addakwah.com ----MUSLIMAH yang cerdas selalu menyadari arti pentingnya ilmu. Dia tidak akan pernah lupa untuk memberikan perhatian kepada akalnya, sebagaimana dia memberikan perhatian kepada tubuhnya. Dengan demikian, seperti halnya laki-laki, muslimah juga dibebani kewajiban untuk menuntut ilmu yang bermanfaat bagi agama dan dunianya.
Ketika membaca firman Allah berbunyi, “Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Thaha: 114), dan sabda Rasulullah SAW, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah,” seorang muslimah cerdas akan mengerti bahwa petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah meliputi laki-laki dan juga wanita.
Sejak awal kemunculan Islam, segenap wanita beriman telah menyadari pentingnya nilai keilmuan. Para wanita Anshar ketika itu berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, berikanlah kesempatan satu hari saja agar kami dapat belajar darimu, agar kami tidak kalah dengan kaum laki-laki.” Beliau lantas berkata, “Baiklah, tempat belajar kalian di rumah si Fulan.” Kemudian beliau pun datang ke rumah tersebut, lalu memberikan nasihat, mengingatkan dan mengajari mereka. (HR. Al-Bukhari)
Dengan senang hati para wanita muslimah menuntut ilmu. Mereka tidak malu-malu untuk bertanya mengenai hukum-hukum yang berkenaan dengan agamanya. Ini mengingat, mereka menanyakan tentang kebenaran, dan sesungguhnya Allah tidak pernah malu terhadap kebenaran. Begitu banyak teks-teks yang menggambarkan keberanian wanita muslimah, kematangan kepribadiannya, serta kecemerlangan otaknya.
…Dengan senang hati para wanita muslimah menuntut ilmu. Mereka tidak malu-malu untuk bertanya mengenai hukum-hukum yang berkenaan dengan agamanya…
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Asma’ binti Yazid bin As-Sakan Al-Anshariyah pernah bertanya kepada Nabi Muhammad mengenai mandi dari haid. Maka beliau menjawab, “Hendaklah salah seorang di antara kalian menyediakan air yang bercampur dengan daun sidr, lalu bersucilah dengan sebaik-baiknya. Setelah itu tuangkanlah air dan gunakanlah secarik kain atau kapas yang telah diberi wewangian, untuk selanjutnya bersihkanlah darah haid itu dengannya.”
Selain itu, Asma’ binti Yazid juga bertanya tentang mandi junub, maka Rasulullah menjawab, “Ambil air dan bersucilah dengannya secara baik. Kemudian guyurkanlah air di atas kepalamu dan gosok-gosoklah kulit dan rambutmu hingga rata. Setelah itu tuangkanlah air ke seluruh tubuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Lalu Ummu Sulaim binti Milhan, ibunda Anas bin Malik, pernah datang kepada Rasulullah, dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, maka aku pun tidak malu untuk bertanya, “Apakah wanita wajib mandi apabila bermimpi?” Rasulullah menjawab, “Ya, apabila dia melihat adanya air mani.”
Demikianlah, sehingga Ummul Mukminin Aisyah mengomentari, “Sebaik-baiknya wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak malu-malu untuk bertanya mempelajari dan memahami agamanya.” Pada masa generasi sahabat, kaum wanita tidak segan-segan untuk menanyakan langsung hukum-hukum agama kepada Nabi Muhammad tentang masalah-masalah yang mereka alami. Hal ini mereka lakukan apabila mereka merasa ragu terhadap jawaban atau fatwa yang diberikan orang lain, atau apabila mereka merasa ragu terhadap jawaban atau fatwa yang diberikan kepada selain Rasulullah. Tindakan demikian merefleksikan sikap wanita cerdas yang benar-benar sadar akan ajaran agamanya.
Hal di atas juga benar-benar direfleksikan seorang sahabat wanita bernama Subai’ah binti Harits Al-Aslamiyah, saat dia hidup bersama Said bin Khaulah. Said harus syahid di Perang Badar, dan meninggalkan Subai’ah yang tengah hamil. Sepeninggal Said, Subai’ah pun melahirkan. Ketika telah suci dari nifasnya, Subai’ah berdandan untuk menyambut para peminang. Maka datanglah Abu Sanabil bin Ba’kak (laki-laki dari Abud-Dar) seraya berkata kepada Subai’ah, “Aku melihatmu berdandan untuk menyambut kedatangan seorang peminang, apakah engkau ingin menikah? Demi Allah, engkau tidak boleh menikah sebelum engkau melewati masa iddah, 4 bulan 10 hari.”
Maka Subai’ah pun berkata, “Ketika dia mengatakan hal itu kepadaku, aku pun segera mengemas pakaianku dan bertolak menuju kediaman Rasulullah. Pada saat mendatangi Rasulullah, aku bertanya kepada beliau mengenai hal itu. Maka beliau menjelaskan kepadaku bahwa aku diperbolehkan sejak aku melahirkan, dan memerintahkanku untuk segera menikah jika telah menemukan pasangan yang cocok.”
Upaya Subai’ah untuk mencari tahu tentang hukum syariat, dan kegigihannya dalam menuntut keyakinan telah mendatangkan kebaikan, berkah, dan manfaat, bukan hanya bagi Subai’ah saja, tetapi juga bagi kaum muslimin secara keseluruhan hingga Hari Kiamat kelak. Hadits tentang Subai’ah tadi dijadikan pedoman oleh mayoritas ulama salaf dan khalaf (kontemporer), terutama imam mazhab yang empat. Mereka (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad) berpendapat bahwa iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah melahirkan, meski apabila dia melahirkan setelah ditinggal mati suaminya beberapa saat sebelum jenazah suaminya dimandikan.
Dengan demikian, betapa besarnya kontribusi Subai’ah bagi wawasan hukum syariat. Kesungguhan dan kegigihannya untuk mencari tahu serta menuntut ilmu syariat mampu memberikan secercah cahaya bagi orang-orang yang hidup setelahnya. Islam mewajibkan kaum wanita untuk menuntut ilmu seperti halnya telah diwajibkan kepada kaum laki-laki. Oleh karena itu, tidak heran jika kita menemukan wanita muslimah yang sangat gigih dalam mencari ilmu dan memahami masalah-masalah yang berkenaan dengan syariat Islam.
…Muslimah yang sadar akan petunjuk agamanya akan senantiasa menyadari pentingnya membekali diri dengan ilmu bermanfaat…
Muslimah yang sadar akan petunjuk agamanya akan senantiasa menyadari pentingnya membekali diri dengan ilmu bermanfaat. Keilmuan yang dimiliki sangat bermanfaat bagi kepribadiannya, putra-putrinya, keluarga dan masyarakatnya. Seorang muslimah yang cerdas tidak hanya memahami definisi kecantikan hanya dari aspek fisik an-sich. Seorang muslimah terlihat menawan jika memiliki pengetahuan keislaman yang baik. Apalah gunanya cantik secara fisik tapi buta akan Islam dan tidak bisa membedakan mana yang baik dan benar, mana yang halal dan haram, dan lainnya.
Bagaimanapun kondisi fisiknya, orang yang berilmu akan tetap terlihat memesona. Sehingga, ketika diminta untuk membuat perumpamaan tentang madu, mangkuk, dan rambut oleh Rasulullah, Utsman bin Affan berkata, “Ilmu itu lebih manis dari madu, orang berilmu lebih cantik dari mangkuk yang indah, namun mencari orang berilmu yang mampu mengamalkan ilmunya dengan sempurna, susahnya sama dengan meniti sehelai rambut.” Jadi, akan lebih ideal jika kecantikan fisik dibarengi dengan keilmuan mumpuni. Muslimah cantik dan berilmu luas merupakan dambaan setiap pria shalih. [ganna pryadha/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar