(Ma Jianguo, pengusaha dan takmir Masjid Urumqi)
addakwah.com (URUMQI) --Pihak berwenang Cina sering mengaitkan agama dalam hubungannya dengan tindak kekerasan di Xinjiang. Tapi bagi banyak Muslim di Cina barat laut, iman tidak terkait dengan politik. Sebagian besar melihat Islam sebagai kekuatan positif bagi masyarakat, tak lebih.
"Islam adalah tentang bagaimana Anda menjalani hidup selamat di dunia dan akhirat," ujar Ma Jianguo, takmir masjid agung Urumqi. Itu sebabnya, di sela-sela menjalankan usahanya, ia bergegas meninggalkan semua urusan begitu jarum jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Ia segera membuka gerbang masjid dan bersiap mengumandangkan adzan. Bersama Ma, puluhan Muslimin -- sebagian besar berusia muda dengan kemeja putih -- turut serta. Satu dua orang adalah karyawannya.
"Kami percaya jika kami melakukan bisnis sehari-hari, minum alkohol, merokok, dan tidak menerima Allah, maka kami akan dihukum dan maka bisnis tidak akan begitu baik," jelas Ma. "Sebaliknya, jika kita tak meninggalkan shalat dan menjauhi segala larangan-Nya, maka Allah pun akan baik kepada kita. Semakin sukses usahanya, maka semakin dekat Muslim Xinjiang pada Tuhannya. Ini harga mati."
Kendati begitu, kata Ma, iman yang seharusnya tidak didorong oleh keinginan material. Ayahnya, yang pernah menjadi imam di masjid itu, dipaksa bekerja selama tujuh tahun di sebuah tambang batubara selama Revolusi Kebudayaan. Di tengah kerja keras tanpa upah dan dihadapkan pada tindak sewenang-wenang tentara, shalat tak pernah ditinggalkan, kedati sembunyi-sembunyi. "Dia tak ingin sejengkalpun kehilangan kontak dengan Tuhannya," ujarnya.
Dia mengajarkan empat anaknya tentang Islam dan bagaimana untuk percaya. "Apakah Anda punya uang atau tidak, sesuatu untuk dimakan atau tidak, jangan berhitung tentang itu. Berdoalah kepada Allah dan kondisi apapun, itulah firman Allah," kata Ma.
Banyak pemuda Muslim di Urumqi mendengarkan musik Barat dan mengenakan pakaian Barat. Mereka bahkan mungkin punya pacar atau berkencan sebelum menikah. Namun begitu panggilan adzan berkumandang, mereka terpekur di dalam masjid.
Bahkan, tradisi ini terbawa hingga mereka keluar dari Urumqi dan mencari peruntungan baru di kota lain. Alwina misalnya. Dia baru saja menyelesaikan studi ekonominya di Universitas Xinjiang. Dia bekerja selama musim panas di bar. "Sulit untuk berbicara tentang iman," katanya. "Jika Anda meyakini sesuatu, maka Anda akan total. Buat saya berdoa (shalat) adalah sebuah kebutuhan," ujarnya.
Dari sisi pemikiran, mereka juga lebih terbuka. Islam, kata Alina, seorang Muslimah Urumqi yang berjilbab, bukan kotak kubik yang memasung pemeluknya. Menuntut ilmu di Beijing, dia lebih terbuka dalam segala hal, termasuk mencari pasangan hidup. Agama, katanya, tak harus membatasi cinta. "Aku tidak akan menikah dengan seorang Cina Han, agama kami tidak memerintahkan itu," ujarnya.
Ia meyayangkan orang berpandangan miring tentang Islam. "Saya tak habis pikir, apa yang ada dalam benak mereka tentang Islam, ya?" ujarnya menerawang.
Ia mengaku dari sisi pergaulan, prestasi akademik, gaya hidup, dan kebiasaan, tak beda dengan teman-teman yang lain. Satu yang membedakan hanyalah: ia melakukan shalat lima kali sehari, tak minum alkohol, dan makananan non-halal. "Tapi mereka tak mengizinkan saya melakukan praktik keagamaan -- shalat lima waktu -- di lingkungan kampus," ujarnya.
Setelah kerusuhan tahun lalu di Urumqi, pihak berwenang menetapkan bahwa masjid tidak bisa lagi dibuka sepanjang waktu. Pintu gerbang dikunci rapat dan baru dibuka pada waktu-waktu shalat. Mengutip omongan Ma, para pejabat negara datang setiap hari Jumat untuk memastikan bahwa imam tidak memasukkan omongan tentang separatisme dan kekerasan sebagai bagian dari khotbahnya.
Penindasan terhadap Muslim Uighur terutama Sunni meningkat sejak kerusuhan tahun lalu. Pengamat politik di Cina memandang hal ini kuntraproduktif yang justru memicu munculnya ekstremisme di wilayah itu, yang sampai sekarang telah memiliki pemahaman sebagian besar liberal Islam. "Bagi Muslim Xinjiang kebanyakan, etos Islam yang dipegang, bukan pragmatisme seperti yang dianut sebagian kecil saja dari mereka," ujarnya.
addakwah.com (URUMQI) --Pihak berwenang Cina sering mengaitkan agama dalam hubungannya dengan tindak kekerasan di Xinjiang. Tapi bagi banyak Muslim di Cina barat laut, iman tidak terkait dengan politik. Sebagian besar melihat Islam sebagai kekuatan positif bagi masyarakat, tak lebih.
"Islam adalah tentang bagaimana Anda menjalani hidup selamat di dunia dan akhirat," ujar Ma Jianguo, takmir masjid agung Urumqi. Itu sebabnya, di sela-sela menjalankan usahanya, ia bergegas meninggalkan semua urusan begitu jarum jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Ia segera membuka gerbang masjid dan bersiap mengumandangkan adzan. Bersama Ma, puluhan Muslimin -- sebagian besar berusia muda dengan kemeja putih -- turut serta. Satu dua orang adalah karyawannya.
"Kami percaya jika kami melakukan bisnis sehari-hari, minum alkohol, merokok, dan tidak menerima Allah, maka kami akan dihukum dan maka bisnis tidak akan begitu baik," jelas Ma. "Sebaliknya, jika kita tak meninggalkan shalat dan menjauhi segala larangan-Nya, maka Allah pun akan baik kepada kita. Semakin sukses usahanya, maka semakin dekat Muslim Xinjiang pada Tuhannya. Ini harga mati."
Kendati begitu, kata Ma, iman yang seharusnya tidak didorong oleh keinginan material. Ayahnya, yang pernah menjadi imam di masjid itu, dipaksa bekerja selama tujuh tahun di sebuah tambang batubara selama Revolusi Kebudayaan. Di tengah kerja keras tanpa upah dan dihadapkan pada tindak sewenang-wenang tentara, shalat tak pernah ditinggalkan, kedati sembunyi-sembunyi. "Dia tak ingin sejengkalpun kehilangan kontak dengan Tuhannya," ujarnya.
Dia mengajarkan empat anaknya tentang Islam dan bagaimana untuk percaya. "Apakah Anda punya uang atau tidak, sesuatu untuk dimakan atau tidak, jangan berhitung tentang itu. Berdoalah kepada Allah dan kondisi apapun, itulah firman Allah," kata Ma.
Banyak pemuda Muslim di Urumqi mendengarkan musik Barat dan mengenakan pakaian Barat. Mereka bahkan mungkin punya pacar atau berkencan sebelum menikah. Namun begitu panggilan adzan berkumandang, mereka terpekur di dalam masjid.
Bahkan, tradisi ini terbawa hingga mereka keluar dari Urumqi dan mencari peruntungan baru di kota lain. Alwina misalnya. Dia baru saja menyelesaikan studi ekonominya di Universitas Xinjiang. Dia bekerja selama musim panas di bar. "Sulit untuk berbicara tentang iman," katanya. "Jika Anda meyakini sesuatu, maka Anda akan total. Buat saya berdoa (shalat) adalah sebuah kebutuhan," ujarnya.
Dari sisi pemikiran, mereka juga lebih terbuka. Islam, kata Alina, seorang Muslimah Urumqi yang berjilbab, bukan kotak kubik yang memasung pemeluknya. Menuntut ilmu di Beijing, dia lebih terbuka dalam segala hal, termasuk mencari pasangan hidup. Agama, katanya, tak harus membatasi cinta. "Aku tidak akan menikah dengan seorang Cina Han, agama kami tidak memerintahkan itu," ujarnya.
Ia meyayangkan orang berpandangan miring tentang Islam. "Saya tak habis pikir, apa yang ada dalam benak mereka tentang Islam, ya?" ujarnya menerawang.
Ia mengaku dari sisi pergaulan, prestasi akademik, gaya hidup, dan kebiasaan, tak beda dengan teman-teman yang lain. Satu yang membedakan hanyalah: ia melakukan shalat lima kali sehari, tak minum alkohol, dan makananan non-halal. "Tapi mereka tak mengizinkan saya melakukan praktik keagamaan -- shalat lima waktu -- di lingkungan kampus," ujarnya.
Setelah kerusuhan tahun lalu di Urumqi, pihak berwenang menetapkan bahwa masjid tidak bisa lagi dibuka sepanjang waktu. Pintu gerbang dikunci rapat dan baru dibuka pada waktu-waktu shalat. Mengutip omongan Ma, para pejabat negara datang setiap hari Jumat untuk memastikan bahwa imam tidak memasukkan omongan tentang separatisme dan kekerasan sebagai bagian dari khotbahnya.
Penindasan terhadap Muslim Uighur terutama Sunni meningkat sejak kerusuhan tahun lalu. Pengamat politik di Cina memandang hal ini kuntraproduktif yang justru memicu munculnya ekstremisme di wilayah itu, yang sampai sekarang telah memiliki pemahaman sebagian besar liberal Islam. "Bagi Muslim Xinjiang kebanyakan, etos Islam yang dipegang, bukan pragmatisme seperti yang dianut sebagian kecil saja dari mereka," ujarnya.
Red: Siwi Tri Puji.B
Sumber: DW-World
Sumber: DW-World
Tidak ada komentar:
Posting Komentar