(addakwah.com) ---ADA sesuatu yang tidak lazim pada perhelatan hari Bhayangkara yang jatuh pada hari ini. Hari ulang tahun Polri kali ini diselenggarakan secara tertutup di Mako Brimob Kelapa Dua. Dengan latar pencitraan yang sedang guncang seperti saat ini, saya memandang format perayaan hari ulang tahun Polri itu sebagai bentuk perayaan yang tepat. Sudah semestinya demikian.
Intinya mawas diri dan mencoba tampil lebih bersahaja. Karena dengan reputasi yang anjlok, sungguh Polri tidak punya cukup alasan untuk merayakan hari jadinya dengan high profile dan gegap gempita.
Saya ingin membingkiskan satu kado bagi Polri. Kado tentang Kepala Polri yang akan datang. Ini perlu disinggung, karena Jenderal Bambang Hendarso Danuri tak berapa lama lagi akan memasuki masa pensiun.
Di masyarakat mulai mengemuka desas-desus tentang siapa yang akan menjadi pengganti BHD. Yang bikin agak cemas, tidak sedikit kalangan yang menilai para kandidat Kapolri yang baru belum ada yang benar-benar punya komitmen dan prestasi signifikan di bidang pemberantasan korupsi.
Tentu saja, sikap antikorupsi harus dipandang sebagai harga mati. Kontrak kerja yang tidak bisa ditawar-tawar. Namun yang perlu semua pihak ingat, porsi terbesar kerja kepolisian sesungguhnya bukan pada pemberantasan korupsi, yang termasuk dalam ranah penegakan hukum.
Lingkup kerja polisi yang paling besar adalah pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Jadi seorang Kapolri, hemat saya, idealnya adalah figur yang memang punya catatan kuat di tiga kegiatan tadi, yaitu pelayanan, pengayoman, dan perlindungan publik.
Torehan positif pada pembasmian terorisme, penangkapan koruptor, pembongkaran sindikat narkoba, pencidukan komplotan perdagangan manusia, memang penting. Tapi kepercayaan publik pada Polri sebenarnya tidak terlalu ditentukan oleh area-area kerja semacam itu.
Adrianus Meliala katakan, perhatian masyarakat terhadap Polri akan terhisap pada seberapa jauh Polri mampu menanggulangi kasus-kasus besar semacam di atas. Namun, kepercayaan publik adalah persoalan berbeda. Kepercayaan masyarakat akan tumbuh terpelihara berdasarkan kinerja aparat Polri dalam tugas keseharian yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Apalagi, perlu digaris-bawahi, karena penegakan hukum faktanya hanya sebagian kecil dari total kerja polisi, maka yang lebih penting adalah Kapolri mendatang dikenal dan dikenang sebagai perwira Tribrata yang berwibawa, hangat, dan dapat dibanggakan masyarakat.
Kita sadar, mencari kandidat Kapolri yang seperti itu bukan urusan mudah. Ibarat mencari manusia setengah dewa. Tapi juga bukan sesuatu yang mustahil.
Tahun 2007 silam, seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian menulis di media massa. Si mahasiswa, Ajun Komisaris Adi Sumirat namanya, merindukan tampilan polisi Indonesia yang lebih agamis. Adi yakin, pembenahan kinerja Polri bahkan perbaikan relasi antara Polri dan masyarakat akan bisa dilakukan apabila personel Polri berperilaku lebih religius.
Tidak butuh waktu lama bagi Adi untuk melihat kenyataan dari tulisannya itu. Di Jawa Timur, Irjen Anton Bachrul Alam (ABA) selaku Kapolda Jatim saat itu, menjalankan tugasnya dengan pendekatan yang begitu khas.
Tidak perlu terlalu banyak merujuk ke teori-teori Barat tentang bagaimana polisi berinteraksi dengan publik. Juga tanpa harus kongkow-kongkow di restoran-restoran, ABA mencoba mempererat hubungan antara polisi dan masyarakat dengan cara menyambangi masjid-masjid yang tersebar di Kota Pahlawan. Dengan pendekatan seperti itu, masjid-masjid di pelosok kota pun menjadi hidup. Di rumah Allah pula, masyarakat bisa menyaksikan langsung kesetaraan yang memang sepantasnya hidup di antara polisi dan masyarakat. Mereka bertakbir bersama, duduk bersila bersama, dan sujud bersama dalam satu shaf yang rapat dan lurus sebagai tanda kesempurnaan ibadah shalat.
Kegiatan harian berupa khatam atau menamatkan Al Qur’an, semakin memperkuat kesan positif tentang gaya kepemimpinan menenteramkan yang dihadirkan oleh ABA.
Tradisi baru yang dibangun ABA mengharuskannya untuk bangun pukul tiga pagi setiap hari. Bagi orang kebanyakan, ini jelas bukan perkara enteng. Apalagi ABA saban harinya juga terbiasa tidur sekitar pukul dua belas malam.
Apa yang bisa dilihat dari gaya perpolisian masyarakat ala ABA? Saya pribadi tidak melihat dirinya sebagai polisi tempur. Irjen Anton memurnikan kembali citra polisi yang sesungguhnya bukan melulu pasukan petarung.
Kita sebenarnya sudah lama paham, hati sebagian besar masyarakat bisa direbut lewat kegiatan keagamaan. Tapi sepertinya baru sekarang kita pantas gembira, setelah melihat adanya kesadaran di lingkungan Polri bahwa pendekatan keagamaanlah yang memang pantas diandalkan bagi manunggalnya Polri dan publik.
Tidak perlu alergi melihat jenderal polisi rajin ke masjid. Tidak perlu anti dipimpin oleh jenderal polisi yang pandai berkhutbah dan membaca kitab suci. Kita yakin, semakin dekat polisi dengan agama, semakin eloklah budi pekertinya. Semakin santun tindak-tanduknya, mudah-mudahan semakin bersih pula organisasi yang dipimpinnya.
Jika itu jadi kenyataan, semakin pantas pula si jenderal menjadi sosok teladan. Allahu a’lam.
Penulis dosen Psikologi Forensik, Universitas Bina Nusantara - Jakarta
Intinya mawas diri dan mencoba tampil lebih bersahaja. Karena dengan reputasi yang anjlok, sungguh Polri tidak punya cukup alasan untuk merayakan hari jadinya dengan high profile dan gegap gempita.
Saya ingin membingkiskan satu kado bagi Polri. Kado tentang Kepala Polri yang akan datang. Ini perlu disinggung, karena Jenderal Bambang Hendarso Danuri tak berapa lama lagi akan memasuki masa pensiun.
Di masyarakat mulai mengemuka desas-desus tentang siapa yang akan menjadi pengganti BHD. Yang bikin agak cemas, tidak sedikit kalangan yang menilai para kandidat Kapolri yang baru belum ada yang benar-benar punya komitmen dan prestasi signifikan di bidang pemberantasan korupsi.
Tentu saja, sikap antikorupsi harus dipandang sebagai harga mati. Kontrak kerja yang tidak bisa ditawar-tawar. Namun yang perlu semua pihak ingat, porsi terbesar kerja kepolisian sesungguhnya bukan pada pemberantasan korupsi, yang termasuk dalam ranah penegakan hukum.
Lingkup kerja polisi yang paling besar adalah pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Jadi seorang Kapolri, hemat saya, idealnya adalah figur yang memang punya catatan kuat di tiga kegiatan tadi, yaitu pelayanan, pengayoman, dan perlindungan publik.
Torehan positif pada pembasmian terorisme, penangkapan koruptor, pembongkaran sindikat narkoba, pencidukan komplotan perdagangan manusia, memang penting. Tapi kepercayaan publik pada Polri sebenarnya tidak terlalu ditentukan oleh area-area kerja semacam itu.
Adrianus Meliala katakan, perhatian masyarakat terhadap Polri akan terhisap pada seberapa jauh Polri mampu menanggulangi kasus-kasus besar semacam di atas. Namun, kepercayaan publik adalah persoalan berbeda. Kepercayaan masyarakat akan tumbuh terpelihara berdasarkan kinerja aparat Polri dalam tugas keseharian yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Apalagi, perlu digaris-bawahi, karena penegakan hukum faktanya hanya sebagian kecil dari total kerja polisi, maka yang lebih penting adalah Kapolri mendatang dikenal dan dikenang sebagai perwira Tribrata yang berwibawa, hangat, dan dapat dibanggakan masyarakat.
Kita sadar, mencari kandidat Kapolri yang seperti itu bukan urusan mudah. Ibarat mencari manusia setengah dewa. Tapi juga bukan sesuatu yang mustahil.
Tahun 2007 silam, seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian menulis di media massa. Si mahasiswa, Ajun Komisaris Adi Sumirat namanya, merindukan tampilan polisi Indonesia yang lebih agamis. Adi yakin, pembenahan kinerja Polri bahkan perbaikan relasi antara Polri dan masyarakat akan bisa dilakukan apabila personel Polri berperilaku lebih religius.
Tidak butuh waktu lama bagi Adi untuk melihat kenyataan dari tulisannya itu. Di Jawa Timur, Irjen Anton Bachrul Alam (ABA) selaku Kapolda Jatim saat itu, menjalankan tugasnya dengan pendekatan yang begitu khas.
Tidak perlu terlalu banyak merujuk ke teori-teori Barat tentang bagaimana polisi berinteraksi dengan publik. Juga tanpa harus kongkow-kongkow di restoran-restoran, ABA mencoba mempererat hubungan antara polisi dan masyarakat dengan cara menyambangi masjid-masjid yang tersebar di Kota Pahlawan. Dengan pendekatan seperti itu, masjid-masjid di pelosok kota pun menjadi hidup. Di rumah Allah pula, masyarakat bisa menyaksikan langsung kesetaraan yang memang sepantasnya hidup di antara polisi dan masyarakat. Mereka bertakbir bersama, duduk bersila bersama, dan sujud bersama dalam satu shaf yang rapat dan lurus sebagai tanda kesempurnaan ibadah shalat.
Kegiatan harian berupa khatam atau menamatkan Al Qur’an, semakin memperkuat kesan positif tentang gaya kepemimpinan menenteramkan yang dihadirkan oleh ABA.
Tradisi baru yang dibangun ABA mengharuskannya untuk bangun pukul tiga pagi setiap hari. Bagi orang kebanyakan, ini jelas bukan perkara enteng. Apalagi ABA saban harinya juga terbiasa tidur sekitar pukul dua belas malam.
Apa yang bisa dilihat dari gaya perpolisian masyarakat ala ABA? Saya pribadi tidak melihat dirinya sebagai polisi tempur. Irjen Anton memurnikan kembali citra polisi yang sesungguhnya bukan melulu pasukan petarung.
Kita sebenarnya sudah lama paham, hati sebagian besar masyarakat bisa direbut lewat kegiatan keagamaan. Tapi sepertinya baru sekarang kita pantas gembira, setelah melihat adanya kesadaran di lingkungan Polri bahwa pendekatan keagamaanlah yang memang pantas diandalkan bagi manunggalnya Polri dan publik.
Tidak perlu alergi melihat jenderal polisi rajin ke masjid. Tidak perlu anti dipimpin oleh jenderal polisi yang pandai berkhutbah dan membaca kitab suci. Kita yakin, semakin dekat polisi dengan agama, semakin eloklah budi pekertinya. Semakin santun tindak-tanduknya, mudah-mudahan semakin bersih pula organisasi yang dipimpinnya.
Jika itu jadi kenyataan, semakin pantas pula si jenderal menjadi sosok teladan. Allahu a’lam.
Penulis dosen Psikologi Forensik, Universitas Bina Nusantara - Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar