Kader mengakui bahwa lemahnya persatuan umat Islam menjadi penyebab gagalnya setiap perlawanan kaum Muslimin terhadap kaum Yahudi yang menzalimi orang-orang Islam, utamanya dalam masalah Palestina.
"Umat Islam belum bersatu, sehingga sulit bagi kaum Muslimin untuk melihat kelemahan-kelemahan Yahudi. Umat Islam harus bersatu dan memiliki sudut pandang serta strategi yang jelas jika ingin membebaskan Palestina, sekaligus Masjid Al-Aqsa dari cengkeraman Yahudi Israel," tandasnya.
Itulah sebabnya, DR. Abdel Kader tidak sepakat jika masalah Palestina hanya dibebankan pada persatuan negara-negara Arab saja. Ia menilai salah besar pandangan yang menuntut negara-negara Arab untuk bersatu agar Israel berhasil dikalahkan. Menurutnya, semua individu umat Islam harus melakukan sesuatu dalam rangka melawan penindasan dan penjajahan Israel di Palestina, meski hanya sekedar memboikot produk-produk Israel.
Dalam perspektif yang lebih sempit, DR Abdel Kader menyebut pentingnya perubahan sikap pemerintah Mesir, sebagai negara tetangga terdekat Palestina, bagi keberhasilan melawan penjajahan Israel. Seperti diketahui, rezim Mesir yang berkuasa saat ini lebih berpihak pada kepentingan Israel dibandingkan kepentingan rakyat Palestina.
Ditanya soal peran Turki yang belakangan ini begitu menonjol dalam pembelaan terhadap Palestina. DR. Abdel Kader mengatakan, peran Turki membela Palestina sejak Erdogan (Recep Tayyeb Erdogan, Perdana Menteri Turki) berkuasa patut dihargai. Tapi pembelaan itu, ujarnya, lebih pada faktor agama karena dari sisi politik, Turki menjalin hubungan erat dengan Israel.
"Dibandingkan Turki, posisi dan perubahan sikap rezim di Mesir lebih krusial dalam upaya membantu pembebasan Palestina dari penjajahan Israel," tukas DR. Abdel Kader. (ln)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha