Sabtu, 06 November 2010

SITUASIONAL REPORT SABTU 6 NOVEMBER 2010

Letusan Gunung Merapi (2.968 m dpl) untuk kesekian kalinya pada Jumat, 5 November 2010, dini hari menciptakan eksodus pengungsi besar-besaran di empat kabupaten, Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali. Berdasarkan informasi yang diperoleh relawan Jalin Merapi, pengungsi bahkan sampai ke Gunung Kidul, Bantul dan Kulon Progo. Pasalnya, daya letusan kali ini lebih besar daripada sejumlah letusan sebelumnya sejak erupsi pertama pada Selasa, 26 Oktober 2010. Sehingga, dampak daerah terpapar letusan juga kian meluas. Sejumlah pos pengungsian yang berada di radius 10-15 km dari puncak tak ayal harus turut dikosongkan ke lokasi yang lebih jauh dan lebih aman.
Proses evakuasi berlangsung sejak Kamis malam secara berangsur-angsur dengan menggunakan sarana transportasi yang tersedia. Namun, eksodus besar-besaran terjadi pada Jumat dini hari karena sejumlah pos pengungsian yang semula telah didatangi pengungsi dari lokasi di atasnya harus turut dikosongkan ke tempat yang lebih jauh. Kebutuhan sarana transportasi yang memadai dalam kondisi eksodus besar-besaran seperti ini menjadi hal yang sangat krusial. Yang jauh lebih penting, eksodus besar-besaran ini mengakibatkan penanganan pengungsi di sejumlah titik pengungsian di Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang cukup berantakan.
Paska eksodus besar-besaran ini, muncul beberapa masalah utama:
1. Kelayakan kondisi posko pengungsian baru menjadi masalah utama. Di sejumlah titik dilaporkan bahwa kondisi pengungsian baru ternyata tidak memadai karena, misalnya, tanpa genset yang dapat menyuplai aliran listrik, MCK terbatas, tidak ada pasokan air bersih siap pakai, dan minimnya tambahan tenaga lapangan. Hal-hal demikian menciptakan situasi yang kian memberatkan pengungsi yang secara fisik dan psikis memang sudah letih berpindah-pindah lokasi pengungsian selama 10 hari terakhir.
2. Bantuan tidak terdistribusi secara merata, proses distribusi bantuan tidak terkoordinir. Hingga Sabtu malam (06/11), kebutuhan umum yang sering muncul di banyak lokasi pengungsian adalah: a. Air minum dan air bersih untuk MCK. b. Pakaian dalam (celana dalam, BH, dan kaos dalam anak-anak). c. Perlengkapan dan makanan bayi (susu, vitamin, sabun, sampo, pempers, popok, dan selimut). d. Kebutuhan lansia (pempers, jarit, makanan, dan susu). e. Pembalut wanita. f. Obat-obatan ringan dan minyak kayu putih. g. Pelaratan masak dan bahan mentah untuk dapur umum. h. Peralatan mandi dan cuci. i. Peralatan tidur (alas tidur dan selimut). j. Mainan anak.
3. Jika mengamati daftar kebutuhan di atas, jelas bahwa kebutuhan khusus kelompok rentan masih terabaikan, yaitu kebutuhan bayi, anak, difabel, lansia, dan perempuan. Selain itu, distribusi relawan juga tidak merata. Banyak sekali posko pengungsian yang membutuhkan relawan medis.
4. Tidak sedikit anak-anak dan manula yang terpisah dari keluarganya saat proses evakuasi besar-besaran tersebut. Gerakan lost and found yang terkoordinasi dengan baik menjadi sangat penting.
5. Belum adanya data titik-titik posko pengungsian yang komprehensif. Pendataan titik posko ini harus segera dilakukan mengingat posko pengungsian tersebar luas, tidak hanya posko besar yang terus-menerus disorot media massa, terutama televisi. Secara umum, lokasi pengungsian baru terpetakan menjadi dua tipe: a. Terkonsentrasi dalam jumlah besar seperti Stadion Maguwoharjo Sleman dan Pendopo Pemkab dan DPRD Klaten. b. Terkelompok-kelompok dalam jumlah kecil di pos-pos baru yang merupakan inisiatif warga, kampus, atau kelompok masyarakat. Masing-masing tipe pengungsian ini memiliki konsekuensi kebutuhan dan dampak yang berbeda pula.
6. Hingga Sabtu malam (06/11), di banyak posko pengungsian, terutama di posko-posko besar, belum ada data rinci jumlah dan komposisi pengungsi. Jika tidak segera dilakukan pendataan dengan baik, maka penanganan pengungsi yang tersebar tidak terkendali ini akan menimbulkan masalah. Diharapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana beserta perangkat pemerintah daerah di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah yang wilayahnya menjadi lokasi posko pengungsian, segera melakukan penyisiran dan pendataan pengungsi untuk penanganan lebih lanjut.
Berdasarkan pantauan lapangan relawan Jalin Merapi, sangat banyak posko pengungsian yang diselenggarakan secara swadaya oleh warga, mulai dari masalah logistik, infrastruktur, kesehatan, hingga keamanan. Kelompok masyarakat sipil yang secara mandiri berinisiatif mengelola posko pengungsian adalah institusi pendidikan, lembaga dan kelompok keagamaan, NGO, serta berbagai kelompok masyarakat lainnya. Peran masyarakat sipil ini juga sangat jelas dalam gerakan nasi bungkus yang telah berhasil menjamin ketersediaan makanan di posko pengungsian selama masa eksodus besar-besaran kemarin. Gerakan nasi bungkus yang spontan ini kemungkinan tidak akan bertahan lama. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: dimanakah negara? Jika selama ini peran-peran negara dalam masa bencana diambil masyarakat sipil, bukan berarti negara bisa lepas tanggung jawab.(sumber: http://merapi.combine.or.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Media Dakwah Copyright © 2010 LKart Theme is Designed by Lasantha