Rabu, 28 Juli 2010

Konsep ESQ Memang Bermasalah! (Bagian 2)

 media dakwah

 Oleh: AM Waskito (Penulis, tinggal di Bandung)
[E] BEBERAPA KRITIK FUNDAMENTAL

Berikut ini saya kemukakan beberapa catatan kritik terhadap konsep ESQ yang dirintis Bapak Ary Ginanjar Agustian. Referensi kritik ini berdasarkan isi buku ESQ New Edition yang diterbitkan oleh Penerbit Arga Jakarta.
Catatan-catatan kritik ini tidak bermaksud untuk menetapkan konsep ESQ sesat, tetapi mendorong agar konsep itu diperbaiki lagi, sesuai ajaran Islam.


(1) Klaim “The ESQ Way 165”

Yang dimaksud ESQ Way adalah konsep: “Ihsan, Rukun Iman, dan Rukun Islam.” Ihsan dihitung 1, Rukun Iman dihitung 6, dan Rukun Islam dihitung 5. Jadi semuanya digabung menjadi simbol “165”. Konsep “165” ini diulang-ulang dalam buku ESQ di banyak tempat.

Ary Ginanjar Agustian dan komunitas ESQ harus paham dengan baik, bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam itu merupakan PILAR AJARAN Islam. Kalau berbicara tentang pilar-pilar ini, harus sangat hati-hati. Tidak boleh sembrono, atau seenaknya sendiri.

Sekedar penjelasan, kalau seseorang mengalami catat dari sisi Rukun Iman, imannya bisa gugur, atau setidaknya bisa rusak iman. Begitu juga, kalau seseorang cacat dari sisi Rukun Islam, keislamannya bisa hancur atau rusak. Oleh karena itu, para ulama sangat hati-hati kalau bicara tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, sebab keduanya merupakan konsep paling sensitive dalam akidah Islam.

Kalau membaca buku ESQ karya Ary Ginanjar itu, Bagian II tentang Mental Building (Membangun Mental), halaman 117-248. Disini dibahas tentang membangun karakter mental, berdasarkan inspirasi Rukun Iman yang 6. Tetapi kalau Anda baca bab yang melebihi 100 halaman itu, disana tidak akan ditemukan pembahasan tentang Rukun Iman. Bahkan istilah “Percaya kepada Allah”, “Percaya kepada Malaikat”, “Percaya kepada Kitab”, dan seterusnya sebagaimana lazimnya pembahasan Rukun Iman, tidak ada. Yang ada justru rukun-rukun keyakinan yang dibuat oleh Ary Ginanjar sendiri.

Lebih menarik lagi, untuk menjelaskan “Rukun Iman” tersebut, Ary Ginanjar sangat banyak mengutip pandangan pakar-pakar Barat. Lha ini, mau membahas Rukun Iman, tetapi referensinya pandangan-pandangan orang non Muslim.

Begitu pula, dalam soal Rukun Islam yang dibahas di Bab III, Personal Strength (Ketangguhan Pribadi), halaman 249-323. Dalam bab ini Ary Ginanjar membatasi pandangan-pandangan pakar Barat, dan lebih mengkaji konsep-konsep ibadah dalam Islam. Tetapi sayangnya, Ary Ginanjar membuat tafsiran-tafsiran sendiri atas ibadah-ibadah seperti Shalat, Zakat, Puasa, Haji itu. Dia membuat tafsiran independen atas ibadah-ibadah ritual dalam Islam.

Para ulama Islam sudah menjelaskan, bahwa masalah ibadah itu sifatnya tauqifiyah (tinggal dilaksanakan saja, tidak ada inovasi di dalamnya). Perkara ibadah sifatnya given (diberikan secara langsung) oleh Syariat. Disini tidak ada inovasi, baik secara amalan, maupun pemikiran. Tidak boleh kita membuat inovasi-inovasi dalam masalah ibadah. Dan Ary Ginanjar justru melakukan hal itu.

Ormas Muhammadiyyah dan Persis, terkenal sangat anti bid’ah. Terutama bid’ah dalam masalah ibadah dan keyakinan. Penafsiran Ary Ginanjar terhadap Rukun Islam itu jelas berbeda dengan tradisi pandangan yang dikembangkan oleh kedua ormas Islam tersebut.  

Disini saya menyimpulkan, klaim ESQ terhadap konsep Ihsan, Rukun Iman, dan Rukun Islam, atau kemudian disimbolisasi dengan icon “165”, hanya sekedar klaim belaka. Tidak ada kenyataan seperti itu dalam ajaran-ajaran ESQ.

(2)  Konsep “Zero Minds Process” (ZMP)

Konsep ini dibahas di buku ESQ, Bagian I. Judulnya, Zero Minds Process, Penjernihan Emosi, halaman 63-116. Dalam konsep ini diterangkan, sebelum seseorang mengkaji buku ESQ, dia harus membersihkan pikiran-pikirannya dari 7 belenggu pemikiran, yaitu: Prasangka, Prinsip-prinsip Hidup, Pengalaman, Kepentingan, Sudut Pandang, Pembanding, dan Literatur. Satu per satu belenggu pemikiran ini dibahas dalam bab I tersebut.

Dalam boks di halaman 99, Ary Ginanjar menulis, “Periksa pikiran Anda terlebih dulu, sebelum menilai segala sesuatu, jangan melihat sesuatu karena pikiran Anda, tetapi lihatlah sesuatu karena apa adanya.” Lalu di boks halaman 103 disebutkan, “Janganlah terbelenggu oleh literature-literatur, berpikirlah dengan merdeka, jadilah yang berhati ‘ummi’.”

Dalam konsep Zero Minds ini, kita harus membersihkan pikiran dari pemikiran, persepsi, opini, dan apapun yang lain. Setelah sampai di titik “Zero Minds”, kita baru siap untuk menerima kebenaran yang dibawa oleh ajaran ESQ. Dalam pelatihan, digambarkan ada gelas berisi penuh air. Maka sebanyak dituangkan air ke gelas penuh itu, ia menjadi tidak berguna. Gelas akan memuntahkan airnya, karena sudah penuh. Maka gelas itu harus kosong terlebih dulu, sebelum menerima kebenaran (ajaran ESQ). Inilah konsep ZMP, Zero Minds Process.

Kalau seseorang teliti dan kritis, dia akan menolak konsep “Zero Minds” ini. Ini bukanlah konsep yang Islami, bahkan ia bukan konsep yang manusiawi. Konsep “mengosongkan pikiran” dari pengaruh pandangan luar, kerap dipakai di dunia intelijen untuk mencetak agen. Ia juga dipakai di lingkungan negara-negara Komunis dulu, untuk tujuan indoktrinasi secara paksa. Anda tentu ingat apa yang disebut metode brain washing (cuci otak). Konsep Zero Minds mirip itu. Bahkan cara yang sama dipakai para ahli hipnotis untuk menghipnotis manusia. Anda tentu masih ingat ucapan, “Kosongkan pikiranmu, kosongkan pikiranmu, kosongkan pikiranmu!”

Dalam berdakwah kepada manusia, kita tidak usah menuntut supaya pikiran mereka kosong dulu. Biarkan saja mereka memiliki banyak persepsi, pikiran, opini, dan apapun. Tidak ada satu pun konsep Islam yang mengajarkan metode “kosongkan pikiran” itu. Malah Islam melarang manusia minum khamr, sebab minum khamr bisa membuat manusia “hilang akal” untuk sementara.

Nabi Saw saat berbicara di bukit Shafa di hadapan para pemuka Quraisy di Makkah, lalu menawarkan kalimat “Laa ilaha illa Allah”, beliau tidak menuntut mereka “mengosongkan pikiran”. Tidak sama sekali. [Coba baca lagi kisah di balik turunnya Surat Al Lahab atau Al Massad]. Begitupun ketika Mush’ab bin Umair Ra berdakwah ke Madinah, beliau juga tidak menuntut warga Madinah “mengosongkan pikiran”. Jadi dakwah itu ditempuh secara normal saja. Kalau mau terima, silakan; kalau menolak, ya silakan. Agama ini adalah pilihan, bukan pemaksaan. [Baca Surat Al Kahfi ayat 29].

Ary Ginanjar berdalil, bahwa Rasulullah Saw dulu, sebelum menerima Wahyu, beliau adalah manusia ‘ummi, yang tidak bisa membaca-menulis. Begitu pula manusia jaman sekarang, kalau mau menerima kebenaran, harus mengosongkan pikiran dari aneka macam belenggu pikiran. Disini Ary Ginanjar mendalilkan konsep Zero Minds Process (ZMP).

Disini ada kekelirun pemikiran yang fatal. Rasulullah Saw itu awalnya tidak mengenal Islam, lalu Allah memberikan Wahyu kepadanya. Jadi wajar jika beliau sebelumnya harus bersih dari pengaruh-pengaruh ajaran/ideologi apapun. Masalahnya, kaum Muslimin yang menjadi segmen pasar konsep ESQ ini, mereka bukan orang yang tidak beragama. Mereka adalah kalangan Muslim yang sudah beragama. Mungkinkah orang yang sudah beragama disuruh “mengosongkan pikiran” dari aneka macam pemikiran, kepentingan, pengalaman, dll.? Ini jelas tidak benar.

Prinsip “mengosongkan pikiran” boleh saja diterapkan kepada non Muslim, tetapi tidak boleh untuk kaum Muslimin. Bagaimana kalau mereka meninggal dalam keadaan sedang “kosong pikiran”? Itu sama saja, mereka meninggal dalam keadaan mabuk (hilang akal).

Andaikan metode Zero Minds itu boleh diterapkan kepada non Muslim, ia tetap bukan metode Islami. Islam sama sekali tak pernah mengajarkan cara “mengosongkon pikiran” dalam berdakwah. Biarkan manusia dengan segala keadaannya, maka Kitabullah dan Sunnah akan memperbaiki mereka, jika Allah menghendaki hidayah atas mereka.

Bahkan Ary Ginanjar sebenarnya tidak konsisten dengan konsep ZMP-nya itu. Buktinya mudah. Dalam konsep ZMP, seseorang tidak boleh dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman. Pengalaman dianggap sebagai belenggu pikiran. Namun dalam buku ESQ itu, Ary Ginanjar sendiri sangat banyak memuat catatan-catatan pengalaman, baik dari dirinya sendiri maupun orang lain. Artinya, Ary Ginanjar mengakui bahwa dalam pengalaman-pengalaman itu ada sesuatu yang baik yang bisa dijadikan pelajaran hidup. Maka mengosongkan pikiran dari persepsi awal, termasuk pengalaman-pengalaman, bukanlah suatu pemikiran yang fair.

(3)  Terlalu Berlebihan Mengagungkan “God Spot”

Konsep “God Spot” ini pertama kali dicetuskan oleh ahli syaraf VS Ramachandran dari California University, pada tahun 1997. Ramachandran menemukan eksistensi God Spot dalam otak manusia. God Spot itu merupakan struktur yang sudah build in dalam otak semua manusia. Hal ini disebut dalam buku ESQ halaman 44. Berulang kali Ary Ginanjar dalam bukunta menyebut istilah God Spot.

Terkait tentang kedudukan God Spot, Ary Ginanjar antara lain menulis, “Ketika jiwa manusia mengangguk, mengakui Allah sebagai Tuhannya, maka saat itulah Sifat-sifat Tuhan yang Suci dan Mulia, akan mengemuka dan memancar dalam God Spot-nya, dan dari sinilah dasar pijakan kecerdasan spiritual bermula.” (ESQ, halaman 108). Masih pada halaman yang sama, Ary Ginanjar menyebutkan daftar 99 Asmaul Husna yang diberi judul: “99 Sifat Allah yang terefleksikan pada God Spot (Core Values)”. Di halaman 110 disebutkan, “Inilah 7 spiritual core values (nilai dasar ESQ) yang diambil dari Asmaul Husna yang harus dijunjung-tinggi sebagai bentuk pengabdian kepada sifat Allah yang terletak pada pusat orbit (God Spot).” Begitu hebatnya God Spot sampai Ary Ginanjar menyandarkan Sifat-sifat Allah kepada God Spot itu. Jelas semua ini berlebihan.

Mungkin saja, hasil penelitian tentang God Spot itu layak dihargai. Tetapi kita harus hati-hati dan proporsional. Islam sudah muncul di dunia sejak 1400 tahun lebih, yang lalu. Sedangkan konsep God Spot itu baru dikenalkan tahun 1997 lalu. Apakah kaum Muslimin harus beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, setelah menunggu ditemukannya Got Spot? Jelas tidak mungkin. Tanpa ditemukan God Spot pun, kaum Muslimin sudah memiliki dasar-dasar keyakinan yang kuat. Alhamdulillah.

Sebenarnya, sejak lama sarjana-sarjana Islam juga sudah menjelaskan tentang tabiat religius pada setiap manusia, meskipun sifatnya bukan hasil penelitian neurologis (syaraf). Kalangan Hizbut Tahrir, dalam bidang pembinaan kejiwaan, menyebut manusia memiliki  gharizatut tadayyun (instink untuk beragama). Mereka mendasarkan pendapat itu dari temuan-temuan arkheologis, bahwa manusia-manusia kuno yang tinggal di gua-gua, mereka memiliki ritual-ritual tertentu. Padahal mereka tidak mendapat pelajaran atau informasi seperti masyarakat normal.

Dalam konsep ESQ, God Spot dianggap segala-galanya. Kemegahan God Spot ini sampai dibuatkan model tersendiri, namanya ESQ Model. Kalau Anda lihat bagan ESQ Model, God Spot diletakkan di titik pusat (sentral). Lalu bagan ESQ Model ini dicantumkan berkali-kali di halaman: 59, 60, 64, 118, 121, 138, 153, 176, 202, 218, 241, 250, 258, 273, 301, 326, 331, dan 356. Ini untuk bentuk ESQ Model yang bersifat lengkap. Adapun ESQ Model yang dipecah-pecah, masih banyak lagi. Konsep ESQ benar-benar berhutang budi kepada Ramachandran dan tim dari California University yang menemukan God Spot. Tanpa penemuan Ramachandran, tidak akan ada ESQ. 

Dalam masalah posisi God Spot ini kita menemukan TITIK KEKELIRUAN FATAL dari konsep ESQ. ESQ begitu berlebihan memposisikan God Spot, hingga menjadikan God Spot sebagai titik sentral ESQ Model. Konsep seperti ini jelas KELIRU. Pembaca harus sadar, God Spot itu adalah sebuah struktur syaraf di otak yang membuktikan bahwa dalam diri manusia ada tabiat religius. Jadi pada hakikatnya, God Spot itu merupakan SEBUAH yang terletak di susunan syaraf otak. Jadi God Spot itu sebenarnya tidak memiliki FUNGSI KOMPLEKS seperti yang dibayangkan oleh Ary Ginanjar Agustian. Pusat kesadaran manusia ialah QALBU atau hati, terletak di dada. Adapun pusat pemikiran manusia adalah otaknya di kepala. Andaikan otak isinya hanya God Spot saja, tanpa susunan fungsi-fungsi syaraf yang lain, maka otak itu tidak akan berfungsi. Jadi, bagan ESQ Model runtuh disini.

Dan lebih menarik lagi ketika Ary Ginanjar tidak bisa membedakan, mana otak di kepala (termasuk God Spot di dalamnya) dan maka hati nurani di dada. Pembahasan otak dan hati ini dalam buku ESQ sangat rancu. Ada kalanya pusat kesadaran disebut God Spot, ada kalanya disebut hati nurani. Mengapa kerancuan itu timbul? Sebabnya mudah saja, karena Ary Ginanjar tertawan oleh konsep pemikiran Barat dan Timur. Menurut pakar psikologi Barat, hati nurani di dada tidak dianggap. Mereka menganalisis jiwa manusia dengan sarana susunan syaraf di otak. Sementara menurut pakar kejiwaan Timur, mereka berpijak pada fungsi hati nurani di dada.

Harus dicatat dengan baik, posisi God Spot itu berada di jaringan syaraf otak. Artinya, ia berada di kepala. Kepala jelas bukan hati (qalbu). Kepala berbeda dengan qalbu. Rasulullah Saw menjelaskan, bahwa dalam diri setiap manusia ada segumpal daging. Jika daging itu baik, baiklah seluruh tubuh; jika daging itu buruk, maka buruklah seluruh tubuh. Adapun daging itu adalah qalbu. Hal ini disebut dalam hadits Bukhari-Muslim, dari An Nu’man bin Basyir Ra.

Seharusnya, aspek yang lebih tepat diperhatikan adalah hati (qalbu), bukan Got Spot di otak. Bahkan menjadi ironi ketika konsep ESQ begitu serius memperhatikan masalah God Spot, sedangkan sejak awal Saudara Ary Ginanjar sudah menekankan, bahwa: “EQ lebih penting dari IQ.” EQ terletak di qalbu, sedangkan IQ terletak di otak. Jadi bagaimana dong?

Kesadaran tentang God Spot tidak otomatis membuat seseorang beriman kepada Islam. Konsep ini dianggap unggul di hadapan ideologi atheis. Tetapi kemudian setiap orang merasa bebas memilih agama apa saja, di luar Islam, selama dalam dirinya masih ada God Spot. Padahal jelas-jelas Allah sudah menegaskan, “Innad dina ‘indallahil Islam” (agama di sisi Allah itu adalah Islam).

Bagi seseorang yang mendakwahkan Islam, maka dakwahnya akan berhenti sampai membuat “manusia beragama”, apapun agamanya. Padahal sejatinya dakwah Islam mengajak manusia masuk Islam, tidak sekedar menjadi manusia beragama. (Bersambung ke bagian-3)(voa-islam.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha